Jumat, 31 Januari 2020

Alternatif Kehidupan Remaja Masa Kini


Dimuat di majalah Derap Guru Jawa Tengah edisi Februari 2020

Judul           :      Birunya Langit Cinta
Pengarang :      Azzura Dayana
Penerbit      :      Indiva Media Kreasi
Cetakan      :      Pertama, Maret 2019
Tebal           :      368 halaman
ISBN            :      978-602-5701-01-6

Corak kehidupan demikian beragam. Antarkelompok masyarakat, jelas ada perbedaan. Perbedaan tersebut dipengaruhi berbagai faktor seperti ideologi maupun kebiasaan.
Mana yang paling tepat? Mana yang paling ideal? Mana pula yang bermanfaat besar bagi kemanusiaan?
Tentu tulisan ini tidak akan menjawabnya. Sebaliknya, tulisan ini hendak menyuguhkan sekelumit corak kehidupan yang dihayati suatu masyarakat tertentu—dalam hal ini adalah kaum mudanya—sebagaimana diuraikan dalam novel Birunya Langit Cinta.
Adalah Dey—tokoh utama novel iniseorang remaja, aktivis, dan organisatoris. Sehari-hari, dia berupaya mengejawantahkan pola hidup agamis sesuai keyakinannya.
Pola hidup agamis yang dimaksud antara lain: rajin menegakkan shalat, rutin berpuasa Daud, tekun menghafal ayat suci, aktif berdakwah, memperkuat ukhuwah atau persaudaraan, ghadhul bashar atau menundukkan pandangan terhadap lawan jenis bukan kerabat, mencari jodoh dengan cara ta’aruf atau perkenalan melalui rekomendasi senior, dilanjutkan pertukaran biodata, dan diskusi intens mengenai individu masing-masing.
Pelaksanaan pola hidup demikian, menjadikan Dey merasa diri lebih teratur dan terarah. Tetapi, teman-teman Dey yang serba permisif, hedonis, dan liberal menganggap perilaku tersebut sebagai sesuatu yang aneh, menghambat, dan mengekang kebebasan.
Di antara perbincangan menarik mengenai benturan pandangan dua golongan tersebut terekam dalam halaman 18-20.
Satyo—sebagai wakil golongan liberal—berkata, “... Saya sendiri yang memilih gaya hidup selebritis ... Apakah saya bisa bertahan dengan style ini ketika sering berada di kalangan yang tidak selevel seperti kelas ini? Padahal saya merasa dengan style inilah saya memperoleh jalan ternyaman dalam bergaul ... Misalnya Reno ... Atau Daiyah ... Mereka muslim yang ... fanatik ... Ini dan itu serba tidak boleh. Melakukan ini haram, melakukan itu syubhat. Berpandang-pandangan alergi, jabat tangan anti. Untuk kami di sini yang sudah menerimanya, it’s okay. What about the other society?”
Dey—sebagai wakil kaum agamis—berargumen, “Menurut keyakinan saya begini: Hidup akan lebih baik jika terpola. Dan pola terbaik dalam menjalani hidup adalah agama kita. Jika saya melakukan ini dan itu, atau tidak melakukan ini dan itu, semua karena saya menginginkan hidup saya selaras dengan pola yang saya katakan tadi.”
Pendapat senada, disampaikan Reno—rekan sehaluan Dey, “The same answer as Dey’s ... Jika saya memutuskan untuk memilih gaya hidup seperti ini, itu karena saya yakin saya telah menemukan kebenaran yang lebih dari yang lain.”


Pada halaman-halaman lain, masih banyak lagi corak kehidupan golongan satu ini yang menarik untuk ditelaah. Bagi yang percaya, pemaparan novel ini dapat semakin meneguhkan prinsip diri. Bagi yang tidak menghayati pola demikian, novel ini memberikan gambaran alternatif kehidupan yang—mungkin—bisa diterapkan. Sedangkan bagi yang “berseberangan”, novel ini dapat meluaskan cakrawala berpikir akan heterogenitas masyarakat. Membaca novel ini, barangkali dapat memberikan perspektif untuk lebih menoleransi masyarakat lain, dengan dasar: yang mereka lakukan ada pertimbangan-pertimbangan rasional.
Sementara bagi orang tua dan guru sekolah menengah, novel ini dapat dijadikan alternatif bacaan bagi ananda guna penguatan pendidikan karakter.

Kamis, 30 Januari 2020

Demikian Orang Tua, Demikian Pula Anaknya


“Kamu tidak punya anak, bagaimana tahu jiwa seorang anak!”
Begitu kutipan SMS seorang ibu kepadaku. Waktu itu, seperti yang sudah-sudah, dia mengirimiku SMS panjang-lebar. Sama seperti yang sudah-sudah juga, isinya marah-marah. Kali itu, dia tidak terima, karena anaknya tidak diikutsertakan suatu kegiatan kepanduan.
Aku yang sesungguhnya tidak terlibat dalam pemilihan nama-nama yang bakal diikutkan kegiatan, terheran-heran dan tentu saja, mangkel. Sore-sore, panas, baru pulang kerja, capek, eh ... kena semprot.
Tetapi, penjelasanku tidak ada gunanya. ‘Ainus sukhti atau pandang kebencian memang selalu menutupi segala kebaikan, tanpa terkecuali.
“Selalu ada alasan untuk membenarkan diri sendiri,” begitu tulisnya, lagi, membalas SMS-ku.
Menghadapi manusia macam ini, sikapku adalah, “Jika ada yang merasa berhak bicara apa saja, maka kita pun berhak mengabaikannya.” Mengabaikan dalam arti; tidak menanggapi lagi, meski bukan berarti melupakan.
Kejadian ini, tidak kemudian membuatku mengabaikan anak si ibu. Dia tetap kuperlakukan seperti yang lain-lain. Jika ada materi pelajaran yang tidak dipahami, aku tetap menolongnya, sebab, dia adalah klien. Gajiku turut ditopang orang tuanya. Pikiran ini selalu berdengung di kepala tiap berhadapan dengan anak si ibu. Namun, hubungan batiniah sudah lenyap sama sekali. Simpati, bahkan empati terhadap anak ini, jelas tidak ada.
Bukan melulu karena perilaku ibunya. Tetapi karena si anak juga menunjukkan perilaku berbeda ketika berhadapan denganku dan berhadapan dengan ibunya. Di depanku, bilang A. Setelah ada ibunya, berubah B. Kata-kataku dipelintir jadi C, dan seterusnya ...
Di lain waktu, seorang bapak berkali-kali menghunjamkan tuduhan kepada tempat kerjaku. Dia hasut orang tua siswa lain untuk percaya, ada guru (bukan aku) yang jarang mengajar. Justru lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tata usaha, mengerjakan administrasi keuangan sekolah.
Kali lain, dia membuat surat pengaduan kepada pihak berwenang. Isinya, tempat kerjaku menyelewengkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), dan seterusnya, masih banyak lagi.
Tuduhan-tuduhan itu tidak dialamatkan kepadaku. Tapi, aku yang—waktu itu—menjadi bagian dari manajemen sekolah, tahu betul duduk perkaranya. Semua tuduhan tadi, bohong belaka.
Hanya saja, menghadapi manusia jenis ini, sikapku tidak mengabaikan seperti kepada si ibu sebelumnya. Si bapak menggalang massa,  menyebarkan dusta kepada siapa saja, menyeret-nyeret persoalan—yang sebetulnya—remeh ke ranah hukum.
Aku pilih melawannya.
Manusia seperti ini, sangat jumawa. Menghadapinya, kita harus berkali lipat lebih jumawa. Tentu, bukan kesombongan kosong. Harus dengan bukti-bukti telak yang membungkam mulut besarnya.
Setelah urusan-urusan ribet dengan si bapak kelar, sikapku terhadap anaknya, tetap sama; mengajari sebaik-baiknya. Ketika dia ikut lomba, aku mendampinginya semaksimal mungkin. Saat dia minta bantuanku untuk menulis puisi di majalah sekolah, aku pun menolongnya. Namun, sekali lagi, perasaan mendalam, betapa anak didik ini adalah juga anak rohaniku, tidak ada sama sekali.
Bukan cuma karena tingkah polah bapaknya. Tetapi, karena si anak doyan tantrum. Darahnya gampang mendidih. Tangan-kakinya ringan memukul dan menendang. Anak-anak dan barang-barang di kelas, tidak pernah kelewatan jadi sasaran.
Sungguh benar kata peribahasa, “Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga.” Kelakuan anak, tidak beranjak jauh dari orang tua yang membesarkannya.

