Selasa, 23 Juni 2020

Senarai Kritik untuk Sinetron Indonesia




Judul           :   The Secret of Room 403
Pengarang   :   Riawani Elyta
Penerbit       :   Indiva Media Kreasi
Cetakan       :   Pertama, April 2016
Tebal           :   272 halaman
ISBN           :   978-602-1614-51-8

The Secret of Room 403 merupakan salah satu karya unggulan Riawani Elyta, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kepulauan Riau. Novel ini menyabet juara Lomba Menulis Novel Inspiratif (LMNI) 2014 yang diadakan Penerbit Indiva Media Kreasi dan menjadi finalis Islamic Book Award 2018 kategori Fiksi Dewasa Terbaik yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Kendati telah terbit cukup lama, novel ini masih kerap menjadi perbincangan publik. Teranyar, novel ini menjadi pokok bahasan acara bincang buku yang diselenggarakan Kantor Bahasa Kepulauan Riau pada awal Februari 2020.
Apa sesungguhnya keistimewaan novel satu ini?
Secara garis besar, isi novel menceritakan liku-liku kehidupan Aliff, seorang copywriter atau penulis skenario sinetron yang mendapat pesanan dari salah satu kandidat presiden untuk menganggit novel biografis. Novel itu akan digunakan sang kandidat untuk mengkatrol pamor politiknya, menghadapi ajang pemilihan presiden.
Tak disangka, perjalanan Aliff dalam menyusun novel pesanan itu, justru membuatnya terseret pusaran konflik politik, termasuk peristiwa memilukan era 1980-an yang sampai sekarang belum diusut tuntas.
Ulasan ini tidak akan membicarakan kepelikan konflik politik yang ada, sebab sudah dibahas oleh penulis resensi The Secret of Room 403 lainnya. Ada hal lain yang tidak kalah menarik dibicarakan, yakni mengenai upaya pengarang menjadikan tokoh Aliff sebagai corong untuk mengkritik dunia persinetronan Tanah Air.
Kita telah sama-sama mafhum, sinetron-sinetron yang memenuhi layar televisi Indonesia sungguh memprihatinkan sekaligus menjengkelkan. Topik-topiknya tidak pernah beranjak jauh dari soal si miskin namun jelita yang dicintai laki-laki tampan lagi kaya, anak yang hilang, rebutan pacar, dan seterusnya. Para pemerannya pun berpatron serupa: tokoh protagonis yang memiliki hati seluas lapangan golf serta si antagonis berstereotip materialistis, culas, dan kalau marah, matanya melotot-melotot.
Melalui Aliff, pengarang mengkritik perihal kerja penulis skenario sinetron kejar tayang yang melebihi mekanisme mesin pabrik, “... Pasti dari Davesh. Bos besarku di rumah produksi Shangrilla. Pria ekspatriat penggila kerja yang sudah mencoret hampir semua hari libur dalam kalendernya. Celakanya, dia juga ‘mengondisikan’ semua anak buahnya untuk memiliki almanak yang sama.” (h. 14)
“Orang-orang yang berada dalam atmosfer kehidupanku adalah mereka yang kadar gilanya tak jauh berbeda. Para workaholic sejati. Mereka menetaskan puluhan ribu kata perhari dari cangkang otaknya, menempeli belasan post-it di sisi meja dan halaman buku serta memenuhi kalender mejanya dengan lingkaran-lingkaran merah penanda deadline.” (h. 17)
Dengan cara kerja demikian, yang dikejar adalah kuantitas, bukan kualitas. Yang terpikir adalah bagaimana cara merentangpanjangkan cerita sinetron berating tinggi agar tetap bisa menjaring penonton sebanyak-banyaknya? Masa bodoh soal logika cerita!
“Davesh tidak pernah ambil pusing dengan mutu dialog. Satu-satunya yang dia ambil berat adalah berapa puluh lembar skenario yang bisa kuselesaikan dalam sehari.” (h. 19).
“Aku tak punya banyak waktu untuk memikirkan tulisan-tulisan cerdas, apalagi yang mampu membangkitkan efek menggugah, menyentuh, ataupun memotivasi ... Program di otakku telah mengalami pergantian perintah. Perintah untuk menghasilkan tulisan sebanyak mungkin.” (h. 173)
Membaca novel ini menebalkan keyakinan betapa banyak mudarat yang ditimbulkan tayangan sinetron picisan. Rutin menonton tayangan tak bermutu tersebut, potensial menumpulkan logika, menanamkan pola hidup hedonis, mempengaruhi tindak kekerasan verbal dan fisik, juga memandang biasa perbuatan-perbuatan negatif yang disuguhkan layar kaca.
Di sisi lain, novel ini memberi tahu pembaca akan gangguan kesehatan yang kerap dialami para penulis skenario sinetron akibat jam kerja sedemikian. Bahkan tidak sedikit dari copywriter yang menemui ajal, karena kelelahan saat berkutat dengan skenario.


