Minggu, 31 Januari 2021

Fenomena Fatherless dalam Novel S. Gegge Mappangewa

 


Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 31 Januari 2021

 Menurut Kongres Ayah Sedunia 2017, Indonesia menduduki ranking ketiga fatherless country. Fatherless sendiri dapat diartikan sebagai ketiadaan peran ayah secara fisik dan psikologis dalam tumbuh-kembang anak. Ketidakhadiran tersebut disebabkan faktor perceraian atau pengaruh budaya patriarkat tradisional yang beranggapan tugas ayah melulu bekerja, soal pengasuhan anak diserahkan total kepada ibu.

Jika ditarik ke dalam konteks sastra, tidak banyak karya yang menyoroti perihal satu ini. Barangkali karena—seperti dikatakan Linda Christanty—dunia sastra Indonesia masih sangat maskulin. Pekerja sastra kita didominasi laki-laki. Kalaupun ada perempuan, kebanyakan, pola pikirnya tersubordinasi sisi negatif patriarkat.

Menariknya, sebagai laki-laki, S. Gegge Mappangewa—pengarang beretnis Bugis—justru cukup lantang berteriak mengkritisi fenomena fatherless lewat novel-novelnya, seperti Sajak Rindu (IMK, 2017), Sabda Luka (IMK, 2018), dan Ayah, Aku Rindu (IMK, 2020).

Dalam Sajak Rindu, tokoh Vito diasuh dan dibesarkan ibunya, sebab orang tuanya bercerai karena persoalan agama—ibunya muslim, ayahnya penganut Tolotang, agama kuno masyarakat Bugis. Dia tumbuh menjadi trouble children: suka berbohong dan biang keonaran di sekolah.

Kamaruddin, tokoh Sabda Luka, tinggal bersama ayah-ibunya, lengkap. Namun pengasuhan anak menjadi tanggung jawab ibu, ayah sibuk mengurusi bagang (keramba besar untuk menangkap ikan yang dipasang di tengah danau) dan ketinting (perahu bermotor). Interaksi penuh waktu dengan ibu, membuat Kamaruddin menjadikannya sebagai kiblat utama dalam sikap lahir-batin.

Sedangkan Rudi, tokoh Ayah, Aku Rindu, sejak kecil hidup dalam rengkuhan kasih sayang ayah-ibu. Tetapi pada masa pergolakan remaja, ibunya meninggal dan ayahnya mengalami gangguan jiwa. Berkali-kali sang ayah yang didera delusi: mengira dirinya Nene’ Mallomo—tokoh legendaris Bugis abad 17—berusaha membunuh Rudi yang diyakininya telah berbuat dosa sehingga menyebabkan Kerajaan Sidenreng Rappang dilanda kemarau panjang. Kepergian ibu menorehkan duka, tapi tidak sedalam ‘kepergian’ ayah yang ada tapi tiada. Rudi kerap mengalami feeling lost, kepalanya selalu menyunggi tanya yang membentur dinding kosong.

Merujuk Harriet Lerner (2011), ketiadaan peran penting ayah berdampak terhadap rendahnya harga diri, muncul perasaan marah dan malu karena berbeda dengan anak-anak lain, kesepian, kecemburuan dan kedukaan, kehilangan yang amat sangat, dan rendahnya kontrol diri. Inilah yang dialami Vito dan Rudi.

Sedangkan menurut Sigmund Freud (dikutip dari Lewes Kenneth, 1988), diasuh oleh seorang ibu tunggal dapat membingungkan identitas anak laki-laki. Dia menjadi kurang tegas, kurang terlibat dalam olahraga, dan kurang maskulin daripada anak laki-laki lain karena tidak bisa mencontoh sikap ayahnya. Inilah yang terjadi pada Kamaruddin.

Tetapi dibandingkan Kamaruddin, kondisi Vito dan Rudi masih lebih baik. Keduanya memiliki sosok guru laki-laki yang dapat dijadikan semacam pengganti ayah. Mereka juga terlibat dalam olahraga sebagai sarana katarsis. Sedang Kamaruddin: dia dibenci ayahnya, dimusuhi masyarakatnya, hingga memutuskan pindah dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Barat.

