Jumat, 06 Maret 2020

Menimba Kebijaksanaan Jawa dari Sang Keris



Dimuat di Derap Guru edisi 2020

Judul          :    Sang Keris
Pengarang  :    Panji Sukma
Penerbit      :    Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      :    Pertama, Februari 2020
Tebal          :    x + 110 halaman
ISBN          :    978-602-06-3856-0

Sang Keris (SK) merupakan karya teranyar Panji Sukma, mahasiswa doktoral Program Studi Kajian Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sebelum diterbitkan, naskah SK menyabet Pemenang Kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019.
Secara ringkas, SK mengetengahkan perjalanan sebilah keris berdaya linuwih bernama Kanjeng Kyai Karonsih dimulai sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha, ekspansi bangsa Eropa ke Nusantara, penyebaran Islam dari Madinah dan Gujarat, masa jaya Kerajaan Demak Bintara dan Mataram Islam, menjelang Proklamasi Kemerdekaan, sampai pasca-Reformasi. Selama bentang masa tersebut, Kanjeng Kyai Karonsih selalu berpindah-pindah tuan dan menjadi saksi—bahkan turut berperan sebagai pelaku—sekian banyak peristiwa sejarah yang berujung pertumpahan darah.
Sedari awal hingga akhir, novel beralur non-linear ini memecahkan diri dalam banyak bab panjang dan pendek. Masing-masing bab, secara independen, dapat berdiri sebagai cerita tersendiri. Pembaca dapat menelaahnya dari mana saja, mana suka. Kemudian, tiap-tiap bab menjelma potongan-potongan puzzle yang perlahan menyusun diri secara teratur dalam alam pikiran pembaca.
Asyiknya, dalam banyak bagian, terutama adegan-adegan perang tanding, tuturan SK menyajikan diri secara filmis, membuat pembaca seolah-olah menyaksikan dan merasakan langsung ketegangan yang timbul. Sebut sebagai misal, yakni manakala Mangku dan Matah—murid Resi Segara Muncar—bertarung di atas Laut Selatan (halaman 94-97). Getar udara, gelegar suara, gemuruh air laut setinggi gunung yang menerjang, hingga hentakan tendangan yang membuat terpental sejauh dua puluh depa, sangat bisa merasuki penghayatan pembaca. Membuat pembaca ikut terengah-engah, gemas, gregetan, marah, penasaran, dan terperangah. Kekayaan batiniah serupa, turut muncul dalam benak dan rasa pembaca ketika menyimak pertarungan ledhek Suji dengan prajurit-prajurit utusan Ki Ageng Mangir di tepi Sendang Temanten, Desa Wonopolo (halaman 67-70) dan fragmen-fragmen lainnya.
Tidak cuma itu. Jika diibaratkan, SK layaknya sebuah sumur. Pembaca dapat menimba selaksa manfaat daripadanya, utamanya yang berkenaan dengan kebijaksanaan Jawa. Kita tahu, masyarakat Jawa beserta segala produk budayanya merupakan jagad yang sarat lambang. Selalu ada kandungan makna filosofis di dalamnya yang mengajak berpikir, merenung, menghubungkan, memaknai, kemudian mempengaruhi pandangan juga tindakan.
Kandungan kebijaksanaan Jawa yang disajikan dalam bentuk simbol inilah yang turut mewarnai SK. Umpamanya kandungan simbol tata letak keraton, mulai dari posisi menurut arah mata angin, beringin kembar Dewandaru dan Jayandaru, Gapura Gladag, Pagelaran Sasana Sumewa, Sitinggil, Bangsal Martan Lulut, dan seterusnya (halaman 90-93). Tak kalah penting, yaitu makna yang tersirat dalam segala lekuk detail keris (halaman 4-6, 11, 38-39) berikut ragam laku untuk menciptakannya (halaman 19, 32-34, 62-63).
Tuturan cerita SK sendiri dapat dimaknai betapa kepandaian atau kedayagunaan yang terlalu, pada akhirnya, justru merugikan bahkan menghancurkan.
Kualitas lain yang dapat dijumpai dalam SK adalah adanya sejumlah kalimat bergetah, seperti, “Memuaskan rasa penasaran adalah kewajiban, bahkan kekalahan pun mungkin akan menjadi sebuah kepuasan tersendiri, ketimbang harus diam tetapi terus dipukul gelisah hati yang mengembara tanpa henti.” (halaman 10).
“Kepedihan hidup sudah tercatat bahkan jauh sebelum manusia dilahirkan, tugas manusia hanya memutuskan untuk menyerah atau tetap bertahan, sebelum semua terlambat dan menyesali pilihannya.” (halaman 47).

Thomas Utomo, guru SD Negeri 1 Karangbanjar,
Purbalingga, Jawa Tengah