*Thomas Utomo adalah guru di SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Selain menggeluti profesi guru, juga menekuni kegiatan tulis-menulis. Karyanya, baik fiksi maupun nonfiksi, dipublikasikan di sejumlah media lokal dan nasional antara lain Annida, Buletin Jejak, Derap Perwira, Fatawa, Halo Nanda, Koran Jakarta, Kreasi, Nikah, Potret, Radar Banyumas, Sang Guru, Satelit Post, Serambi Ummah, Story, dan Suara Muhammadiyah.

Jumat, 12 Juni 2020

Sepuluh Kesan dari Sang Pangeran dan Janissary Terakhir



Judul           :   Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Pengarang   :   Salim A. Fillah
Penerbit       :   Pro-U Media
Tebal           :   632 halaman
Cetakan       :   Kedua, Desember 2019
ISBN           :   978-623-7490-06-7

Sesuai judulnya, Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (SPJT) menguraikan silang sengkarut Perang Diponegoro dikaitkan dengan pengaruh Turki Utsmani dalam peristiwa kolosal yang membangkrutkan kas Kerajaan Belanda ini.
Kesan yang bisa diperoleh usai mengkhatamkan SPJT antara lain; pertama, informasi yang berlimpah, misalnya mengenai perseteruan bangsa Eropa dengan Turki Utsmani yang menyebabkan masa eksplorasi rempah-rempah, struktur militer pasukan Pangeran Diponegoro yang mengadopsi struktur militer Turki Utsmani, tatacara feodal keraton Mataram Islam, dan taktik Stelsel Benteng yang dijalankan Belanda guna mempersempit ruang gerak laskar Diponegoro.
Kedua, suguhan pandangan hidup kejawaan. Umpamanya, tentang penyebutan kyai bagi sesuatu atau benda-benda tertentu yang berfungsi guna lebih. Contoh, kuda tunggangan Kyai Gentayu, tongkat Kyai Cokro, tombak Kyai Rondhan, keris Kangjeng Kyahi Ageng Bondhoyudho, bendera Kangjeng Kyahi Tunggul Wulung.
Sebagaimana dikatakan Abduh Zulfidar Akaha, bagi masyarakat Jawa, sebutan kyai tidak hanya dikenakan bagi laki-laki ahli agama. Namun juga untuk hal-hal yang telah disebutkan tadi.
Ketiga, kentalnya semangat kebhinekaan. Tokoh-tokoh SPJT terdiri dari beragam latar belakang: bangsawan, santri, rakyat jelata, warga keturunan Arab dan Tionghoa, serta kaum pendatang dari Turki dan Belanda. Kecuali Belanda sebagai antagonis, tokoh-tokoh ini saling berkolaborasi dan bersinergi.
Keempat, gambaran kondisi riil umat Islam yang terkotak-kotak, baik golongan agamis tradisional dan selainnya, serta golongan permisif.
Kelima, deskripsi yang detail. Kita dapat menikmati cara Salim A. Fillah dalam melukiskan Istana Topkapi, Puri Tegalrejo, juga lanskap alam yang menjadi tempat perlindungan para gerilyawan.
Keenam, cerita disajikan seperti puzzle yang terserak. Alurnya maju-mundur, bolak-balik, melompat ke sana, pindah kemari. Pembaca disilakan menyusun sendiri urutan cerita dalam benak masing-masing.