Sebagai penutup, patut dicermati pula temuan Paul Vitz (1999). Dia meneliti kehidupan para pemikir terkenal, di antaranya pemikir yang ateis, seperti Voltaire, Sartre, dan Nietzshe. Hal menarik yang dia temukan adalah ada benang merah dalam kehidupan pemikir yang ateis ini, yakni ketiadaan sosok ayah atau memiliki ayah tapi defektif (otoriter, egois, angkuh, tidak mampu dan mau mendekati anak, melakukan kekerasan fisik dan emosional). Sebaliknya, ketika meneliti pemikir yang dianggap relijius, semacam Blaise Pascal, Martin Buber, dan Chesterton, dia mendapati hadirnya sosok ayah dalam diri mereka. Kesimpulan Vitz, kehadiran ayah dalam hidup anak memberikan perasaan nyaman dan terlindung, yang merupakan benih dari keyakinan pada Tuhan. Ketiadaan sosok ini menimbulkan ruang hati yang kosong, seperti tulisan Sartre yang kira-kira sebagai berikut, “... menjadi ateis, dalam diriku, adalah semacam insting saja.” Suatu pernyataan yang menandakan bahwa kekosongan dalam hidup Sartre mengendap jauh di alam bawah sadarnya.

 

*Thomas Utomo adalah guru SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Dapat dihubungi via surel utomothomas@gmail.com dan nomor 085802460851.

Kamis, 21 Januari 2021

Berkaca pada Cerpen Para Juara (Pemenang Favorit Lomba Resensi Buku Indiva Media Kreasi 2020-2021)

 


Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/01/ulas-buku-berkaca-pada-cerpen-para-juara.html

 

Judul           :   Kasih Sejuta Bunda

Pengarang  :   Lisma Laurel, S. Gegge Mappangewa, dkk.

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan      :   Pertama, April 2020

Tebal           :   144 halaman

ISBN            :   978-623-253-000-3

Harga           :   Rp 39.000,00

 


Kasih Sejuta Bunda—selanjutnya disebut KSB saja—adalah kumpulan prosa pemenang Lomba Menulis Cerpen Lintang 2019 Tingkat Nasional yang diadakan Penerbit Indiva Media Kreasi. Ada sebelas cerpen anak yang menghuni buku kumpulan ini.

Selama mendaras KSB, sebagai pembaca yang berusaha menikmati sekaligus mengkritisi, setidak-tidaknya saya menemukan dua hal penting yang terpantul daripadanya. Pertama, ihwal pertukangan atau teknik yang digunakan para pengarang dalam merakit cerita. Sebagai seorang yang (juga) merasa diri sebagai penulis serta pengarang, buat saya, hal satu ini penting dan sebisa mungkin selalu saya cermati untuk dipelajari.

Dalam konteks buku ini, saya menganggap lebih dari wajib untuk mempelajarinya, sebab—seperti yang telah saya sampaikan—KSB memuat kumpulan cerpen yang menempati aras sebagai pemenang lomba menulis kancah nasional. Tentulah, teknik yang digunakan pengarang tidak biasa-biasa saja, mungkin canggih-canggih, buktinya dapat merebut perhatian juri. Ini adalah dugaan awal saya. Dan ketika mulai menekuri lembar demi lembar KSB sampai khatam, dugaan saya rontok sama sekali. Dalam buku yang disunting Ayu Wulan ini, teknik bercerita yang digunakan para pengarang, cenderung bersahaja alias sederhana. Tidak ada teknik yang sangat wah. Tiba-tiba, saya jadi ingat, “Kesederhanaan,” kata WS Rendra, “memiliki kekuatannya sendiri.”

Sekadar contoh, cerpen KSB yang didapuk menjadi Juara I, memiliki alur bercerita yang maju. Pilihan katanya sederhana, akrab dengan bahasa anak sehari-hari. Sementara tegangan dan kejutannya hampir tidak ada. Namun, semua rangkaian ceritanya proporsional. Tiap fragmen terpadu secara utuh dan rapi.

Kelebihan lainnya, dalam dialog maupun narasi cerita, tidak ada kata-kata yang menjurus kepada rentetan petuah yang disampaikan terlampau verbal lagi menggurui. Hanya di bagian paling akhir, ada kalimat yang menyimpulkan amanat cerita, “… dia memang telah kehilangan ibu kandungnya, tapi Clara mempunyai sejuta ibu yang terdiri dari Ayah yang akan belajar menjadi ibu dan ibu teman-temannya yang sangat perhatian serta menyayanginya seperti anak sendiri. Clara merasa beruntung. Dia akan berusaha untuk senantiasa berpikir positif.” (halaman 15).

Pun Kotak Ajaib Milik Juro (KAMJ) yang menduduki Juara II dan Pembatas Buku Gratis (PBG) yang menjadi Juara III, memiliki teknik bercerita serupa dengan KSB. Alurnya lurus, nyaris tanpa suspense dan surprise yang terlalu. Tetapi keduanya memiliki tingkat plausibility yang meyakinkan—terutama KAMJ yang mengambil setting tempat, suasana, dan kultur masyarakat Jepang.

Berkaca pada ketiga cerpen tersebut—yang dapatlah dikatakan mewakili cerpen-cerpen lain yang tidak disebut dalam ulasan ini lantaran keterbatasan ruang—teknik bercerita bukanlah tujuan, melainkan sekadar alat.

