Senin, 03 Februari 2020

Malu Berbicara Ngapak



Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 2 Februari 2020

Paruh kedua tahun 2019, saya mengikuti latihan dasar yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri di Dodiklatpur Rindam IV Diponegoro, Klaten dan Umbulharjo, Yogyakarta. Jumlah peserta latihan dasar tersebut, ada ratusan, terbagi dalam kelas-kelas. Masing-masing kelas, empat puluh peserta. Tiap-tiap peserta berasal dari daerah berbeda-beda, sebut sebagai misal: Semarang, Pekalongan, Blora, Ngawi, dan Madiun.
Mayoritas peserta memang berasal dari Jawa bagian wetan. Sedangkan peserta dari Jawa bagian kulon seperti Banyumas dan Purbalingga, hanya minoritas. Jumlahnya sedikit saja.
Sejak awal kegiatan, dalam situasi nonformal, kami—para peserta latihan dasar—lebih banyak berkomunikasi menggunakan bahasa ibu, apalagi kalau bukan bahasa Jawa. Namun, sejak hari pertama pula, saya menemukan gelagat menarik sekaligus menggelisahkan—setidak-tidaknya bagi diri sendiri.
Gelagat yang saya maksud adalah teman-teman dari daerah Jawa bagian kulon, kentara benar, enggan menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan atau yang biasa disebut bahasa ngapak. Bahasa Jawa mereka, dibuat seolah-olah menjadi ke-wetan-wetanan. Huruf-huruf yang biasa diucapkan a, berubah menjadi o. Tekanan-tekanan bahasa atau kalimat tertentu yang biasanya tebal dan jelas, menjadi lunak atau dilunak-lunakkan.
Saya sempat terheran-heran dan tertawa geli. Bagaimana tidak? Teman-teman sesama warga Purbalingga, berangkat bersama-sama menggunakan bus. Selama dalam perjalanan, kami bercakap-cakap dan berkelakar menggunakan dialek Banyumas. Namun, tidak lama setelah turun dari bus, lalu berbaur dalam kerumuman peserta lain, bahasa ibu yang digunakan sehari-hari, lenyap. Menguap, entah ke mana? Bahkan untuk berkomunikasi dengan sesama orang Purbalingga dan Banyumas—selama di Klaten dan Yogya—bahasa yang digunakan adalah dialek wetan.
Sekali lagi, saya tertawa geli. Bayangkan, demi totalitas, karena teman-teman saya pikir, huruf a harus diucapkan jadi o, maka kata ora—yang berarti: tidak—diucapkan oro, rodha menjadi rodho, o ya menjadi o yo.
Pada kesempatan berbeda, seorang teman yang tengah berakting menggunakan bahasa Jawa wetan, keceplosan berucap gutul—bermakna: sampai—alih-alih berucap tekan. Yang kemudian, cepat-cepat diralat, setelah sadar.
Sungguh, contoh yang saya sebutkan ini, benar-benar terjadi. Saya saksikan dan dengar sendiri. Lucu, jelas iya. Aneh, tentu saja. Tapi, lebih dari itu, saya merasa miris. Sejelek itukah bahasa Jawa logat Banyumas? Serendah itukah? Sememalukan itukah, sehingga harus ditutupi dengan sandiwara bahasa Jawa dialek wetan?
Seorang teman berargumen, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk sikap adaptif alias menyesuaikan lingkungan.
Mungkin, argumen itu diterima, meski tidak berarti bisa dibenarkan. Ya, kalau memang kita tinggal di suatu daerah rantau dalam waktu lama, sikap menyesuaikan diri—termasuk dalam berbahasa—memang ‘pantas’ dilakukan. Anggaplah sebagai implementasi peribahasa: di mana bumi kita pijak, di situ langit kita junjung.
Sementara, latihan dasar tidak berlangsung lama yang menyebabkan peserta harus bermukim hingga bilangan tahun.
Saya pribadi memilih berbicara menggunakan bahasa ngapak. Meski ditertawakan, dianggap lucu, bahkan beberapa teman rajin membetulkan, mengulangi dalam logat bandhek, supaya ditiru, saya tetap pada keputusan semula. Bukankah kita Bhineka Tunggal Ika? Jadi, kenapa harus seragam? Saya sendiri sebagai orang asli Banyumas—yang berayah dari Yogya dan beribu Tegal—memiliki banyak perbedaan logat dengan istri yang asli Purbalingga. Saya, misalnya, menggunakan kata ngadeg untuk berdiri, sedangkan istri memakai kata njanggleng, dan seterusnya. Saya tidak memaksa pasangan untuk mengikuti logat saya, demikian sebaliknya. Yang utama, sama-sama paham.
Dalam hal ini, enggan menggunakan bahasa ngapak—meski sedikit-banyak, lawan bicara dari daerah lain, paham artinya—dan memilih berbicara bandhek, menunjukkan inferioritas atau rendah diri: menganggap logat bahasa sendiri jelek dan logat bahasa lain lebih unggul. Kata peribahasa: rumput tetangga, kelihatan lebih hijau.
Sikap ini juga menunjukkan kurangnya tanggung jawab dan penghargaan terhadap daerah asal.
Jika terhadap bahasa ibu; tidak bangga, tidak merasa sebagai ‘harta milik’ yang harus dijaga-dilestarikan, akan bagaimana nasib serta kelanjutan bahasa ngapak?