Ketujuh, dihiasi kalimat-kalimat quotable. Sekadar contoh, “Tempat yang paling berbahaya adalah tempat yang paling aman. Hal yang paling mudah ditebak, justru yang paling sering diremehkan.” (h. 229, 269)
“Cinta seorang perempuan seperti kuku-kuku jemari. Ia terus tumbuh dan utuh, meski berulang kali dipangkas agar rapi.” (h. 348)
“Dikhianati tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah berkhianat. Ditipu tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah menipu. Dibunuh tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah membunuh.” (h. 615)
Kedelapan, tokoh yang sangat banyak. Khusus point ini, entah disebut kelebihan atau kekurangan. Salim A. Fillah sendiri mengakui kalau tokoh SPJT sangat banyak (h. 11). Mungkin karena itu pula, Salim memunculkan ciri khas tertentu dari tiap-tiap tokoh guna membantu pembaca mengidentifikasi. Misalnya, Katib Pasha yang suka berkata, “Maktuub!”, Banteng Wareng yang bicaranya ngapak-ngapak, atau Kertopengalasan yang gemar berujar, “Clekek’ane.”
Kesembilan, pelukisan adegan tertentu yang cenderung berlebihan. Ini tergambar dalam adegan perzinaan Patih Danurejo IV (h. 343-344). Rasanya, tidak perlu diilustrasikan detail bagaimana cara jalan maupun kegenitan si gundik dilanjutkan ‘hubungan’ dengan Patih Danurejo IV. Hal ini, pasti bisa disiasati. Umpamanya, Patih memanggil si gundik, kemudian mereka pergi bersama. Penggambaran sepintas lalu, sudah cukup memberi bayangan kepada pembaca mengenai apa yang sedang dan bakal terjadi?
Kesepuluh, inkonsistensi penulisan istilah nonbahasa Indonesia. Misalnya, mana yang dipilih untuk dipakai, inggih atau injih—karena dua-duanya digunakan dalam SPJT? Dalam bahasa Indonesia, kata ini bermakna iya atau baiklah. Menurut Sri Utorowati, dalam bahasa Jawa, kata inggih lebih baku daripada injih.
Lalu, kyai atau kyahi? Tentu, akan lebih ideal, jika dipilih dan digunakan salah satu sebutan saja sebagai bentuk konsistensi penulisan.
Kemudian, penulisan d tebal (secara pengucapan) dalam bahasa Jawa alfabetis, adalah dh. Di banyak bagian SPJT, memang digunakan demikian, seperti kata ndhereaken, dhawuk, dhimas, atau dhapur. Namun, ada kata-kata lain yang terlewat, seperti ora sudi yang seharusnya ora sudhi dan sebagainya.
Selanjutnya, penulisan tho, apa tidak sebaiknya to, tanpa huruf h? Sebab, penambahan huruf h membuat huruf t menjadi diucapkan tebal.
Namun, pada akhirnya, kekeliruan yang disebut dalam point terakhir dapat dianggap remeh, karena ia tidak mengganggu bahkan tidak merusak tersampaikannya pesan kepada pembaca.
Sebagai penutup, perlu kiranya dikutip kata mutiara dari Pearl S. Buck, “Jika kamu ingin tahu masa kini, maka kamu harus melihat masa lalu.”