Pantulan kedua, dari segi substansi. Seperti dikatakan Joni Ariadinata, “Substansi mutlak diperlukan dalam karya sastra.” Tetapi jika ditarik dalam konteks sastra (untuk) anak, ada baiknya substansi alias muatan isi tidak ditampilkan terlalu terang benderang dengan rangkaian khotbah menggurui. Biarkan saja anak menebak-nebak atau menentukan amanat cerita berdasarkan pikiran-perasaannya sendiri, tanpa perlu ditunjukkan secara langsung. Kalau menurut bahasa Soekanto SA, “Ibarat memberi obat berselaput gula-gula.”

Sebut misalnya cerpen Rainbow Rose (RR) yang mengetengahkan kehidupan di asrama putri dengan dibumbui konflik khas remaja. Dengan urutan cerita yang ditata sedemikian, terbaca betapa pengarang berusaha mengilhamkan kepada pembaca usia muda untuk menggalang solidaritas sesama perempuan. Ada pula suntikan motivasi untuk mengaktualisasi diri sesuai renjana dan pentingnya semangat diferensiasi. Dua hal yang saya sebut, tercermin lewat kalimat singkat di akhir cerita, “Senyum Ros makin lebar mendengar celoteh teman-temannya. Dia tak ingin menjadi Ros yang biasa-biasa saja.” (halaman 60).

Itulah pantulan dua hal penting yang saya temukan selama hingga usai melahap KSB. Tentu saja pandangan saya bisa benar, bisa juga salah—barangkali saya kurang cermat. Oleh karena itu, ada baiknya jika pembaca resensi ini, menelaah sendiri kumpulan cerpen KSB guna menyemarakkan diskusi kita.

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (sejak 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018).



 

Selasa, 12 Januari 2021

Novel Remaja Berbalut Misteri dan Konspirasi

 


Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Selasa, 12 Januari 2021

 

Judul           :   Perempuan Misterius

Pengarang  :   Nicco Machi

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan      :   Pertama, Juli 2020

Tebal           :   240 halaman

ISBN            :   978-623-253-004-1

Harga           :    Rp 60.000,00


Novel remaja yang dinobatkan sebagai Juara II Kompetisi Menulis Indiva ini menuturkan kehidupan Iska, penggemar berat olahraga tenis lapangan. Suatu ketika, saat Iska mengenyam bangku kelas XI SMA, ayahnya—seorang PNS—dimutasi ke sebuah kota kecil di Jawa Timur. Di kota sederhana ini, Iska kesulitan meneruskan kegemaran bermain tenis. Dia tidak tahu di mana lapangan tenis dan siapa yang hendak melatih dan menjadi lawannya? Sampai kemudian, melalui perantaraan Mimi—teman barunya—Iska dapat kembali berlatih mengayun raket (hal. 33-45). Bermula dari lapangan tenis milik keluarga Mimi inilah bertubi misteri, hingga konspirasi yang mengancam nyawa Iska, dimulai: pertemuan dengan Tante Rina, perempuan pemurung dan tertutup yang piawai bermain tenis, namun tampak memusuhi Iska. Anehnya, perempuan penyendiri itu suka menguntit ke manapun Iska pergi (hal. 38-39, 45-48, 54, 80-81, dsb.). Lalu, perjumpaan dengan drh. Norman Jupiter, selebgram plus aktivis penyelamatan satwa yang selalu tampak ramah, terbuka, dan baik hati, tapi ternyata menyimpan kepribadian jungkir balik (hal. 149-150, 183-203, dsb.). Kedua sosok tersebut memiliki keterkaitan kuat dengan masa lalu keluarga Iska yang telah sejak lama berusaha ditutup-tutupi, bahkan dihapus (hal. 208-233). Kedua sosok tersebut juga terlibat dalam kasus teror yang mengancam keluarga Mimi (hal. 100-104).


 

Di samping informasi dan banyak deskripsi pertandingan tenis lapangan yang disajikan secara filmis, novel ini juga mengusung isu-isu seperti miskonsepsi pemahaman keislaman di kalangan aktivis remaja (hal. 63-66, 113-118, dsb.), kesehatan (hal. 122, 182-189), kuliner (hal. 171-183), dan ekologi (hal. 72-74, 98, 132-140, dsb.).

Menarik dikutip, misalnya kekeliruan pemahaman aktivis remaja dalam membangun jembatan penghubung antara dakwah dengan olahraga, “’Hijaber harusnya ngaji, bukan olahraga!’’Iska, perempuan harus bisa menjaga kehormatan. Saat ini kamu memang masih pakai hijab dan baju tertutup. Tapi kalau lagi main, auratmu bisa tersingkap tanpa kamu sadari.’” (hal. 27-28).


