Minggu, 23 Mei 2021

Rahasia di Balik Pakaian Buatan Nenek



Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/04/resensi-rahasia-di-balik-pakaian-buatan.html

 

Judul             :   Aku Sayang Nenekku

Pengarang  :   Amalia Dewi Fatimah

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan        :   Pertama, November 2020

Tebal             :   136 halaman

ISBN              :   978-623-253-021-8

 

Mula-mula, saya hendak bertanya: apa yang terbayang dalam benak tentang sosok nenek? Barangkali, kebanyakan dari kita menyimpan kenangan lembut akan perempuan ini: perhatian, penyayang, pandai memasak, gemar mendongeng, dan sebagainya. Sama halnya dengan Niken, gadis praremaja, kelas empat SD. Dia sangat menyayangi Nenek—ibunya Bunda. Sebab, Nenek sering membuatkan pakaian spesial untuk cucu semata wayangnya itu. Disebut spesial, karena pakaian buatan Nenek memiliki model yang tidak ada di toko pakaian mana pun. Oleh karenanya, Niken selalu bahagia bercampur bangga mengenakan pakaian jahitan Nenek. Tidak ketinggalan, dia kerap memamerkan pakaian buatan Nenek kepada teman-temannya. Terus terang saja, Niken menikmati tatap mata takjub dan decak kagum teman-teman terhadap pakaian eksklusif itu. Ada kepuasan tersendiri yang dia rasakan.

Hingga suatu hari, Nenek yang tinggal berbeda kota dengan Niken, meninggal dunia. Niken beserta Ayah dan Bunda hijrah untuk menempati rumah Nenek yang sekaligus difungsikan sebagai toko pakaian. Bunda yang sehari-hari disibukkan dengan pesanan aneka macam kue, banting setir menjadi pengelola toko pakaian peninggalan Kakek, sementara Ayah juga ganti pekerjaan. Niken pun berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, sampai suatu ketika, datang rombongan tamu rahasia Nenek. Tetamu ini yang kemudian ‘membongkar’ rahasia Nenek yang sebelumnya tidak diketahui Niken, Ayah, dan Bunda. Ayah dan Bunda merasa senang, tepatnya bersyukur akan kenyataan yang baru terkuak itu, sedangkan Niken malah marah juga kecewa. Dia menganggap Nenek membohonginya. Tapi, rentetan kejadian berikut, akhirnya membuka mata hati Niken.

Kejadian apa saja itu? Dan apa sebetulnya rahasia Nenek?

Tentu, detailnya tidak bakal saya beberkan di sini. Sebaliknya, sebagai penyemangat untuk para calon pembaca, perlu diungkapkan segi-segi menarik dari novel anak ini, supaya memacu untuk menelusuri sendiri sekaligus sebagai bahan pembuka diskusi kita.

Pertama, novel ini memiliki gaya bercerita yang empuk, membuat kandungan 14 bab di dalamnya nyaman dinikmati sampai akhir. Contoh, “Hari mulai terang dan matahari bersinar hangat. Niken terbangun oleh percakapan beberapa orang di luar ruangan. Matanya menatap ke sekeliling ruangan, berusaha mengingat berada di mana dia sekarang? Ternyata dia berada di sebuah ruangan dengan meja-meja yang dirapatkan ke dinding. Ada lemari yang penuh buku dan map. Juga ada foto Bapak Presiden dan Wakil Presiden dengan burung garuda di antaranya. Niken mengira dia berada di ruang kelasnya, tapi ruangan ini terlalu kecil. Dan di ruangan ini, ada banyak anak kecil yang tertidur di tikar dan kasur busa.” (halaman 82).

Kedua, tokoh-tokoh novel sangat manusiawi. Tidak ada tokoh yang terlampau putih—yang kemudian ditahbiskan sebagai penjabar hikmah atau nilai kebajikan, seperti tipikal bacaan anak lain. Sebaliknya, semua tokoh memiliki kelebihan-kekurangan—yang dengannya, satu sama lain saling berkontribusi terhadap perkembangan kepribadian masing-masing ke arah metamorfosis yang lebih baik lagi.

Ketiga, topik yang diangkat pengarang, dekat dengan kehidupan keseharian anak, sehingga tidak menimbulkan gap pemahaman. Oleh karena itu, pembaca bisa lebih gampang memahami, bahkan menghayati liku-liku pengalaman Niken, keluarga, dan teman-temannya, misal keegoisan Niken yang berbenturan dengan kekurangpekaan Karina dan kawan-kawan serta Yura, sepupunya (halaman 20-38).