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Tulisan-tulisannya dipublikasikan sejumlah media cetak dan daring. Dapat dihubungi via 085 802 460 851 atau surel utomothomas@gmail.com. 

Novel Anak Bersudut Pandang Banyak



Judul           :     Tibu, Kucing Kesayangan Syifa
Pengarang   :     Amalia Dewi Fatimah dan Haya Nayla Zhafirah
Penerbit       :     Indiva Media Kreasi
Cetakan       :     Pertama, Maret 2019
Tebal           :     144 halaman
ISBN           :     978-602-495-088-0

Novel ini adalah karya duet ibu-anak asal Probolinggo. Isinya menceritakan tentang Syifa, seorang anak SD yang ingin memelihara kucing. Tapi, keinginan itu sulit terlaksana, karena Ayah dan Ibu melarang.
Kendati mendapat larangan, Syifa tidak putus asa. Dia gigih mewujudkan keinginannya.
Secara keseluruhan, novel ini menyajikan konflik sederhana yang niscaya mudah dicerna anak-anak. Klimaks dan leraiannya pun mudah, membuhul kepada ujung yang menyenangkan.

Kaitannya dengan tugas orang tua dan guru untuk menyediakan bacaan berkualitas bagi anak-anak, novel ini dituturkan menggunakan lima sudut pandang secara bergantian, yakni sudut pandang Syifa, Bunda, Bude, Ayah, dan Tibu. Mungkin tampak rumit, namun sebetulnya tidak. Justru, dengan penggunaan sudut pandang yang banyak itulah pembaca anak-anak dapat diasah nalar, logika, serta kemampuan mencerna secara adaptif saat membaca bab demi bab yang penceritanya silih-berganti.
Dalam bab-bab bersudut pandang Syifa, anak-anak diajak berpikir dan memposisikan diri sebagai seseorang yang berkeinginan besar memiliki hewan peliharaan. Sementara dalam bab-bab yang dituturkan Bunda, anak-anak dapat memahami dilema seorang ibu antara memenuhi keinginan anak dan mematuhi keputusan suami. Sedangkan dalam bab-bab dengan sudut pandang Ayah, anak-anak bisa mengerti alasan-alasan sang kepala keluarga melarang anaknya memelihara hewan.
Hal yang perlu dicatat serta diberi garis bawah adalah, dalam bab-bab yang dituturkan Syifa dan Tibu, pengarang menggunakan point of view (PoV) aku atau orang pertama. Sedangkan bab-bab yang disampaikan Bunda, Bude, dan Ayah, menggunakan PoV dianama orang.
Dampaknya, pembaca anak-anak mampu menghayati nilai keakuan atau personalitas Syifa dan Tibu. Anak-anak secara lebih mudah menjelma menjadi kedua tokoh ini. Seolah-olah Syifa dan Tibu adalah diri mereka sendiri—pembaca anak-anak.
Sementara ketika membaca bab-bab dari sudut pandang Bunda, Bude, dan Ayah, dampak psikologis yang bisa dirasakan anak-anak adalah adanya jarak antara mereka sebagai pembaca dan para tokoh cerita. Anak-anak dapat memahami argumentasi ketiga orang dewasa ini, namun segi keintiman rohani kurang didapat, disebabkan penggunaan sudut pandang yang telah disebutkan, tadi.
Catatan penting berikutnya, dalam bab-bab bersudut pandang Syifa dan Tibu, cara penuturannya lebih sederhana, layaknya pola pikir anak-anak. Sedangkan bab-bab yang bersudut pandang Bunda, Bude, dan Ayah, tidak. Meski bukan berarti bab-bab bersudut pandang ketiga orang dewasa ini terbaca rumit alias sulit dicerna anak-anak. Yang jelas, jika dicerna perlahan, terasa rentang perbedaan daya ungkap dua golongan tersebut.
Namun, sudut pandang tiap-tiap bab yang sengaja dibuat silih berganti, mungkin membuat fokus pengarang—saat menulis—agak meleset. Misalnya, dalam halaman 99, paragraf keenam. Di sana, digunakan PoV orang ketiga, padahal seharusnya PoV orang pertama. Untungnya, kekeliruan semacam itu, tidak banyak dan tidak mengganggu proses membaca.
Terakhir, sebagai informasi, pada Desember 2019 silam, novel ini diganjar Pena Award dari Forum Lingkar Pena Wilayah Jawa Timur.

*Thomas Utomo adalah guru di SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga.
Selain menggeluti profesi guru, juga menekuni kegiatan tulis-menulis. Karyanya, baik fiksi maupun nonfiksi, dipublikasikan di sejumlah media lokal dan nasional antara lain Annida, Buletin Jejak, Derap Perwira, Fatawa, Halo Nanda, Koran Jakarta, Kreasi, Nikah, Potret, Radar Banyumas, Sang Guru, Satelit Post, Serambi Ummah, Story, dan Suara Muhammadiyah.
Buku-bukunya yang telah terbit adalah Petualangan ke Tiga Negara (Indiva Media Kreasi, 2018), Cerita dari Asrama Tentara (Bitread, 2017), Lepas Rasa (Loka Media, 2017), Aku Bukan Gay (Loka Media, 2016), Misteri Nenek Pemuntah Darah (Pro U Media, 2016), Catatan dari Balik Jendela Sekolah (Elex Media Komputindo, 2015), dan Hikayat Tanah Beraroma Rempah (Pustaka Puitika, 2015).
Untuk antologi bersama, karyanya hadir di Kembang Glepang (Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Banyumas, 2018), Bunga Rampai Pemenang Lomba Karya Tulis Fiksi Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas, 2017), dan Creative Writing (Sekolah Kepenulisan STAIN Press, 2013).
Novelnya Petualangan ke Tiga Negara masuk nominasi Buku Islam Terbaik, Kategori Fiksi Anak pada ajang Islamic Book Award 2019 yang dihelat Ikatan Penerbit Indonesia. Cerpennya Lelaki Kata-Kata meraih Juara I Lomba Cerpen Islamic Fair 2018 Tingkat Barlingmascakeb. Sedang cerpennya berjudul Sesungging Senyum Maria menjadi Juara I Lomba Karya Tulis Fiksi Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2017 Tingkat Kabupaten Banyumas.