 

Patut dikutip juga perihal ekologi, wabil khusus penyelamatan satwa, “Kasus-kasus animal abuse tidak banyak terungkap ke khalayak. Publik masih menganggap kasus-kasus semacam itu kurang penting, sebagaimana yang masnya tadi katakan, ‘Itu ‘kan cuma keong,’ ‘Itu ‘kan cuma hewan.’” (halaman 138).


 

Melalui novel ini, pengarang tidak hanya menyuguhkan hiburan semata, tapi juga muatan pengetahuan, renungan, dan dorongan bagi remaja untuk giat berolahraga serta peduli terhadap lingkungan sekitar.

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (sejak 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). 


 


Selasa, 05 Januari 2021

Novel Anak Bermuatan Nilai-Nilai Kemanusiaan

 

Tayang di http://www.takanta.id/2021/01/-novel-anak-bermuatan-nilai-nilai-kemanusiaan.html

 

Judul           :   Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko

Pengarang  :   Yosep Rustandi

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan      :   Pertama, Juli 2020

Tebal           :   160 halaman

ISBN            :   978-623-253-002-7

Harga           :   Rp 40.000,00

 

Nilai-nilai kemanusiaan adalah milik semua orang, tanpa terkecuali, tanpa dibatasi sekat-sekat suku, agama, ras, maupun wilayah geografis. Dan kita sepakat, media paling baik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan adalah melalui cerita. Sebab, pada dasarnya manusia adalah homo fabulans atau makhluk penyuka cerita, entah berapapun rentang usianya. Interaksi antarorang, lisan atau tulisan, tatap muka langsung atau virtual, selalu mengandung cerita, apapun itu.

Cerita bisa menjadi abadi dan menjangkau spektrum yang lebih luas jika disampaikan dalam bentuk tulisan cetak atau buku. Guna menyebarluaskan nilai kemanusiaan lewat buku, tentu saja dibutuhkan bacaan yang berkualitas, baik secara isi maupun penyajian. Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko adalah salah satunya.

Novel Juara I Kompetisi Menulis Indiva Tahun 2019 kategori Novel Anak ini menyuguhkan kehidupan tokoh-tokoh yang bulat, lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebutlah Alin, pemulung cilik yang terpaksa menjambret sekantong apel untuk dihadiahkan kepada emaknya yang tengah tergolek sakit. Lalu Jiko, sahabat kental Alin, yang ke mana-mana selalu membawa buku ajaib. Ada juga Emak, ibunya Jiko, yang walau didera sakit dan kemelaratan parah tetap emoh melanggar harkat kemanusiaan. Kemudian, Yasmin, gadis dari keluarga berada yang mengabdikan diri menjadi relawan di sanggar pendidikan untuk anak dan remaja miskin. Terus, Dini, juara Olimpiade Matematika yang keheranan kenapa Yasmin—sahabatnya—mau bertungkus lumus menyisihkan tenaga, pikiran, dan uang untuk kalangan miskin papa? Tidak ketinggalan gerombolan bandit kecil Atan, Sura, dan Wira.

Persinggungan antartokoh disampaikan pengarang lewat tuturan yang filmis.  Pembaca seolah-olah bisa menyaksikan gambaran visual berupa ketegangan, kelucuan, dan keharuan dari jalinan peristiwa. Tak heran, sebab seperti pengakuan pengarangnya, bakal novel ini adalah skenario film.


 

Pada bagian-bagian tertentu, pengarang secara gamblang menyampaikan nilai-nilai kehidupan lewat mulut para tokoh cerita, misalnya melalui lisan Yasmin, “Teh Winda bisa mendapatkan apa saja di buku. Pengetahuan dunia, kebijaksanaan, ada semua. Fisiknya hanya sebesar ini, tapi spiritnya menjangkau sudut-sudut bumi ini. Malah sampai ke planet lain, ke galaksi lain.” (halaman 101).

Lisan Emak, “Emak bahagia. Emak bangga Alin bekerja keras untuk membeli beras … Tapi Emak sedih kalau Alin berbohong. Kita ini miskin, kita ini bodoh, tapi tidak mencuri. Derajat kita menjadi menjadi tinggi, karena kita tidak mencuri, Lin.” (halaman 145).

Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko dapat membuat pembaca merasakan lika-liku kepahitan hidup kaum marjinal. Sungguh, novel ini adalah alternatif bacaan yang baik untuk dihadiahkan kepada pembaca usia muda guna mengasah dan mengasuh nilai-nilai kemanusiaan.

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (sejak 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Dapat dihubungi lewat nomor 085802460851 dan surel utomothomas@gmail.com.