Rabu, 29 April 2020

Keindahan dan Kengerian dalam Juragan Haji


Dimuat di majalah Derap Guru edisi Mei 2020

Judul           :   Juragan Haji
Pengarang   :   Helvy Tiana Rosa
Penerbit       :   Gramedia Pustaka Utama
Cetakan       :   Kedua, Februari 2020
Tebal           :   176  halaman
ISBN           :   978-602-06-3703-7
Peresensi    :   Thomas Utomo

Juragan Haji adalah antologi cerpen istimewa. Betapa tidak? Sekurang-kurangnya, ada tiga penghargaan yang pernah disematkan untuk karya ini: Pena Award 2002, Sepuluh Prosa Terbaik Khatulistiwa Literary Award 2008, dan Karya Sastra Unggulan dari Badan Standar Nasional Pendidikan 2019.
Apa sesungguhnya kualitas karya Helvy Tiana Rosa yang satu ini?
Setidaknya, ada lima kualitas yang dapat didulang pembaca. Pertama, cerpen-cerpen Helvy berangkat dari fakta-fakta yang kadang tak terberitakan media arus utama. Fakta-fakta yang dimaksud adalah tentang kekejaman yang menimpa kaum marginal di berbagai daerah dalam negeri maupun di belahan dunia, seperti di Aceh pada masa pemberlakuan DOM (cerpen Cut Vi, Pulang, dan Jaring-Jaring Merah), kerusuhan Ambon (Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin), konflik Timor Timur (Ze Akan Mati Ditembak!), pengeboman sejumlah daerah di Indonesia (Lelaki Kabut dan Boneka dan Lelaki Semesta), masalah Bosnia Herzegovina (Lorong Kematian), perang saudara di Rwanda (Kivu Bukavu), dan pendudukan Palestina (Hingga Batu Bicara).
Melalui cerpen-cerpen tersebut, Helvy menciptakan karya yang dinamakan Sastra Perlawanan. Tentu yang dilawan adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Seperti yang dikatakannya sendiri, untuk menganggit karya-karyanya, Helvy  selalu melakukan riset pustaka dan wawancara langsung agar dapat memberikan ilustrasi yang meyakinkan dan nuansa lokal yang akurat kepada pembaca (lihat pengantar Helvy untuk buku Manusia-Manusia Langit, 2000: v-vi).
Kedua, di banyak bagian, Helvy menggunakan bahasa-bahasa puitis guna mempertajam konflik psikologis yang dialami tokoh-tokoh cerpennya. Misalnya dalam Jaring-Jaring Merah (peraih penghargaan Cerpen Terbaik Majalah Horison 1990-2000). Sebagai korban perang saudara, tokoh Aku berkata, “Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari meranggas lara.” (halaman 162). Bahasa-bahasa puitis juga dapat dirasakan dalam Pertemuan di Taman Hening, “Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap.” (halaman 12), Kivu Bukavu, “’Kivu, kau yang terindah,’ bisik Hemingway. Aku ingin menangis, namun danau tak dapat menangis.” (halaman 161), dan sebagainya.
Ketiga, dengan menggunakan bahasa menggebu-gebu, bahkan berkesan kepalan tangan, Helvy menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki vitalitas luar biasa. Semangat juangnya menggelora, meski nyawanya sendiri terkapar di tepi jurang kehidupan, seperti tokoh Cut Vi (Cut Vi, halaman 1-11), Gahara (Idis, halaman 27-40), Hanan (Hingga Batu Bicara, halaman 73-81), dan Nona (Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin, halaman 104-113). Melalui tokoh-tokohnya, Helvy seakan menantang gagasan kelemahan fisik perempuan.
Keempat, Helvy piawai melukiskan suasana mengerikan, macam bau bangkai, ceceran darah, dan tengkorak serta tulang-belulang berserakan. Ini terbaca, misalnya, dalam cerpen Lelaki Kabut dan Boneka, Darahitam, Lorong Kematian, dan Jaring-Jaring Merah.
Kelima, melalui cerpen-cerpen anggitannya, terbaca benar betapa Helvy memiliki kepekaan dan kepedulian besar terhadap persoalan kemanusian. Dan dengan karyanya, dia berusaha mempengaruhi pembaca untuk menginternalisasi kepekaan dan kepedulian serupa.
Sedikit kritik untuk buku ini adalah inkonsistensi penggunaan istilah serapan. Kadang disebut salat (tengok misalnya halaman 70), di lain tempat digunakan sholat (halaman 169). Mengacu pedoman transliterasi, mestinya, istilah yang lebih tepat adalah salat, bukan sholat.