Keempat, dalam sekujur novel, terasa sekali kandungan nuansa kekeluargaan yang hangat dan nyaman, seperti Nenek yang meluangkan waktu di sela kesibukan mengurus toko cita dengan menjahitkan pakaian untuk Niken, Bunda yang terampil dalam urusan kuliner: dia selalu melebihkan kue atau penganan apapun untuk keluarga, tetangga, atau teman-teman Niken, tolong-menolong antarwarga maupun kaum kerabat saat perumahan Niken diterjang banjir, dan kepedulian keluarga Dania terhadap para pengungsi bencana alam.

Kelima, pertanyaan yang selalu didenyut-denyutkan pengarang dalam setiap bab, yakni mengenai: apa sesungguhnya rahasia Nenek yang tidak diketahui Niken sekeluarga? akhirnya terbongkar di bab-bab akhir, lewat cerita yang mengecoh, tapi menggembirakan dan terasa wajar—tidak ada kesan maksa atau dibuat-buat. Dalam hal ini, pengarang piawai mencambuk kemudian mengulur rasa penasaran pembaca, dan memberikan jawaban di akhir secara pantas.

Terakhir, sebagai sedikit penetralisir jika lima point di atas terasa seperti pujian belaka—walaupun sesungguhnya tidak dimaksudkan seperti itu, maka perlu disampaikan kritik: yang gamblang adalah mengenai judul; Aku Sayang Nenekku.

Pertama, judul terasa biasa saja. Kurang memancing rasa ingin tahu lewat tatapan selayang pandang. Barangkali, kalau judulnya diubah menjadi Rahasia Nenek Sumayah atau Rahasia Mesin Jahit Nenek, akan lebih menggelitik rasa penasaran.

Kedua, judul terasa lewah, karena penggunaan kata Aku dan klitik –ku. Bagi saya, dalam hal ini, ada unsur pemborosan kata yang kurang berguna. Judul Aku Sayang Nenek, rasanya sudah cukup baik, meski belum memadai seperti yang disinggung dalam paragraf sebelum ini.

Demikianlah catatan pembacaan saya mengenai novel anak karya Amalia Dewi Fatimah. Jika teman-teman sudah selesai membaca novel tersebut, silakan tanggapi catatan pembacaan ini, agar diskusi kita semakin semarak. Saya tunggu.

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (mulai 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Bisa dihubungi lewat surel utomothomas@gmail.com.

Menyemai Empati kepada Kaum Papa



Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/04/resensi-menyemai-empati-kepada-kaum-papa.html

 

Judul             :   Juru Kunci Makam

Pengarang  :   Sinta Yudisia

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan        :   Pertama, Desember 2020

Tebal             :   136 halaman

ISBN              :   978-623-253-022-5

 

Bagi sebagian orang, pemakaman adalah tempat yang sebisa mungkin dihindari. Alasannya: di situ singup, angker, banyak hantu, dan berbagai dalih lain yang semakna. Tapi untuk sebagian lain, pemakaman justru menjadi sumber penghidupan (seperti bagi juru kunci) atau tempat menyangga kehidupan (bagi tunawisma yang memilih bertempat tinggal di area orang mati ini).

Demikianlah yang dialami Unggul, pelajar kelas VIII SMP Teladan. Bersama ayahnya, dia tinggal di area pemakaman. Ayahnya sendiri bekerja sebagai juru kunci. Belakangan, karena ayahnya kerap sakit, Unggul menggantikan tugas menggali tanah dan mengurusi serbaneka orang mati. Akibatnya, dia jadi sering bolos sekolah.

Di sisi lagi, ada tugas sekolah berupa praktikum Biologi membedah reptil. Tugas itu harus dikerjakan secara kelompok dan dilaksanakan di luar jam sekolah. Donni, Nadia, dan Sofi mendapat jatah berkelompok dengan Unggul. Tapi karena Unggul lama tidak berangkat, nasib tugas pun terkatung-katung.

Terus terang, Donni tidak menyukai Unggul karena persoalan tempat tinggal dan pekerjaan orang tua Unggul yang dianggap tidak umum serta kondisi fisik serta kepribadiannya yang dianggap tidak meyakinkan (kurus, berkulit hitam, pendiam, tidak populer, tidak pandai bergaul [halaman 11]). Donni menolak bekerja sama dengan Unggul dan berusaha mempengaruhi Nadia-Sofi untuk turut serta. Sebaliknya, Nadia-Sofi berteguh harus mengikutkan Unggul dalam kerja kelompok, kendati sesungguhnya, mereka merasa tidak nyaman harus bekerja kelompok dengan remaja yang mendapat stigma aneh. Silang pendapat ini memunculkan percekcokan. Masing-masing pihak mengukuhi pendapat sendiri.