Sebuah catatan dari masa lalu,
rampung ditulis di Bancar Badhog Centre, 30 Januari 2020

Selasa, 28 Januari 2020

Sebuah Kemenangan


Suatu kemenangan tersendiri buatku ketika berhasil membuat semua anak laki-laki ini mau berpartisipasi dalam kegiatan pentas seni yang diadakan sekolah, Sabtu kemarin. 
Woro-woro soal kegiatan sudah dilakukan jauh-jauh hari, tepatnya sejak bulan Oktober tahun lalu. Bahkan sering diulang-ulang disampaikan waktu upacara agar warga sekolah tambah giat mempersiapkan diri.
Berbeda dengan anak-anak perempuan kelas kami yang sangat antusias, tidak satu pun dari bocah-bocah lanangku yang berminat ikut. Alasannya seragam: nggak pede.
Ah, bicara soal pede, aku aja sampai sekarang masih terus bertarung melawan diri sendiri untuk menghalau perasaan ini.
Tapi, apa iya kita harus menyerah di bawah sikap mental negatif? Kalau sesekali, mungkin, nggak papa. Kalau sering-sering, tentu aja jangan.
Maka, aku berusaha merayu, mempengaruhi, mengiming-imingi, dan mengomeli mereka (yang disebut terakhir, adalah jurus pamungkasku, hahaha). Sampai awal tahun ini, hasilnya: nihil. Nggak ngaruh!
Sehari sebelum gladi resik pentas seni, dengan agak bosan, aku berkata, “Pak Guru kasihan sama anak-anak perempuan yang udah rajin latihan dari jauh-jauh hari. Penampilan mereka nggak akan dinilai sama dewan juri, karena ada teman-teman sekelas yang nggak mau ikutan. Padahal, yang nggak ikut, jumlahnya lebih banyak. Yah ... kelas kita bakal didiskualifikasi.”
“Emang kalau didiskualifikasi, kenapa?” tanya seorang anak laki-laki.
“Ya nggak dapat nilai-lah.”
“Cuma itu?”
“Mungkin nggak cuma didiskualifikasi. Bisa jadi, kelas kita dapat hukuman. Apalagi, kita ‘kan kelas paling tinggi di sekolah. Harusnya jadi contoh buat adik-adik kelas. Kalau kakak kelasnya aja letoy gini, gimana adik-adik kelasnya?”
Qadarullah, kata-kata ‘remeh’-ku bisa membuat mereka terbujuk. Mereka mau ikut pentas seni. Syaratnya: anak laki-laki harus tampil semua. Nggak boleh ada yang nggak ikut. Syarat berikutnya: mereka nggak mau nari, nggak mau nyanyi. Syarat tambahan: kalau tampil, jangan lama-lama. Syarat lanjutan: mereka minta tampil paling akhir, biar yang nonton sedikit, sukur-sukur, malah penonton udah bubar. 😁
Akhirnya, kami sepakat menampilkan drama pakai bahasa ngapak-ngapak. Judulnya: Bocah-Bocah Ora Umum. Naskahnya kami bikin rame-rame. Kata-kata populer di kelas, seperti, “Mantaps, Luuur,” “Esuk-esuk ora ngopi, lambunge ora hepi,” sengaja dimasukkan, biar lebih kontekstual dan bisa lebih menghayati, karena sering diucapkan sehari-hari.
Yang nyebelin 😂, setelah naskah selesai ditulis di papan, mereka nggak mau nyalin di buku.
“Diketik aja, Pak. Terus di-print, difotokopi. Jadinya, gampang,” kata mereka.
Ya udahlah, aku penuhi permintaan mereka. Nanti, aku tinggal minta kompensasi yang setimpal. Hahaha. Eh, maksud kompensasinya adalah aku minta mereka lebih manut dan nggak sering-sering mem-bully gurunya dengan sebutan: bucin, lebay. 😅
Dengan latihan kilat, jadilah drama kami. Terus, karena judulnya Bocah-Bocah Ora Umum, dibuatlah kostum semacam ini. 😆

*Semua dialog, diterjemahkan dari bahasa Jawa ngapak-ngapak.