*Thomas Utomo adalah guru SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Dia menulis fiksi dan nonfiksi di sejumlah media cetak.

Selasa, 28 April 2020

Siapa itu Allah?



#DiRumahAja membuat waktu berinteraksi dengan anak lebih banyak. Dan anak sulung yang umurnya belum lagi lima tahun, mulai penasaran soal apa dan siapa itu Allah?
Awal mulanya, karena minggu kemarin, kami ‘berdebat’ siapa yang paling kuat di dunia ini? Siapa yang paling tak terkalahkan? Dia bilang, yang paling kuat itu Ultraman. Kadang-kadang, dijawab yang paling kuat adalah Legend Hero atau Power Ranger. Sementara kami bilang, ada yang lebih kuat dan tidak bakal terkalahkan daripada super hero yang belakangan kerap dia tonton.
Obrolan seputar ini sering berulang dan akhirnya membuat dia bertanya-tanya,
“Allah itu apa?”
“Allah kayak orang-orang?”
“Allah punya rumah? Di mana rumahnya?”
“Allah ada bayangannya?”
“Allah bisa bikin robot?”
“Kalau malam, Allah ngantuk?”
“Allah suka minum susu?”
Yang lucu, kemarin, kebetulan di tivi muncul Syaikh Ali Jaber, sontak dia bertanya, “Itu sih Allah?”
Sebagai orang tua, kami yakin, dia tidak paham sepenuhnya dengan penjelasan kami, walaupun disampaikan dengan bahasa sesederhana mungkin. Sorot mata, kerut alis, mulut yang mecucu, dan pertanyaan-pertanyaan seputar itu yang terus berulang-ulang, yang menunjukkannya. Biar saja!
Bagi kanak-kanak seusia dia atau mungkin yang lebih di atasnya, konsep tentang Tuhan masih menjadi sesuatu yang abstrak, susah dicerna (wong kami dulu juga merasakannya).
Kami percaya, keingintahuan seputar Tuhan bisa menjadi pintu pembuka yang membuat dia mencari-merasakan-memahami-mempercayai-meyakini eksistensi Yang Mahakuasa. Kelak, di kemudian hari, keyakinan ini bisa membuat dia berhati-hati menganyam hidup. Tentu saja proses itu panjang dan berliku, karenanya tidak perlu buru-buru.
Bancar Badhog Centre, 26 April 2020