Guna kepentingan bersama, anak-anak putri mengalah. Mereka mendatangi Unggul di rumahnya dan mengajaknya bekerja sama. Perguliran waktu membuktikan betapa Unggul tidak seburuk label yang disematkan. Sebaliknya, dia giat dalam menggalang kerja bersama, dari kepalanya kerap terbit inisiatif baik, dan tanpa jijik, dia sigap menangkap lalu membedah kadal juga kodok. Nadia dan Sofi senang bekerja dengan Unggul. Demikian pula Donni yang akhirnya meralat pikiran buruknya sendiri. Dia sendiri jadi semangat menggambar anatomi organ dalam reptil dengan goresan tangannya yang bagus.

Tapi, di samping urusan praktikum yang lancar dan berhasil cemerlang, ada segi-segi mengenaskan dari kehidupan Unggul yang sebelumnya luput dari perhatian teman-teman sekelas. Unggul sendiri gigih melawan keterbatasan yang membelit keluarganya dengan ikatan kencang, bahkan tanpa membesar-besarkan kondisinya sendiri, dia justru giat membantu tunawisma yang berkeliaran di area pemakaman. Donni, Nadia, dan Sofi terketuk hatinya. Lewat bantuan keluarga masing-masing, mereka pun berikhtiar menolong Unggul dan orang-orang papa di sekitarnya.

Itulah kandungan utama novel ini; pengarang berupaya menyuntikkan kesadaran agar pembaca peduli dan berempati kepada kesengsaraan kaum papa, betapa kemelaratan dan kebodohan bukan untuk dihindari atau disingkirkan jauh-jauh, melainkan direngkuh, diayomi, dan dibantu sebaik mungkin.

Kandungan lainnya adalah dorongan untuk menggalang persatuan di atas kebhinekaan, bahwa perbedaan justru semakin melebar jika selalu ditonjol-tonjolkan, sebaliknya perbedaan dapat menjadi kekuatan jika disatukan atas nama kepentingan bersama.

Seperti novel sebelumnya, yakni Hantu Kubah Hijau (Indiva Media Kreasi, 2017) dan Bulan Nararya (Indiva Media Kreasi, 2014), dalam novel ini pun Sinta piawai membangun suasana seram lewat pilihan kata dan deskripsi cerita. Simak misalnya, penggambaran rumah Unggul,

“Bau lembap. Wangi melati dan tanah basah. Suara burung gagak berkaok-kaok melintas di atap rumah.” (halaman 35). “Hawa dingin menyusup dari celah-celah dinding yang berlubang … Langit-langit rumah yang terbuat dari jalinan bambu sudah tidak tampak lagi apa warna aslinya. Sebagian mencembung di sana sini, seperti bekas roboh tertimpa kucing dan tikus yang saling berkejaran. Di beberapa bagian, warna kuning melingkar tampak memudar, menandakan bekas tetesan air dari atap yang bocor. Jendela dengan daun pintu tak beraturan terbuka miring. Engselnya hampir lepas.” (halaman 36-37).

Atau anak-anak tunawisma yang berkeliaran di pekuburan, “Dalam keremangan senja, diselingi desir angin yang meliukkan dedaunan pohon beringin dan kapuk randu, goyangan ilalang dan perdu, tampak beberapa sosok di sela-sela makam. Dua orang anak kecil berambut gimbal masih sibuk menyiangi rerumputan yang tumbuh liar di sela-sela nisan. Anak-anak kecil lain, yang tak kalah kusut … bersembunyi di balik nisan.” (halaman 88).

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (mulai 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Bisa dihubungi lewat surel utomothomas@gmail.com 

Perempuan dalam Cengkeraman Masyarakat Patriarkhis

Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 23 Mei 2021

 

Dalam dunia yang dikuasai laki-laki, perempuan dipandang dan diperlakukan secara kontradiktif: dipuja sekaligus dinista. Perempuan dianggap sebagai pusat keindahan, karena itu ‘kepemilikan’ akannya merupakan kebanggaan tersendiri, seperti kata adagium populer: harta, takhta, wanita atau dalam tradisi Jawa: wisma, wanita, turangga, kukila, curiga. Pada saat sama, perempuan diyakini banyak orang sebagai makhluk yang mengancam. Ia sumber fitnah dan malapetaka.

Teringat puisi Toeti Heraty, “kemudian kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa/ sebungkah daging, segumpal emosi/ sekaligus imbesil dan bidadari/ dilipat jari kaki, dikunci pangkal paha/ dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi tari lemah gemulai// ia tertunduk karena salah, gentar, patuh, mengecam diri/ dan akhirnya boleh juga, ia dimanja sekali-kali.”