Sabtu, 25 Januari 2020

Penulis Muda Harapan Purbalingga


Ada kegembiraan tersendiri ketika membaca naskah peserta Lomba Penulis Cilik Purbalingga 2019 yang diselenggarakan SIP Publishing. Dari sekian banyak cerpen yang ikut serta, masing-masing berupaya menarik perhatian juri lewat caranya masing-masing.
Beberapa penulis, mengangkat peristiwa di sekolah—entah dialami sendiri atau tidak—sebagai bahan tulisan. Sebut sebagai misal, pengalaman datang terlambat, bertengkar dengan sahabat, kecurian, tidak bisa mengerjakan soal ulangan, dan usaha membuat contekan.
Ada juga penulis yang mencoba tampil beda dengan memasukkan unsur budaya Nusantara dalam cerita buatannya, seperti cerpen Sang Desainer Batik—yang kemudian, didaulat menjadi judul sampul buku.
Dalam cerpen ini, batik tidak sekadar hadir sebagai tempelan—disebut sambil lalu, kemudian lenyap sama sekali—namun menjadi elemen penting yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebab, ia merasuk dalam sekujur cerita. Tanpa ia, bangunan cerita karya Safaraz Aufa Azalia pasti runtuh.
Dapat dikira-kira pula, penulis membuat cerpennya dengan semacam riset. Mungkin, penulis membuka-buka ensiklopedia, bertanya kepada orang yang paham, atau berselancar di internet guna mendapatkan kemampuan bercerita tentang macam-macam motif batik seperti  lasem, magetan, kawung, dan pring sedapur, juga ketika menguraikan landmark terkenal seperti Washington Monument dan Museum Smithsonian Institution.
Cerpen-cerpen lain yang memasukkan unsur budaya Nusantara adalah Kuda-Kuda Kemenanganku, Tarian Kuda Lumping, Impianku akan Negeri, dan Si Lesung Pipit
Kuda-Kuda Kemenanganku karya Diana Alexmenzeis, mengusung Pencak Silat, seni bela diri asli Nusantara yang kemudian dipertandingkan dalam SEA Games mulai tahun 1987. Seperti kita ketahui, bela diri ini makin mendunia, setelah booming­-nya film Indonesia berjudul The Raid, diperankan Iko Uwais, tahun 2011, lalu.
Sedangkan Tarian Kuda Lumping karya Binta Muktia Subroto mengangkat kesenian Kuda Lumping, Impianku akan Negeri karya Yesila Nadiya menuturkan lagu-lagu dan aneka masakan khas daerah, dan Si Lesung Pipit karya Rinenda Cahya Rina Girartri menghadirkan satu pethilan atau fragmen mengenai gaprok, dolanan bocah asli Purbalingga yang telah banyak ditinggalkan kids jaman now.
Para penulis cilik ini, dengan karya masing-masing, tidak hanya berusaha menghibur lewat jalinan cerita anggitan mereka, tapi juga menawarkan sesuatu, entah berupa ilmu maupun kesadaran yang bisa mempengaruhi pembaca untuk bangga atau mungkin jatuh cinta kepada budaya Tanah Air.

Sangat pantas diapresiasi pula, cerpen-cerpen yang mengedepankan pentingnya kejujuran, seperti Akibat Kebohonganku, Manisnya Hadiah Kejujuran, dan Sahabat Sejati
Kita tahu dan prihatin, kejujuran—yang sekarang sering disandingkan dengan semangat antikorupsi—menjadi semakin mahal di republik ini. Belakangan, lewat Gerakan Literasi Antikorupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi menggandeng banyak penulis maupun komunitas kepenulisan untuk menghasilkan karya-karya bermuatan kejujuran dan semangat antikorupsi, di antaranya penerbitan serial buku Puisi Menolak Korupsi yang diinisiasi Heru Mugiarso dan Sosiawan Leak serta novel seperti Surat dari Bapak karya Gol A Gong.
Seperti kata Emil Salim (dalam Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang, karya Nh. Dini), penulis cerita juga diperlukan dalam masyarakat. Karena, penulis cerita adalah juga seorang ahli jiwa, ahli kemasyarakatan. Tulisan-tulisannya lebih abadi, dapat mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat ke arah kebaikan.
Di samping cerpen-cerpen yang telah disebutkan, masih ada lima belas cerpen lain yang patut dibaca.
Cerpen-cerpen dalam buku ini, sungguh menerbitkan harapan akan mengemukanya penulis-penulis muda berkualitas asal Purbalingga. Tinggal masing-masing berusaha terus-menerus menempa diri, tidak puas dengan pujian, tidak patah oleh kritikan. Perlu kiranya, orang tua dan guru turut menyingsingkan lengan baju, memecut semangat penulis-penulis muda ini agar terus melaju.



Terakhir, harus disampaikan bahwa guna keperluan penerbitan, dilakukan sejumlah penyesuaian, sehingga cerpen-cerpen dalam buku ini, tidak sama persis dengan naskah yang dikirimkan. Tentu saja, penyesuaian yang dimaksud, tidak mengubah spirit dan saripati cerita.

Salam kreatif,
Juri Lomba Penulis Cilik Purbalingga 2019

Kisah Puteri Keraton yang Diasingkan ke Belanda



Judul          :    De Liefde
Pengarang :    Afifah Afra
Penerbit     :    Afra Publishing
Cetakan     :    Pertama, Januari 2010
Tebal          :    256 halaman
ISBN          :    978-602-8277-16-