Isu Waria dalam Sabda Luka



Judul           :   Sabda Luka
Pengarang   :   S. Gegge Mappangewa
Penerbit       :   Indiva Media Kreasi
Cetakan       :   Pertama, Februari 2018
Tebal           :   288 halaman
ISBN           :   978-602-6334-47-3

Waria atau wanita pria adalah sebutan yang mengemuka di Indonesia, sejak tahun 1978, dipopulerkan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Prawiranegara, menggantikan istilah wadam atau Hawa Adam yang dimasyurkan Ali Sadikin, Gubernur Jakarta periode 1966-1977.
Ada banyak sebutan lain bagi golongan satu ini. Orang Jawa, misalnya, menyebut banci—singkatan dari bandhule cilik atau testisnya kecil, makna lainnya adalah bernyali kecil atau pengecut. Orang Aceh menyebutnya khunsa, sedang masyarakat Bugis menjuluki calabai.
Semua sebutan tersebut merujuk kepada sosok pria bersifat dan bertingkah laku seperti wanita atau pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita (KBBI, halaman 1269).
Pertanyaannya: Adakah orang tua yang mendambakan anaknya menjadi waria? Adakah guru yang mengupayakan memiliki murid seorang transgender? Lazimnya, tentu saja, tidak ada. Setiap orang tua dan guru—idealnya—berharap juga berikhtiar mendidik anak maupun murid sebaik-baiknya, sehingga berkembang sesuai kecenderungan alamiah, menjadi pribadi bermanfaat bagi lingkungan.
Namun, apa yang harus dilakukan jika mendapati anak laki-laki yang punya perangai melambai? Bagaimana cara menyikapinya?
Novel Sabda Luka merupakan karya S. Gegge Mappangewa—guru SMP Al Ashri Makassar—yang mengetengahkan isu waria atau calabai—sebutan dalam lingkup masyarakat Bugis, setting novel ini. Adalah Kamaruddin, tokoh utama Sabda Luka. Sedari kecil mula, ia tidak memiliki kedekatan dengan ayahnya, lantaran sang bapak memiliki sifat maupun sikap temperamental. Hubungan keduanya lamis belaka. Sebaliknya, ikatan batiniah yang kuat, Kamaruddin rasakan dengan ibunya. Perempuan inilah yang menjadi panutan baginya, termasuk dalam hal berperilaku. Ya, penampilan lahir maupun batin Kamaruddin—pada akhirnya—menduplikasi ibunya, membuat ia diolok-olok dengan panggilan Kamaria.
Sudah barang tentu, sang ayah marah. Lebih-lebih, ketika Kamaruddin menceraikan istri pilihan ayahnya dan memilih merantau ke Sulawesi Barat, menjadi juru rias pengantin.
Kemudian, setelah bertahun-tahun pergi, Kamaruddin kembali ke Sidenreng Rappang, menemui sang ayah, membawa sosok yang diakui sebagai istri. Kemarahan ayah Kamaruddin perlahan larut, terutama mendapati perubahan perilaku anaknya menjadi lebih maskulin. Sang ayah amat berterima kasih kepada Tiara—menantu—yang dianggap berjasa besar bagi metamorfosis kepribadian anaknya.
Tetapi, siapa mengira jika Tiara, ternyata juga calabai seperti halnya Kamaruddin? Ia piawai bersandiwara, mengelabui mata mertua dan masyarakat pada umumnya, menampilkan diri seperti perempuan sebagaimana layaknya.
Dalam hal ini, hubungan aneh sekaligus unik antara Kamaruddin dan Tiara tak ubahnya kisah kasih Caitlyn Jenner dan Sophia Hutchin. Keduanya adalah tokoh transgender Hollywood yang semula masing-masing bernama Bruce Jenner dan Scott Hutchins. Cerita cinta sesama waria, seolah tak lazim, namun demikianlah realitanya. Pepatah Prancis mengatakan, “La realite depasse l’imagination.” Artinya, “Kenyataan hidup melampaui khayalan manusia.”
Tetapi, bukan keanehan sekaligus keunikan hubungan ini yang dikulik pengarang. Sang pengarang lebih menyoroti seputar apakah waria itu? Bagaimana pergolakan batinnya? Seperti apa tantangan yang mesti dihadapi? Dan bagaimana pandangan serta sikap masyarakat terhadap kaum satu ini?