Gambaran ini pula yang mengemuka dalam Damar Kambang. Karya Muna Masyari ini sarat akan persoalan yang menindas perempuan: kawin paksa, pernikahan dini, kekerasan seksual, teluh, dan tradisi yang bias gender.

Adalah Cebbhing, perempuan yang dikawinkan di usia belia, 14 tahun, tapi kemudian digagalkan secara sepihak karena hantaran dari calon suami, tidak sesuai keinginan orang tua. Lalu ia diteluh dan diperkosa guna pembalasan terhadap orang tua yang telah mencoreng harkat-martabat calon besan. Marinten, suaminya mempertaruhkan rumah seisinya dalam judi karapan sapi. Laiknya Drupadi dalam Mahabharata, karena suaminya kalah, Marinten sebagai bagian ‘isi rumah’ terpaksa harus berpindah tuan, menjadi ‘milik’ pemenang taruhan. Ibu Kacong—calon mertua Cebbhing—di masa muda, diperkosa kakak ipar yang demikian menonjolkan dominasi dan superioritas kelelakiannya.

Kendati menyelisihi UU No. 16 Tahun 2019 yang menyatakan batas usia minimal perkawinan adalah 19 tahun—baik lelaki maupun perempuan—pernikahan dini, masih kerap terjadi di Indonesia. Menurut Atnike Sigiro dari Jurnal Perempuan, ada tiga alasan yang mendasarinya: ekonomi, agama, dan adat istiadat. Dalam hal Cebbhing, pernikahannya terjadi bukan karena persoalan ekonomi. Sebagai pengusaha genting, sudah terang, mereka mapan secara finansial. Orang tua mengawinkannya karena adat istiadat atau untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Dan perihal harkat-martabat ini—bagi masyarakat Madura—penting benar, harus dijunjung setinggi-tingginya, melebihi lain-lain hal.

Dalam hal Marinten, ia sendiri tidak berdaya ketika berhadapan dengan hegemoni masyarakat patriarkhis: ia diperlakukan macam properti, dapat dipindahtangankan dengan mudah, bahkan tanpa persetujuan yang bersangkutan. Pun Ibu Kacong. Perannya minor, tidak dianggap dalam pengambilan keputusan bersama. “…aku tidak bisa berkata apa-apa. Suara perempuan seakan selalu tenggelam di balik wajan, dandang, dan perabot lainnya. Percuma saja mendebat panjang.” (hlm. 59).

Setidaknya ada dua hal ‘menarik’ sekaligus ironis dari perangai lelaki yang dapat ditemukan dalam novel ini. Pertama, walau menonjolkan identitas dan dominasi kuasanya, para lelaki dalam Damar Kambang adalah juga pribadi yang ‘tidak percaya diri’. Dalam menyelesaikan masalah, mereka selalu menggunakan bantuan ilmu dukun: Kacong dan Sakrah ketika meneluh dan memperkosa Cebbhing untuk mempermalukan keluarga Madlawi, suami pertama Marinten setiap kali taruhan laga karapan sapi, Ke Bulla dalam menetralisir teluh Kacong, suami pertama Marinten memperdaya Cebbhing untuk membalas dendam kepada Ke Bulla. Pemanfaatan ilmu perdukunan juga menunjukkan betapa pengecutnya kaum lelaki ini: Kacong dan Sakrah mendendam Madlawi, tapi membalasnya kepada Cebbhing, suami pertama Marinten mendendam Ke Bulla, pun membalasnya ke Cebbhing.

Kedua, seperti dikatakan Asma Nadia lewat Istana Kedua, setiap lelaki adalah kucing liar, datang selagi melihat kesempatan lalu pergi setelah memperoleh yang dimaukan. Mereka adalah oportunis alias pemanfaat. Demikian pula lelaki-lelaki Damar Kambang. Mereka selalu menemukan celah guna pemuas syahwat di tengah jerat kesulitan perempuan: Kacong menyihir Cebbhing agar pergi dari rumah, lalu memperkosanya, Ke Bulla dengan ketinggian ‘ilmunya’ menolong Cebbhing dari teluh Kacong dengan imbalan persenggamaan (yang dihalalkan dengan kawin sirri’ tanpa mahar dan hantaran), suami pertama Marinten menculik Cebbhing, tidak lupa menyetubuhinya. Tetapi kita dapat ‘memakluminya’. Bukankah otak lelaki adalah juga alat kelaminnya?

 

*Thomas Utomo lahir dan besar di Banyumas. Bekerja sebagai guru SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Baru saja menamatkan pendidikan profesi di Universitas PGRI Semarang.