Selama ini, puteri keraton dari abad silam selalu digambarkan sebagai sosok perempuan yang menjunjung tinggi kehalusan budi pekerti dan tutur bahasa. Ia adalah pribadi yang santun, manut, serta anggun.  Namun tidak demikian dengan sosok Bendara Raden Ajeng Sekar Prembayun Suryanegara—atau yang biasa dipanggil Sekar Prembayun. Sebagai cucu Pakubuwana X—raja Surakarta Hadiningrat—memang sejak kecil Sekar tinggal dalam lingkungan istana dan dididik dengan tata nilai hidup kejawen yang serba mementingkan kehalusan budi. Tapi berbeda dengan puteri keraton lainnya, Sekar mendapat latihan kanuragan dari penjaga istana, selain pendidikan modern di bangku sekolah sampai tingkat AMS—kira-kira setara SMA saat ini.
Pergaulan dengan guru-guru dan teman-teman bangsa Belanda, membuat Sekar menyadari betapa rendah kedudukan dan harga diri kaum pribumi di mata kaum penjajah berkulit pucat itu (halaman 50). Selain itu, pengamatan akan serbaneka peraturan keraton yang demikian merepotkan, membuat gadis muda itu tumbuh menjadi pemberontak tata nilai yang sudah digariskan leluhurnya sejak beratus tahun silam. Ia enggan mengenakan pakaian sebagaimana kaum bangsawan putri pada umumnya. Ia juga menolak sungkem dan laku dhodhok saat menghadap orang yang dituakan. Sebaliknya, ia memilih selalu memakai blouse dan menggeraikan rambut, dengan alasan kepraktisan. Tidak jarang Sekar kabur dari istana dengan menyamar sebagai laki-laki.
Di luar tembok istana, Sekar aktif menjadi guru bagi anak-anak dari kalangan rakyat jelata miskin. Ia juga menceburkan diri dalam aktivitas politik dengan menjadi anggota Partai Rakyat dan kerap menulis kritikan bagi pemerintah Hindia-Belanda dengan nama samaran Elizabeth Fenton. Terakhir, ia menulis artikel yang mengkritik pembubaran Partai Rakyat dan penangkapan para aktivisnya. Buntut dari penulisan artikel itu, Sekar ditangkap politiewezen dengan tuduhan melawan kebijakan Sri Ratu Belanda. Ia dijatuhi hukuman externering ke negeri Belanda dengan jangka waktu tak terbatas (periksa juga novel De Winst; sekuel sebelum De Liefde).
Sekar sampai di Belanda pada akhir tahun 1931, saat negeri itu sedang disergap musim dingin. Tentu tidak mudah bagi bagi gadis yang selama 22 tahun hidup di daerah tropis untuk menyesuaikan diri di tengah lingkungan yang dingin. Belum lagi status narapidana yang membuat ruang lingkupnya demikian terbatas. Meski ia tidak dimasukkan ke dalam penjara—melainkan “dititipkan” di sebuah puri milik bangsawan Jawa yang menetap di Leiden, tetap saja ada politiewezen yang senantiasa menguntit dan mengawasi gerak-geriknya (halaman 14-16).
Tapi bukan Sekar namanya jika tidak mbalelo. Satu kesempatan ketika politiewezen dan induk semangnya lengah, ia manfaatkan untuk kabur. Ia pun dapat leluasa menjelajahi seantero sudut Leiden dengan mengayuh sepeda . Bahasa bukan jadi kendala, karena sebagai lulusan AMS dan penulis lepas di surat kabar berbahasa Belanda—saat masih di Surakarta—Sekar bisa fasih berbicara menggunakan bahasa kaum penjajah negerinya itu. Sampai kemudian ia berhasil menyusup ke Universiteit Leiden dan menjumpai Profesor Johan van de Vondell—salah satu ilmuwan pendukung politik etis yang dicetuskan Meneervan Deventer. Ilmuwan itu pula yang menjadi dosen Rangga Puruhita; sepupu Sekar yang pernah kuliah di Leiden (halaman 60-64; periksa juga novel De Winst).
Sekar berniat ngangsu kawruh atau setidak-tidaknya berdiskusi dengan profesor  bercambang-bauk itu. Malangnya, aksinya itu diketahui politiewezen, sehingga ia lalu dikurung di puri milik bangsawan Jawa yang menjadi induk semangnya. Tetapi selang waktu kemudian, Sekar kembali kabur. Kali berikutnya untuk mengikuti pertemuan tokoh-tokoh Indonesische Vereeniging, Sarekat Islam, dan Communistische Partij Holland. Namun setelah Sekar mengikuti pertemuan tokoh organisasi yang disebut paling terakhir, ia didatangi mahasiswa Indonesia yang mengingatkan betapa bahayanya organisasi komunis itu.
“’Jangan kira mereka memiliki nasionalisme, Nona!’ ujar Ahmad Baradja, mahasiswa dari Solo. Ayahnya memiliki perusahaan batik yang cukup besar di Laweyan. ‘Setelah Revolusi Bolshevik pecah di Rusia, mereka lebih setia kepada komintern, komunis internasional, dibanding kepada negerinya sendiri.’” (halaman 65).
Kelakuan Sekar yang berkali-kali kabur dan malah ikut serta dalam pertemuan organisasi berhaluan pergerakan pembebasan Hindia, membuat politiewezen berang. Sekar pun “dikirim” ke Den Haag, daerah yang dianggap lebih “aman”. Ia kembali “dititipkan”. Kali ini di sebuah puri bernama Paleis de Liefde; milik Joseph Reynierse, seorang anggota parlemen Belanda.
Di tempat pengasingannya yang baru, Sekar berkenalan dan bergaul akrab dengan Sophie; putri Meener Reynierse, yang bekerja sebagai juru warta The Woman Tribune—surat kabar kaum feminis. Pergaulan dengan Sophie mengantarkan Sekar pada petualangan menelusuri kasus yang menimpa Rusmini van de Brand; perempuan muda asal Jawa yang dijual ayahnya di rumah pelacuran dan kemudian terbukti menjalani affair dengan Meener Reynierse; ayah Sophie (halaman 144).
Keadaan makin runyam manakala Rusmini—yang dijuluki Burung Hindia—diculik; hendak dienyahkan. Sementara Sekar yang berusaha menolong Rusmini, justru dikejar tentara kerajaan yang mengira ia mata-mata Jerman (halaman 371-372).  Tahap selanjutnya, Sekar malah diculik pasukan Schutzstaffel—pasukan rahasia Nazi (halaman 435).
Novel karya Sekjen Forum Lingkar Pena Pusat ini menyuguhkan sisi keberandalan dan maskulinitas seorang puteri keraton yang selama ini selalu digambarkan berperangai lemah lembut. Karakter dominan tokoh Sekar Prembayun adalah keras kepala, grasa-grusu, kadang kurang berpikir panjang—ini menjadi ciri khas tokoh perempuan dalam novel Afifah Afra lainnya.
Menariknya, meskipun cenderung berandal, serta memiliki sejumlah teman yang berafiliasi dengan partai komunis, Sekar tetap mengukuhi pemahaman dasar agama Islam—agama yang dianutnya, seperti tidak mau meneguk minuman beralkohol (halaman 141), menjalankan sembahyang wajib (halaman 257), meyakini kemahakuasaan Allah (halaman 200), serta enggan murtad (halaman 175).
Sekelumit kekurangan dalam novel ini antara lain; Pertama: kekeliruan pemahaman bahwa suku bangsa Jawa sama dengan Melayu (halaman 8, 280), meski kemudian Afifah sedikit meralatnya di halaman 111. Kedua: sejumlah diksi yang terlalu modern untuk ukuran tahun 1930-an, seperti “acuh tak acuh”, “teater”, “litotes”, dan “sublim”. Jika membaca karya sastrawan Indonesia tempo doeloe, akan dapat ditemukan padanan kata yang lebih sesuai dan cocok digunakan daripada daftar kata bertanda petik dua tersebut. Misalnya kata “masabodoh” lebih sesuai digunakan daripada “acuh tak acuh” (periksa buku Gema Tanah Air karya H.B. Jassin yang antara lain menghimpun karangan-karangan bertitimangsa saat pendudukan Belanda, baca juga buku-buku Nh. Dini yang ber-setting sebelum Indonesia merdeka).
Atau “tonil” yang lebih cocok dipakai daripada “teater”—karena menurut catatan Nh. Dini (baca seri cerita kenangan Kuncup Berseri, halaman 68), sebutan “teater” muncul sekitar tahun 1955, dipopulerkan Asrul Sani. Sementara roman Tenggelamnya Kapal van der Wijckkarya Buya Hamka yang ber-setting tahun 1930-an menggunakan kata “tonil” untuk menyebut “teater”.
Ketiga: diceritakan bahwa saat masih mengenyam pendidikan AMS, artinya sekitar tahun 1920-an, Sekar sempat mengunjungi Ya’ik di kota Semarang (halaman 257). Menurut catatan Nh. Dini—yang lahir dan besar di Semarang, Ya’ik justru muncul setelah selesai Perang Revolusi Kemerdekaan, di akhir tahun 1940-an (Kuncup Berseri, halaman 52-53).
Keempat: dalam novel ini halaman 440, tertera titimangsa 1 Februari 2009, saat menandai terjadinya pemberontakan di kapal de Zeven Provincien. Rasanya ini adalah kesalahan ketik, karena seluruh isi novel menceritakan kejadian dalam rentang tahun 1910-1930-an.
Kelima: dalam sekuel sebelumnya—De Winst—disebutkan bahwa gelar kebangsawanan Sekar Prembayun adalah Raden Rara (halaman 80). Sedang dalam De Liefde, gelar kebangsawanan Sekar menjadi Raden Ajeng (halaman 36). Jadi, mana yang lebih tepat?
Keenam: penggunaan ejaan yang kurang konsisten—kerap kali menggunakan ejaan van Ophuijsen seperti oe untuk utj untuk cj untuk y, dan dj untuk j, tapi juga memakai ejaan yang disempurnakan (EYD) yang menghilangkan aturan van Ophuijsen tersebut.
Rasanya sayang sekali jika novel sebagus ini memiliki kekeliruan-kekeliruan yang barangkali tampak remeh-temeh tapi potensial menggerogoti bangunan cerita dan ujungnya jadi kurang meyakinkan pembaca. Ini menandakan Bunda Syaki—sang editor—kurang bermata dewa saat menyunting isi novel ini. Mudah-mudahan bila kelak novel ini mengalami cetak ulang, sekelumit kekeliruan tersebut dapat diperbaiki.