Diskriminasi Gender di Korea Selatan



Dimuat di Tribun Jateng Minggu, 2 Februari 2020

Judul         :    Kim Ji-yeong, Lahir 1982
Pengarang:    Cho Nam-Joo
Penerbit    :    Gramedia Pustaka Utama
Cetakan    :    Ketiga, Januari 2020
Tebal         :    192 halaman
ISBN          :    978-602-0636-20-7

Korea Selatan adalah negara progresif. Kemajuannya—nyaris di segala bidang—berlangsung pesat. Namun, dalam hal pola pikir dan perlakuan yang berkaitan dengan relasi laki-laki-perempuan, justru berjalan di tempat.
Kenyataan ini terungkap gamblang dalam novel Kim Ji-yeong, Lahir 1982. Melalui kehidupan tokoh utama Kim Ji-yeong, khalayak pembaca disodori aneka diskriminasi gender dan praktik misoginis yang berlangsung di lingkup keluarga, masyarakat, hingga negara.
Misalnya, keluarga-keluarga di Korea Selatan—secara umum—sangat mengharapkan kelahiran anak laki-laki. Kelahiran anak laki-laki adalah kebanggaan. Sebaliknya, kelahiran anak perempuan adalah aib memalukan.
Dengan dalih alasan medis, praktik aborsi bagi ibu yang mengandung bayi perempuan, disahkan masyarakat dan seolah-olah dihalalkan pemerintah—lantaran adanya pembiaran (halaman 25-27).
Dalam kancah dunia pendidikan, pembedaan perlakuan laki-laki dan perempuan tidak kurang mencolok. Sudah menjadi tradisi di sekolah, presensi siswa laki-laki ditempatkan pada urutan awal, baru siswa perempuan. Demikian pula dalam kesempatan tampil, baris-berbaris, serta pemeriksaan PR maupun tugas; siswa laki-laki selalu didahulukan (halaman 40, 43-44).
Dalam lapangan pekerjaan, perusahaan-perusahaan lebih memilih pelamar laki-laki dibandingkan pelamar perempuan, meski berkualifikasi sama. Alasannya, laki-laki lebih memancarkan kesan meyakinkan, karena sudah menjalani wajib militer, karena akan menjadi kepala keluarga, dan sebagainya.
Jika pada akhirnya, ada perempuan yang berhasil menembus dunia kerja, promosi jabatan akan sukar didapatkan, walau dia berprestasi dan berdedikasi tinggi. Alasannya, perempuan yang pintar dan memiliki kinerja menonjol, terlihat mengintimidasi (halaman 94-97).
Dalam lingkaran sosial, perempuan yang mendapat pelecehan seksual, justru disalahkan, seperti dialami Kim Ji-yeong saat hendak diperlakukan tidak senonoh oleh teman kursusnya, sang ayah malah memarahi dan menyudutkan anak perempuan itu (halaman 63-65). Atau yang dialami Kang Hye-soo, sahabat Kim Ji-yeong, saat menjadi korban pengintaian kamera tersembunyi di toilet kantor. Pihak berwenang sengaja melindungi pelaku dengan alasan konyol (halaman 153-156).
Pada halaman 166, sebagai akhir, namun bukan terakhir, Kim Ji-yeong bertanya akan ketidakadilan yang menimpanya, “Aku sudah melahirkan seorang anak dengan susah payah, aku sudah melepaskan hidupku, pekerjaanku, impianku, keseluruhan diriku demi membesarkan anakku. Tetapi aku malah dianggap seperti serangga. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?”



Kendati membentangkan kepincangan dunia laki-laki dan perempuan, Cho Nam-Joo—selaku pengarang—menyuguhkan novel anggitannya secara tenang. Tidak menggebu-gebu dan sinis sebagaimana dilakukan pengarang perempuan yang juga menulis novel bertema sama, seperti Nawal el Sadaawi dan Abidah el Khalieqy.
Dari novel ini, dapat ditarik kesimpulan: diskriminasi gender serta praktik misoginis di Korea Selatan—bahkan di seluruh dunia ini—terus dilakukan dan dilanggengkan atas dasar tradisi. Padahal, sebagai buatan manusia, tradisi—idealnya—bersifat luwes, dapat berubah dan disesuaikan kebutuhan. Tinggal bagaimana manusianya sendiri, mau atau tidak mengubah untuk menyempurnakannya?