Membaca novel ini dapat mengilhamkan gagasan—bagi orang tua dan guru—mengenai sikap terbaik dalam mencegah maupun menghadapi anak laki-laki berperangai perempuan. Ya, waria adalah fenomena sosial yang layak diperhatikan cermat. Bukan untuk dicemooh sebagai sampah masyarakat atau didukung sebagai bentuk kebebasan berekspresi, namun disikapi secara bijaksana, agar tidak semakin menggurita, menjadi fenomena yang kian lama justru kian dimaklumi.
Kekurangan novel ini adalah terdapat cukup banyak kalimat tidak efektif. Simak, misalnya bab lima, halaman 51. Pengarang memulai dengan tuturan, “Suaminya yang dulu dikenal sebagai calabai, pun kini telah disegani sebagai lelaki. Melanjutkan usaha ayahnya, setiap malam mengarungi Danau Sidenreng dengan menggunakan ketinting menuju bagang ayahnya untuk mengambil ikan lalu membawanya ke dermaga di Turungeng.”
Barangkali, supaya lebih efektif, kalimat-kalimat tersebut dapat disunting, menjadi, “Suami Tiara yang dulu dikenal sebagai calabai, kini disegani sebagai lelaki sejati. Dia melanjutkan usaha sang ayah, setiap malam mengarungi Danau Sidenreng menggunakan ketinting menuju bagang orang tuanya untuk mengambil ikan, lalu mengantarkan ke dermaga di Turungeng.”
Contoh berikutnya ada di halaman 72, “Dia tak pernah berpikir jika kerut di wajah istrinya muncul karena istrinya telah memberinya tiga anak yang ketiganya hampir memasuki masa remaja.”
Mungkin, kalimat tersebut dapat disunting seperti ini, “Dia tak pernah berpikir jika kerut di wajah sang istri muncul karena pasangannya itu telah memberi tiga anak yang kini hampir memasuki masa remaja.”
Kemudian halaman 169, “Bapak mertuanya yang begitu perhatian padanya, sering membuatnya merasa sangat bersalah.”
Ada tiga nya yang diulang dalam kalimat ini. Ini adalah pemborosan. Seumpama disederhanakan, bisa menjadi, “Bapak mertuanya begitu perhatian, membuat dia sering merasa bersalah.”

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Menulis artikel, cerpen, esai, dan resensi di sejumlah media massa lokal dan nasional, baik cetak maupun daring. Buku terbarunya Petualangan ke Tiga Negara (Indiva Media Kreasi, 2018)—meraih nominasi Buku Anak Terbaik versi Islamic Book Award 2019 yang dihelat Ikatan Penerbit Indonesia. 

Serba-Serbi Jatuh Cinta dan Patah Hati



Judul       :   Kitab Cinta dan Patah Hati
Penulis    :   Sinta Yudisia
Penerbit   :   Indiva Media Kreasi
Tebal       :   384 halaman
ISBN      :   978-602-8277-99-0