Minggu, 19 April 2020

Perempuan dan Sastra Perlawanan


Dimuat di Radar Banyumas, Minggu, 19 April 2020

Pada masa awal kemerdekaan, pekerja sastra Indonesia didominasi kaum Adam. Hanya segelintir perempuan yang terlibat, itu pun seringkali tidak berumur panjang. Setelah menikah dan memiliki anak, tidak sedikit dari perempuan-perempuan itu lenyap dari lapangan sastra, digilas kesibukan domestik rumah tangga.
Sementara itu, terjadi pengotak-ngotakan sebutan bagi pekerja sastra laki-laki dan perempuan, seperti yang disindirkan Selasih (1909-1995) dalam video profil dirinya terbitan Yayasan Lontar. Pengotak-ngotakan tersebut adalah dikenakannya sebutan sastrawan-sastrawati, wartawan-wartawati, pengarang-pengaring. Selasih—yang terkemuka berkat novel Kalau Tak Untung—menolak keras pengotak-ngotakan tersebut. Bagi Selasih, bahasa tidak memiliki jenis kelamin, karenanya—dalam konteks ini—tidak ada pemisahan sebutan bagi laki-laki maupun perempuan. Seolah-olah pembedaan sebutan itu sengaja dibuat sebagai garis demarkasi kualitas hasil cipta laki-laki-perempuan!
Menegaskan Selasih, Nh. Dini (1936-2018) dalam Kuncup Berseri berkata, “Kaum lelaki itu ... mencoba menjadi pengkritik, bermata gelap menulis atau mengatakan apa saja untuk memuaskan hati penjajahnya ... sementara itu melupakan dalil obyektivitas. Karena mereka tidak rela ada seorang perempuan yang berani masuk ke dalam lingkungan kerja mereka.” (2009: 92).
Menanggapi Selasih dan Nh. Dini, pertanyaan yang kemudian dapat diajukan adalah mengapa muncul pembedaan, pembatasan, dan kritikan bagi perempuan pekerja sastra?
Guna menjawabnya, tidak bisa tidak, kita harus menelaah karya-karya mereka—para perempuan pekerja sastra. Nh. Dini, misalnya, sedari awal, karya-karyanya—seperti Pada Sebuah Kapal, La Barka, Namaku Hiroko—merupakan gugatan terhadap relasi laki-laki-perempuan—terutama yang bernaung dalam institusi rumah tangga. Dini yang menolak disebut feminis dan kontra-laki-laki (periksa video wawancara Dini terbitan Taman Ismail Marzuki), menyatakan, karya-karyanya lahir guna menuntut keadilan dan keseimbangan hak-kewajiban laki-laki-perempuan. Bukan soal siapa yang menang atau kalah, sebab masing-masing pihak memiliki kelebihan dan kekurangan.
Pantas pula disebut nama Helvy Tiana Rosa. Lebih dari Selasih dan Dini, perempuan ini bahkan menerima ancaman bunuh disebabkan karya-karyanya.
Karya-karya Helvy—terutama yang berjenis epik—mengambil latar daerah-daerah konflik, baik di Indonesia maupun mancanegara. Tokoh-tokohnya biasanya perempuan korban penindasan kepentingan politik, kekuasaan, dan sentimen agama.  Berbeda dengan tokoh-tokoh ciptaan Dini ialah perempuan-perempuan satin yang halus, lembut, namun berkepribadian mantap dan memberontak kemapanan, tokoh-tokoh rekaan Helvy adalah perempuan-perempuan gagah, heroik, punya vitalitas tinggi yang terampil mengokang senjata, menghunus tombak, dan berduel (misal: Bara Shafiyah, Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin, Maut di Kamp Locka, serta Aishah dari Syarakisa).
Dalam pengantar Manusia-Manusia Langit, Helvy mengatakan, “Standar ganda pelaksanaan HAM, berita-berita—termasuk—sejarah yang terdistorsi ... telah menggugah saya. Saya pikir seharusnya—atas nama kemanusiaan—juga menggugah siapa pun yang masih mempunyai nurani ... Begitulah, mengapa saya menulis kisah-kisah epik ... saya berusaha memberikan informasi perjuangan ... juga sebagai counter dari berita-berita yang terkesan tidak adil.” (2000: vi).
Karya sastra—baik berupa cerpen maupun novel—ciptaan Dini dan Helvy memang fiksi. Namun, tidak ada fiksi yang berangkat dari kekosongan. Karya paling imajinatif bahkan absurd sekalipun, selalu timbul dan punya korelasi dengan realitas.
Okky Madasari mengatakan, “Karya sastra merupakan gambaran kehidupan. Karya sastra bisa menjadi cermin atas apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu periode tertentu. Karya sastra tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial. Karya sastra dibentuk dan dipengaruhi oleh realitas di dalam masyarakat dan kemudian ikut membentuk realitas sosial tersebut.” (Genealogi Sastra Indonesia, 2019: 5).
Karya-karya Dini, Helvy, dan perempuan-perempuan sekancah adalah karya-karya yang melawan arus utama, mendobrak kejumudan, dan mendengungkan protes atas ketidakadilan yang kebanyakan kali ditimbulkan laki-laki. Sesungguhnya, karya-karya mereka lahir dengan tujuan mengonstruksi kehidupan dan masa depan agar lebih baik.

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Selain mengajar, dia juga menulis di sejumlah media. 

Rabu, 15 April 2020

Apa Kata Pembaca “Aku Bukan Gay?”



Aku Bukan Gay adalah buku keempat saya setelah Hikayat Tanah Beraroma Rempah (2015), Catatan dari Balik Jendela Sekolah (2015), Misteri Nenek Pemuntah Darah (2016). Buku ini diterbitkan Loka Media pada 2016.

Berikut ini, saya cantumkan beberapa komentar pembaca setelah mengkhatamkan buku saya ini.

Deta NF, “Sekumpulan cerita oleh Thomas Utomo yang mengusung genre sastra kontemporer ini layak dinikmati serayamenghabiskan satu gelas cokelat panas pada petang yang santai. Dengan bahasa yang sederhana, makna serta nilai realis yang disuguhkan mampu diserap denganmudah. Mengusung tema-tema cerita yang berani dan out of the box, Aku (Bukan) Gay memberikan first impression yang baik pada sastra kontemporer yangditerbitkan LokaMedia.” https://www.goodreads.com/book/show/34215316-aku-bukan-gay?from_search=true&from_srp=true&qid=mu6tTyS6Zt&rank=1