Kelindan Konspirasi di Tanah Flores



Judul        :  Da Conspiraḉẫo; Sebuah Konspirasi
Pengarang:  Afifah Afra
Penerbit    :  Afra Novela
Cetakan    :  Pertama, November 2012
Tebal       :  632 halaman
ISBN        :  978-602-8277-66-2

Sinopsis
Da Conspiraḉẫo merupakan novel ketiga dari caturlogi De Winst. Isinya mengemukakan fragmen kehidupan Rangga Puruhita, cucu Pakubuwono X, saat menjalani masa pembuangan di Flores, beserta pergumulannya dengan tokoh-tokoh lain. Pembuangan itu sendiri terjadi karena Rangga dianggap terlibat dalam gerakan melawan pemerintah Hindia-Belanda dengan mendirikan pabrik batik dan bersekongkol dengan pegiat pro-kemerdekaan di Surakarta (baca: De Winst).
Sebagai orang buangan, tawanan pemerintah Hindia-Belanda, Rangga diasingkan di sebuah rumah reot beratap sirap. Dia dikawal Herman Zondag, bintara KNIL berdarah campuran: Jawa-Belanda. Tentara blasteran itu menjalankan tugas mengawasi gerak-gerik Rangga lebih dari ketat, sehingga Rangga merasa tidak leluasa, karena semua yang dilakukan Rangga serba salah di mata Zondag. Termasuk perkenalan Rangga dengan Maria van Persie, gadis asli Flores; calon biarawati dan Tan Sun Nio, gadis Tionghoa; pedagang candu.
Meski tampak garang dan tidak kenal kompromi, Herman Zondag sesungguhnya adalah tentara berpangkat rendah yang sangat berdedikasi. Dia demikian memuja dan berbakti pada Sri Ratu Wilhemina, ratu Belanda (halaman 64, 113, 590, dsb.). Dia menolak suap dan tidak menenggak alkohol saat bertugas. Di samping itu, dia menguntit Rangga ke mana pun ningrat Jawa itu pergi, seolah-olah anjing pengintai. Tapi Zondag-lah yang menolong Rangga dari jebakan Tan Sun Nio yang sengaja mengumpankan kecantikannya untuk menjerat lelaki (halaman 256-257).
Tan Sun Nio sendiri tidak hanya seorang gadis Tionghoa yang molek, tapi juga rakus dan berkepala batu. Dia mewarisi usaha dagang candu dari Tan Seng Hun, kakaknya yang mati dibunuh bajak laut (halaman 104-105). Memang pada waktu itu, pemerintah Hindia-Belanda tidak melarang perdagangan candu, opium, dan sejenisnya karena pemasukan utama kas negara justru berasal dari penjualan barang-barang itu (halaman 145, 280, 331). Maskapai dagang Tan Sun Nio—yang diberi nama Pek Liong—berjalan sangat lancar, terutama karena dibantu Bevy de Aguia Leste, kawanan bajak laut paling bengis di kawasan Hindia Timur.
Perkongsiannya dengan kawanan bajak laut itu kemudian justru menguakkan kenyataan bahwa merekalah yang membunuh Tan Seng Hun, kakaknya (halaman 332). Kawanan bajak laut itu ternyata mengincar harta warisan Tan Seng Hun senilai lebih dari tiga juta gulden, guna membiayai pendirian Republik Flores Raya (halaman 453).
Dalam usaha pendirian Republik Flores Raya itu, tanpa sengaja Rangga Puruhita juga turut terlibat lewat perantaraan Maria van Persie. Sebagai sarjana ekonomi lulusan Rijksuniversiteit Leiden, dia ditawari posisi menjadi menteri perekonomian dan diajak mengikuti rapat perumusan Republik Flores Raya (halaman 418). Rapat itu berlangsung alot dan malah merembet ke perdebatan sengit, karena salah satu peserta rapat bernama Abdullah Arubusman menolak konsep Flores Raya. Tokoh Islam paling terkemuka di Flores itu lebih setuju pada konsep Indonesia Raya yang sudah disepakati para cerdik cendekia pada 28 Oktober 1928. Rapat tanpa kesepakatan ini akhirnya berujung penembakan mati Abdullah Arubusman oleh Djanggo da Silva, ketua Bevy de Aguia Leste (halaman 423).
Kejadian penembakan itu, meluas ke konflik yang lebih pelik: Rangga diculik, kemudian disekap di sebuah rumah loji milik Bevy de Aguia Leste (halaman 459). Sementara Tan Sun Nio diburu kawanan bajak laut itu yang mengincar spaarbankboekje miliknya yang bernilai lebih dari tiga juta gulden (halaman 582). Di tengah pusaran konflik itu, muncul tokoh-tokoh oportunis seperti Ramos Fernandes, Indo-Portugis yang menjadi kaki tangan Tan Sun Nio sekaligus Djanggo da Silva, dan Mari Nusa, keturunan mosalaki Flores yang ternyata bertalian darah dengan Maria van Persie. Di sisi lain ada pula Johannes van Persie, misionaris sahabat Abdullah Arubusman yang berpura-pura sakit untuk melawan kawanan Bevy de Aguia Leste secara diam-diam. Namun tokoh paling heroik dalam pusaran konflik ini adalah Herman Zondag, tentara bengis yang selalu menguntit Rangga Puruhita. Dialah yang banyak kali meloloskan Rangga, Tan Sun Nio, dan tokoh lainnya dari terkaman mata jahat.
Keunggulan
Novel ber-setting tahun 1920-an ini memiliki liukan konflik yang demikian rumit. Tokoh-tokohnya banyak dan masing-masing mempunyai permasalahan yang berbeda-beda, namun semuanya berujung pada muara yang sama. Hal ini menyebabkan tiap bab novel ini menyajikan ketegangan tersendiri yang dapat menggerogoti rasa penasaran pembaca untuk menuntaskan bacaan sampai halaman akhir.