Setiap orang, pasti pernah mengalami jatuh cinta. Cinta sendiri dapat dipahami sebagai perasaan positif yang timbul dalam diri terhadap orang lain, baik sejenis maupun lawan jenis, dengan usia sama, lebih tua, atau lebih muda (halaman 23).
Perilaku yang melambangkan cinta tak selalu romantis dan didasari sikap saling melindungi. Banyak pihak justru membuktikan cinta dengan berperilaku sebaliknya: bersikap posesif, sadistis, masokis, dan menindas untuk menunjukkan superioritas.
Tetapi mengapa manusia yang memiliki otak, susunan saraf, neurotransmiter, fisik, dan panca indra yang sama; bisa berlainan perilaku tatkala mencintai sesuatu atau seseorang?
Sebetulnya, perilaku merupakan penampakan dari kondisi psikologis sesesorang. Secara sederhana, perilaku memperlihatkan jeroan seseorang. Dalam keadaan tenang, orang akan dapat makan-minum, berbicara, berjalan, dan beraktivitas lainnya dengan tenang pula. Sedang dalam keadaan gelisah atau marah, orang akan cenderung beraktivitas dengan buru-buru.
Perilaku seseorang—termasuk perilaku cinta—dipengaruhi oleh empat hal yakni multisebab, warisan budaya, genetik dan lingkungan, dan pengalaman hidup. Perilaku cinta masing-masing orang tidak timbul hanya karena satu sebab belaka. Banyak faktor lain yang mendukung terjadinya perbedaan, sebagaimana faktor pencetus perilaku yang berikutnya (halaman 106).
Budaya mencintai dan mengekspresikan cinta sendiri sekarang ini jauh lebih gampang, cepat, dan terbuka dibandingkan zaman dulu. Hal ini karena teknologi berkembang semakin canggih, sehingga manusia semakin ekspresif mengungkapkan isi hatinya, baik lewat handphone atau media sosial seperti Facebook dan Twitter. Jatuh cinta, patah hati, bahkan marah dan caci-maki, dapat leluasa dilakukan di ruang terbuka—media sosial—tanpa kekhawatiran akan menyinggung pihak lain (halaman 108).
Di samping itu—seperti dikemukan di atas; bahwa—perilaku cinta juga sangat dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan pembentuk. Secara genetik, manusia akan terpola dari leluhurnya. Dia akan berperilaku anggun mempesona, termasuk dalam mengungkapkan cinta—bila secara genetik diwariskan sifat-sifat itu. Sementara lingkungan merupakan elemen yang dapat menyempurnakan, menyembuhkan, atau malah memperparah dan memperburuk berkali lipat. Bila secara genetik bapak-ibu memiliki sifat keras, kasar, dan gemar mencaci-maki, maka sempurnalah genetik dan lingkungan menjadi pembentuk watak manusia yang bersifat sekeras batu. Kelak, dia pun akan kesulitan menunjukkan perasaan cintanya pada pasangan dengan cara yang indah; kecuali bila sebagai individu menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik (halaman 111).
Akan tetapi, bisa jadi secara kultur, genetik, dan lingkungan seseorang dididik sangat keras sehingga senantiasa kasar kepada orang lain. Tapi pengalaman hidup yang memperkaya batin—entah di titik mana—menjadikannya manusia yang berbeda: menjadi welas asih pada sesama, terutama pada pasangan. Barangkali saat kecil sering melihat bapak menganiaya ibu, sehingga saat dewasa dia tidak ingin hal itu terulang pada pasangannya. Ataupun juga dia malah mengulang perilaku yang sama. Hal-hal itu tergantung kekayaan pengalaman yang dialami, dipahami, direnungkan, dan diperoleh sepanjang masa hidup (hal. 114).
Oleh karena itulah, cinta bagi sebagian orang dapat menguatkan, sementara bagi sebagian yang lain justru dapat sangat merusak dan menghancurkan—baik diri sendiri maupun pasangan.
Sebagai bagian dari satu paket afeksi, patah hati adalah sisi lain yang sangat mungkin terjadi pada pasangan yang sebelumnya saling mencintai—baik karena terpisah oleh maut atau memang berpisah karena satu dan alasan lain; putus, bercerai, dan sebagainya. Patah hati sendiri dapat diartikan sebagai kondisi emosi dan mental seseorang yang tidak lagi memiliki semangat dan kemauan untuk melakukan suatu hal—terutama yang terkait percintaan—karena rasa kecewa, perasaan tidak suka yang muncul akibat peristiwa-peristiwa tak menyenangkan dengan pasangan. (halaman 284).
Patah hati tidak selalu berkaitan dengan adanya orang ketiga yang bermakna perselingkuhan. Bukan sekadar bosan dengan pasangan, lalu meninggalkannya. Hati terluka, patah pada akhirnya, dapat diakibatkan ketidakmampuan menanggung peristiwa-peristiwa buruk yang mendera selama perjalanan cinta berlangsung. Ujian demi ujian yang mendera sepasang insan yang saling mencinta pada awalnya, boleh jadi memperkokoh ikatan atau malah merapuhkannya.
Sebagian orang menjadikan patah hati sebagai titik kehancuran, karena harapan seperti musnah, tidak ada lagi nyala yang tersisa di bumi. Sebagian lainnya justru menjadikan patah hati sebagai titik balik. Kata Oscar Wilde; hearts live by being wounded—terkadang, hati menjadi lebih hidup usai terluka. Rasa sakit karena hati yang terluka, dapat memicu semangat defense mechanism—keinginan mempertahankan diri dari rasa sakit dan kejatuhan yang lebih parah. Orang yang berhasil menghimpun rasa percaya diri dengan segera, menjadikan patah hati sebagai energi psikis untuk membuktikan bahwa prestasi tetap dapat diraih. Patah hati bukan akhir dunia, bukan berarti diri tak berharga, tak memiliki arti. (halaman 285-286).

Patah hati—bagi penulis buku ini—dapat diobati misalnya dengan mengubah persepsi mengenai kebahagiaan; bahwa patah hati tidak berarti dukalara, kepergian pasangan bukan berarti kebahagian terenggut. Seumpama saat kekasih berpaling pada orang lain, itu berarti cintanya tidak cukup kokoh. Bagaimana setelah menikah nanti? Memiliki kekasih yang belum terikat pernikahan, tak ada keharusan mempertahankan ikatan bila salah satu berkhianat. Mengapa tidak memilih orang lain dengan perilaku yang lebih matang dan lebih baik sebagai pasangan seumur hidup? Kecuali bila telah menikah, tentu perlu dicari jalan keluar yang lebih bijak bila salah satu berkhianat. (halaman 313-314).
Upaya mengobati patah hati juga dapat dilakukan dengan cara lebih mendekatkan diri pada Tuhan melalui salat wajib, salat sunah, dan terutama salat malam, di samping banyak membaca kitab suci, berzikir, meminta saran dari orang salih, dan sering bergaul. Patah hati juga dapat disembuhkan lewat olah raga dan mengonsumsi makanan bergizi—keduanya dapat mempengaruhi hormon-hormon yang mendorong perasaan seseorang lebih rileks dan tenteram.
Di samping menguraikan kedalaman arti jatuh cinta dan patah hati, buku ini juga menampilkan kisah-kisah jatuh cinta dan patah hati yang dialami tokoh-tokoh populer seperti Cleopatra, Napoleon Bonaparte, Marilyn Monroe, Imam Syafi’i, Utsman bin Affan, dan terutama Nabi Muhammad. Dari kisah-kisah tersebut, pembaca akan dapat berkaca dan mendulang pelajaran baik daripadanya.
Sekelumit kekurangan buku ini adalah, pertama, usai penjabaran gamblang mengenai serba-serbi jatuh cinta dan patah hati, tidak ada kesimpulan yang diberikan penulis. Kedua, setidaknya ada 18 ilustrasi dalam buku ini, baik berupa penampang saraf maupun lukisan tokoh masyur (halaman 43, 58, 62, 64, 68, 85, 89, 240, 343, 348, 352, 358, 370). Sayangnya, tidak satu pun ilustrasi yang ditampilkan, disertai sumber asalnya. Ketiga, 50 referensi penulisan yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka, disajikan tidak urut secara abjad.

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Menulis artikel, cerpen, esai, dan resensi di sejumlah media massa lokal dan nasional, baik cetak maupun daring. Buku terbarunya Petualangan ke Tiga Negara (Indiva Media Kreasi, 2018)—meraih nominasi Buku Anak Terbaik versi Islamic Book Award 2019 yang dihelat Ikatan Penerbit Indonesia.

Senin, 01 Juni 2020

Enam Tahun Berbahagia



Bagaimana dua orang yang dalam banyak hal sangat berbeda bisa hidup bersama dan saling berbagi kehadiran?

Yang kiri introvert, yang kanan ekstrovert.
Yang kiri (kelihatannya) pendiam dan 'datar', yang kanan grapyak dan 'heboh'.
Yang kiri suka kesasar kalau nemu jalan baru, yang kanan punya naluri sopir truk 
😁; jadi kalau kesasar, dengan modal intuisi, bisa nemu jalan keluar ... dsb ... dst.

Kok kekurangannya 
 kayak lebih banyak di saya, ya? Emang 😂

Sampai tahun ini, masih ada aja teman kuliah kami yang nanya heran, "Kok bisa sih Totok nikah sama Meli?" 
😁

Kadang-kadang, Meli jadi sensi kalau dapat pertanyaan beginian.

"Memang kenapa?" tanyanya, balik.

Mungkin aneh, ya. Jaman kuliah, kami nggak pernah sekelas, nggak pernah jalan bareng. Masing-masing punya kegiatan di luar jam kampus yang sama sekali berbeda, nggak beririsan. Kelihatannya nggak kenal satu sama lain, eh tiba-tiba kok kirim undangan walimahan?

Mungkin, kalau dalam cerita, inilah yang dinamakan plot twist. 
😁 Alur cerita yang dipelintir sedemikian rupa agar memberi efek kejut di akhir. (Padahal siapalah kami ini?).

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas 
 adalah mungkin. Sangat mungkin. Dunia ini terdiri dari berbagai kemungkinan yang menjelma realitas atas kehendak Yang Mahakuasa. Dan realitas yang mengejawantah itu terus-menerus dipelihara sekuat tenaga.

Akhir namun bukan yang terakhir, terima kasih pada Bue Gonang yang sudah jadi sahabat terbaik, kritikus terpedas, lawan debat yang gigih, ... dst.

Semoga kita bisa terus bersama sampai bilangan tak terhingga di surga, kelak. Aamiin.