Novel ini juga menyajikan informasi sejarah yang menarik seperti pernyataan Sri Ratu Wilhemina bahwa pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi di Hindia-Belanda. Sebab Belanda memiliki utang budi yang sangat banyak terhadap kaum yang disebut inlander itu (halaman 115). Hal inilah yang mendorong Sri Ratu Wilhemina mengomandoi pelaksanaan politik etis. Juga kenyataan bahwa pemerintah Hindia-Belanda turut menjadi pemain utama perniagaan candu untuk menambal kas negara yang nyaris bangkrut karena perang berkepanjangan melawan pemberontak (halaman 145). Ditambah diskusi menarik soal sistem ekonomi kapitalis dan komunis (halaman 317-324).
Di samping itu, novel ini juga memaparkan pola keberagamaan orang Indonesia tempo dulu, era sebelum merdeka. Cukup banyak orang Flores yang mengaku beragama Islam tapi tidak menjalankan sembahyang lima kali sehari, karena tidak bisa dan tidak tahu tata caranya (halaman 157, 160). Meski begitu mereka mau belajar sembahyang lewat bantuan Rangga Puruhita. Dikemukakan pula soal gencarnya usaha yang dilancarkan para misionaris untuk mengkristenkan kaum pribumi. Menariknya, tokoh misionaris yang diwakili Johannes van Persie hanya mengkristenkan pribumi yang tidak memiliki agama. Dia tidak memaksa orang yang menolak dibaptis (halaman 159). Selain dua agama itu, penduduk Flores yang terdiri dari berbagai latar bangsa—Jawa, Flores, Cina, Belanda, Portugis, Siam—juga menganut kepercayaan beragam seperti animisme, dinamisme, dan agnostik. Semua dapat hidup berdampingan tanpa sengketa SARA seperti yang kerap meletus era sekarang ini. Bahkan mereka dapat saling bekerja sama tanpa mengusik agama masing-masing. Misalnya kerjasama Johannes van Persie (Katolik) dengan Abdullan Arubusman (Islam), juga Maria van Persie (Katolik) dengan Rangga Puruhita dan Ine Nurkasih (Islam). Mereka bahu-membahu menghidupi Perguruan Bunga Bangsa yang memberikan pengajaran pada anak-anak pribumi yang miskin lagi bodoh (halaman 182-183, 226-229).
Sebagai pengarang yang berafiliasi dengan FLP—organisasi penulis Muslim yang kerap dikabarkan kolot soal pemahaman agama—Afifah Afra menggelarkan realitas keberagaman agama masyarakat Flores tanpa mengunggulkan satu agama dan merendahkan agama lainnya. Meski tampak sekali keberpihakan pengarang pada Rangga Puruhita (wakil Islam), pengarang tidak memaparkan perbedaan antar agama secara hitam-putih seperti novelnya yang terdahulu (baca: Bulan Mati di Javasche Orange).
Kelemahan
Dalam buku How To Be A Smart Writer karya Afifah Afra, dikemukakan bahwa pengarang sebaiknya tidak ikut intervensi dalam masalah antar tokoh cerita fiksi, sehingga para tokoh itu tidak menjadi jelmaan pengarang yang membelah jadi beberapa bagian. Atau kalau ingin mengintervensi, pengarang dapat menjadikan salah satu tokoh sebagai gambaran kepribadian atau corong gagasannya (halaman 154).
Apabila saran tersebut ditujukan bagi novel Da Conspiraḉẫo ini, justru tampak sekali betapa kepribadian, suara hati, dan gagasan Afifah Afra mewujud dalam bentuk banyak tokoh. Seperti tokoh Rangga Puruhita dan Tan Sun Nio yang menjadi narator secara bergantian di tiap bab berbeda. Bila mencermati gaya bertutur, pola pikir, dan tata sikap kedua tokoh itu, dapat disimpulkan betapa mirip kepribadian keduanya. Keduanya sama-sama suka bertutur memakai bunga-bunga bahasa dan cenderung lebay. Keduanya suka sekali menggunakan kata “nan”.
Di samping itu, keduanya gampang menyimpulkan isi atau jeroan tokoh lain hanya lewat pandangan lahiriah—penampilan, cara bicara, binar mata. Mereka mudah terpesona dan segera saja memutuskan lawan bicaranya sebagai “orang cerdas” meski baru kali pertama bertemu atau sekadar lewat cerita orang lain. Contoh: pertemuan antar-keduanya atau pertemuan masing-masing dengan Daniel Liem, Djanggo da Silva, Ramos Fernandes, Mari Nusa, Maria van Persie, Hendrik Reynst, dsb.
Hal yang agak aneh adalah tokoh Tan Sun Nio yang dikatakan pengarang sebagai sosok cerdas, keras kepala, dan tidak mudah percaya orang lain, justru langsung percaya begitu saja omongan budak bernama Marwah (halaman 327-332) dan morfinis bernama Va Long (halaman 348)—terlepas bahwa perkataan kedua tokoh itu benar adanya. Padahal mereka baru bertemu dan pertemuan itu singkat saja! Juga sifat percaya diri Tan Sun Nio yang berulang kali diyakinkan pengarang lewat narasi, justru tampak kebalikannya, ialah penggamang dan “lugu”, antara lain saat berunding dengan Hendrik Reynst soal penjualan sepuluh hektar ladang opium di Laos (halaman 286, 289, 305-306, 310-311, 326).
Lewat serangkaian peristiwa dan dialog antar tokoh, sosok Tan Sun Nio yang tergambar di benak pembaca justru adalah seorang gadis gegabah, grasa-grusu, dan kurang berpikir panjang.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah penggunaan sudut pandang penceritaan yang kurang konsisten. Di satu sisi, Rangga Puruhita dan Tan Sun Nio menjadi narator secara bergantian, tapi di sisi lain malah muncul kata “nya” dan “dia” dalam paparan narasi. Padahal kedua tokoh sedang menceritakan dirinya sendiri.
Wallahu a’lam.

Kelindan Cerita Mahasiswa Indonesia di Benua Australia



Judul          :      Serial Pingkan 2; Seperti Daisy di Musim Semi
Pengarang :      Muthmainnah
Penerbit     :      Gizone Books
Cetakan     :      Pertama, Juli 2011
Tebal          :      280 halaman
ISBN          :      978-602-8277-42-6

Serial Pingkan 2; Seperti Daisy di Musim Semi merupakan kelanjutan dari Pingkan; Sehangat Mentari Musim Semi yang dulu diterbitkan Asy Syaamil Bandung dan sekarang estafet penerbitannya dilanjutkan oleh Gizone Books Surakarta. Sama seperti edisi pendahulunya, edisi yang sekarang pun sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, sempat dipublikasikan di majalah, secara berseri. Bila serial pertamanya dulu dimuat di majalah Annida (era tahun 1993), edisi lanjutannya dimuat di majalah Girlie Zone (kisaran tahun 2009-2011). Setelah pemuatannya tandas habis, barulah seluruh bagian cerita dikumpulkan dan diterbitkan utuh sebagai buku.
Isinya sendiri memaparkan kelanjutan kisah Pingkan Rahma, gadis Padang yang merantau ke Australia, guna menuntut ilmu di Murdoch University, Perth, jurusan Fisika. Sepeninggal Nenek—ialah perempuan mualaf Australia yang tak bertalian darah dengan Pingkan, namun setelah meninggal justru meninggalkan warisan harta yang demikian banyak bagi gadis yang terampil karate itu, Pingkan bersama Reni—sahabatnya—tinggal di rumah megah warisan Nenek. Saking megahnya, Pingkan memanfaatkan rumah tersebut sebagai kantor International Muslim Student Association (IMSA). Lantai bawah rumah yang terdiri dari dapur, dua ruang duduk, ruang makan, dan perpustakaan dipakai untuk kegiatan IMSA. Setengah lantai dua dipakai untuk menyimpan barang pribadi Nenek—kamar Pingkan dan Reni ada di bagian ini. Sedangkan bagian kanan lantai dua, ada tiga kamar, dipakai sebagai asrama sisters yang membutuhkan shelter. (halaman 8).
Dengan peninggalan kekayaan tersebut, jelas perkara keuangan atau kebendaan bukan jadi soal bagi Pingkan, karena lewat uang warisan Nenek, Pingkan di antaranya bisa membantu saudara muslim di Palestina dam ikut membiayai kegiatan IMSA. Pendek kata, warisan dari Nenek sangat cukup bagi Pingkan untuk “bisa merasakan hidup nyaman; bergelimang harta”. Namun tentu saja ada hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan dengan uang. Hal-hal inilah yang kemudian menjadi semacam rantai ujian bagi Pingkan. Mulai dari soal Sister Khalda—saudara seiman asal Afganistan—yang kemudian memisahkan diri dari komunitas muslim Australia, malah memilih tinggal serumah dengan Frank—lelaki nonmuslim yang sering menggodanya—dan menanggalkan busana identitas muslimah (episode Cerita Sister Khalda dan Teka-Teki); koneksi internet di rumah yang digunakan oleh orang tertentu untuk mengakses website-website porno, sehingga setiap kali komputer dinyalakan selalu muncul pop-up iklan pornografi yang terhubung dengan website porno tadi (Balada Komputer Rumah dan Teka-Teki); Reni—kawan serumah Pingkan—yang melakukan cara-cara di luar nalar guna menurunkan berat badan (Ayo Lari, Menjadi yang Terbaik); kegiatan IMSA yang diintai mata-mata dari Mossad Israel (Intel Itu…); dan soal pergaulan bebas mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kebanyakan kali berbuntut kasus aborsi (Lani).
Sebetulnya, kasus-kasus itu berpusar di luar di Pingkan. Namun Pingkan tidak berwatak cuek bebek, masabodoh dengan lingkungan sekitar. Ia peduli, turut merasakan, memikirkan-mencari solusi, dan tak segan-segan mengurunkan tenaga maupun uang. Dengan watak yang ideal itu, tidak berarti Pingkan lepas dari kekurangan atau kealpaan diri. Bagaimana pun Pingkan adalah gadis yang tengah beranjak menuju dewasa. Tentu ada perubahan-perubahan dalam diri yang mau atau tidak—baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun dipengaruhi orang luar—membuat Pingkan harus menghadapinya. Persoalannya, kepribadian Pingkan belumlah mengendap, masih dalam upaya memantapkan, sehingga persoalan-persoalan pribadi—termasuk juga persoalan sosial—masih ditanggapi dengan cara emosional.
Seperti soal Rizal; lelaki beraut muka rupawan, aktivis dakwah yang rutin mengisi pengajian mahasiswa. Lelaki ini selalu muncul di sekitar Pingkan, seolah-olah menguntitnya. Tidak cukup sampai di situ, dia juga kerap menyengat Pingkan dengan kalimat-kalimat yang sebetulnya tidak menyakitkan hati, tapi bagi Pingkan amatlah merunyamkan. Yang terang, Rizal tertarik pada Pingkan dan ingin menjalin hubungan yang bukan main-main dengan gadis mantan model itu. Rizal sendiri sudah mengantongi izin juga restu dari keluarga Pingkan di Padang sana; dan barangkali oleh sebab itulah Rizal kerap “berkeliaran” di sekitar Pingkan, seakan-akan laron yang sedang mendekati lampu; hendak merasakan cahaya dan panas kebakarannya.
Yang menjengkelkan Pingkan dan pembaca, meskipun disebut sebagai orang yang mengerti agama, tapi kelakuan Rizal terhadap Pingkan tergolong melanggar batas pergaulan yang diperkenankan Islam bagi lelaki-perempuan yang bukan mahram. Rizal tidak segan-segan mendekati-mengajak ngobrol Pingkan dalam kondisi hanya berduaan (lihat episode Wahai Hati: 71-75, Ayo Lari: 83-90, Hadoh, Ngedet! 100-107, Di Tepi Pantai: 231-232; 234-237, dan sebagainya lagi). Rizal juga “berkenan” menjamah atau menyentuh Pingkan (periksa Biking yang Confusing: 154-158, Di Tepi Pantai: 236-237). Celakanya, dalam satu kunjungan terpaksa ke rumah kontrakan Rizal, Pingkan menemukan pigura foto dirinya saat masih menjadi model, tanpa kerudung atau busana yang menutup aurat sebagaimana pantasnya (Lani: 214).
Kejengkelan Pingkan dan pembaca terhadap kelakuan Rizal terjawab di episode Kusut Mengurai. Di sinilah dengan lihai Muthmainnah—sang pengarang—menguakkan alasan ketidakengganan Rizal berdua-duaan dengan Pingkan, termasuk menyentuh bagian tubuh Pingkan dan menyimpan foto gadis itu saat belum mengenakan kerudung. Alasan yang dikuakkan di episode tersebut tidak kurang menjengkelkan, namun juga melegakan, sehingga pembaca pun dapat berkesimpulan, “Oo… ternyata Rizal tidaklah semunafik itu. Justru dia sudah berlaku-berbuat di jalur yang tepat.”
Meski pada akhirnya Pingkan mengetahui alasan yang mendasari perbuatan Rizal, ia tetap merasa diri tidak siap menjadi seorang istri, yang dikatakannya syereeem. Lebih jelasnya Pingkan mengatakan, “Satu yang membuat saya nggak suka pernikahan adalah kesewanangan suami melarang-larang. Lalu memakai ayat ayat Qur’an untuk membenarkan sikap itu. Ukuran baik buruk perempuan kemudian tergantung subjektivitas lelaki yang menjadi suaminya.” (Menapak Babak Baru, yang Mana? 273).
Muthmainnah menutup buku setebal 280 ini dengan keakhiran yang terbuka (open ending). Satu keakhiran yang demokratis, karena menyilakan pembaca melanjutkan sendiri bagaimana yang seharusnya terjadi, sekaligus membuka peluang barangkali buku ini akan dibuatkan sekuel berikutnya.
Sejujurnya, saat membaca buku ini pada bagian-bagian awal, terasa agak menjengkelkan dan “menyesakkan napas” terutama bagi pembaca yang biasa mengunyah bacaan-bacaan sastrawi dengan sajian kalimat yang lengkap. Pasalnya, gaya bahasa yang digunakan Muthmainnah dalam buku ini cenderung pendek-pendek, melompat-melompat, dan gaul abis. Namun di bagian tengah buku, barulah terasa keasyikan dan greget dari kisah ini. Rupa-rupanya, meskipun tiap bab dapat dikatakan berdiri sendiri dan mempunyai cerita yang juga berdiri sendiri, ada seutas benang penghubung antarbab yang tidak tampak, tapi bisa dirasakan kehadiran dan manfaatnya oleh pembaca di ujung buku.
Kesimpulannya, isi buku ini menggambarkan kehidupan seorang mahasiswa Indonesia di tanah rantau, dengan segenap konflik yang tumbuh dari tanah perantauannya maupun yang berasal dari tanah asalnya. Muthmainnah menggambarkan Pingkan sebagai tokoh utama secara sangat manusiawi, komplet dengan lebih-kurang watak dan kelakuannya. Kualitas yang paling mencolok dari buku ini adalah: Pertama, penggambaran suasana lingkungan dan kebiasaan masyarakat Australia terasa hidup sekali. Saya tidak tahu, apakah Muthmainnah pernah tinggal di Benua Kanguru ini atau tidak? Yang pasti Muthmainnah tidak gagap melukiskan kehidupan di lingkungan Australia. Deskripsi suasana terasa lancar dan wajar. Kedua, Pingkan Rahma merupakan penggambaran ideal remaja muslim yang tidak hanya sibuk mengurusi perkara remeh-temeh yang berkaitan dengan dirinya saja, melainkan peduli-mengerti-memahami-mencari solusi bagi persoalan di luar lingkaran dirinya sendiri.
Akhirul kalam, meskipun tergolong bacaan populer, isi buku ini menyajikan kualitas yang mencerahkan dan bertanggung jawab.

Jumat, 24 Januari 2020

Tempat Kerja Baru!



Kali pertama datang ke SDN 1 Karangbanjar, dari rumah, saya sudah menyiapkan kata-kata perkenalan, juga membawa berkas yang perlu diserahkan kepada kepala sekolah sebagai bukti kalau saya memang ditugaskan di situ.
Saya datang sekira jam 7.15. Mula-mula, bertemu dua guru laki-laki yang kemudian mengantarkan saya ke ruang kepala sekolah. Kami saling memperkenalkan diri dan bertukar kata-kata. Tidak lama, guru-guru lain masuk dan ikut berbincang-bincang ringan. Waktu itu, ada lima orang yang mengerubungi saya.
Sebelumnya, saat baru datang, saya diberi tahu kalau kepala sekolah datang terlambat, karena takziah dulu. Lalu, satu persatu guru pergi, kembali ke kelas masing-masing. Oleh seorang guru yang sedang tidak mengajar, saya diajak ke kantor guru.
"Daripada nunggu di sini sendirian," katanya.
Saya menurut. Saat masuk ruang guru, entah kenapa, saya merasa familier dengan tempat itu. Selanjutnya, saya diajak ngobrol. Obrolan terjalin wajar, tanpa rasa kikuk maupun canggung, seolah-olah kami sudah berkenalan lama.
Sampai dua jam lebih saya menunggu kepala sekolah. Lewat jam 9.30, saya pamit, hendak mengikuti saran beberapa guru untuk datang ke sekolah bagian barat (SDN 1 Karangbanjar memang memiliki dua lokasi yang cukup berjauhan).
Sepeda motor saya hampir keluar gerbang sekolah ketika seorang teman guru memanggil-manggil.
"Pak! Pak! Itu kepala sekolah datang!"
Saya kembali ke tempat semula, mendekati kepala sekolah sambil tersenyum. Kepala sekolah balas senyum sekilas, lalu asyik ngobrol dengan anak-anak yang mengerumuninya.
Ketika beliau masuk kantor, saya membuntuti. Beliau langsung bicara kepada teman-teman guru, soal tetangganya yang baru saja meninggal.
Saya duduk di tempat yang diarahkan sambil menunggu. Sekilas, kepala sekolah melirik saya, lalu kembali bicara. Usai membereskan tas, beliau kembali melirik saya.
"Silakan," ujarnya.
"Iya," sahut saya, bersiap akan bicara. Tapi tidak jadi karena kepala sekolah kembali ngobrol.
Beberapa jenak kemudian, kepala sekolah melirik saya lagi.
"Silakan. Dari mana?"
"Dari Bancar," jawab saya, "Begini, ..."
Kepala sekolah memandang tas dan pakaian saya. Saya sendiri bersiap mengeluarkan berkas dari dalam tas.
Tapi, kepala sekolah kembali ngobrol. Saya menunggu lagi. Tiba-tiba, beliau melirik kembali.
"Silakan. Bawa apa? Itu guru-guru banyak."
Alis saya mengerut. Maksudnya?
"Ini 'kan Pak Totok, Bu," komentar seorang guru.
"O ya, tidak apa-apa. Silakan. Bawa apa?" kata kepala sekolah lagi dengan sambil lalu.
"Eeeh, ini guru baru itu, lho, Bu," imbuh guru tadi.
Kepala sekolah menoleh. Memandang saya betul-betul.
"Ooo, Panjenengan guru baru yang ditugaskan di sini, toh?! Habis! Melihat dandanan Panjenengan, saya kira Panjenengan sales."
Mendadak, ruangan dipenuhi suara orang ketawa.

*Semua dialog diterjemahkan dari bahasa Jawa.