 Sekar Rahayu, “Judul yang agak kontroversi, ya, tapi karena itulah ane mau beli, GanSis. Penasaran isinya. Wikwikwik.
Beliau dikenal sebagai penulis anak-anak. Karya beliau juga acapkali mejeng di koran lokal dengan tema kehidupan yang paling dominan. Sebelumnya, ane juga pernah baca karya beliau yang juga kumpulan cerpen berjudul LEPAS RASA, jadi ane agak heran aja ketika tahu buku itu adalah buah tangan beliau. Agak oob, rasanya.
Dan..., setelah ane baca ini buku, ternyata isinya tak melulu soal gay walaupun sebagian besar memang menceritakan para lelaki yang memiliki perasaan tidak semestinya.
Eits, tapi jangan nethink dulu, GanSis. Walau judulnya begitu, tetapi isinya enggak semata menampilkan adegan ketidaksenonohan. Bang Thomas justru memasukkan perasaan-perasaan para lelaki---yang merasa dirinya berbeda---hingga tersampaikan dengan sangat baik. Para pembaca akan dibuat untuk turut merasakan apa yang sebenarnya menggelayut di benak mereka---para tokoh utama. Dampaknya, itu akan menciptakan sudut pandang berbeda pada pembaca. 
Setidaknya, satu dari banyak hal yang bisa ane dapet di sini adalah rasa kemanusiaan. Yak, dari buku ini ane menyadari bahwa memanusiakan manusia di jaman sekarang semakin samar. Tahulah, ya, gimana dengan entengnya orang-orang ngatain sesama dengan sebutan hewan.”https://m.kaskus.co.id/post/5de86a97f0bdb228084ce6c9?fbclid=IwAR0iekYrRozb2LiZuD-GO1bcpfJYeBA7Tv9LUTQ1qZkdzbQCZ8dddcOI5EM

 Ika Mayang, Mengusung tema yang berupa isu-isu yang sedang marak terjadi, seperti (maaf) teroris, penyimpangan seksual, prostitusi, di mana di tangan Kak Totok yang dikemas dengan apik, isu itu jadi sedikit lebih ‘ringan’.
Masing-masing cerita membawa pesan yang berbeda. Jadi tidak salah kalau kita bilang bahwa buku ini kaya banget akan nilai moral kehidupan.
Orang yang mengalami penyimpangan seksual —dan juga depresi— sebaiknya jangan dihindari tapi didekati lalu "dirangkul" agar mereka tidak terperangkap dalam "kegalauan" tersebut. Ini pendapatku yak, don't bully me.
Kita juga diberi tahu bahwa untuk menyelesaikan sebuah masalah, tidak perlu menggunakan kekerasan alias adu otot atau bahkan buat drama di sosial media (insta story misalnya) tetapi dengan strategi yang ‘pintar’.
Buku ini bisa dibaca oleh semua kalangan lho. Kalau readers ingin mendapat pencerahan dalam hidup, bacalah buku ini." https://www.instagram.com/p/Bk0E61-nITo

Amanaturrosyidah, “Jujur, aku langsung jatuh hati dari cerita pertama. Bukan hanya karena cara penulisannya yang rapi serta gayanya yang mengalir, tapi juga karena ide/gagasan cerita yang sangat cerdas dan sarat akan kritik 'halus' terhadap isu populer di sekitar seperti masalah 'agama teroris' (maaf, mungkin istilah yang kugunakan kurang enak didengar/dibaca) yang mengangkat pandangan masyarakat (bahkan di negara yang mayoritas muslim) tentang orang-orang yang hidup dengan pilihannya sendiri dalam menjalankan agama (ber-niqab). Ada juga isu tentang gay -yang entah kenapa, meskipun banyak seruan menentangnya, tapi LGBT tetap berkembang hampir menjadi bagian dari 'budaya'-. Tentang pencarian sejati manusia. Dan banyak isu lainnya, yang ketika membaca kita akan bereaksi "Oh!" sambil nyengir, membayangkan satu-dua kasus disekitar kita yang 'disentil' dalam buku ini.
Aku suka bagaimana beliau menuliskan sudut pandangnya terhadap isu-isu tersebut menjadi sebuah karya yang ringan namun tetap sarat akan pesan dalam berbagai genre penulisan. Mulai dari keluarga, hingga ke horror.” https://web.facebook.com/photo.php?fbid=677019175795054&set=gm.1805009103077461&type=3&eid=ARCNzb-LmRBhtcIkQNjMRw3i5G3O0hnO1cmxz-vTyCXzxItBCYDMAhPN96a-8Pm25hW-qPC_bjAPOhbW&ifg=1


 Irnawati, “Penasaran aja kegalauan seorang pria yang juga suka pria. Ini bukan karena saya seorang fujoshi tapi memang tulisan seperti itu jarang ada .mereka kebanyakan takut duluan dihujat. Mas aja cuma karena judul nya udah dicap ini-itu.Hah padahal belum tentu kan isinya. Tapi jujur saya menantikan novelnya, Mas. Dari segi penuturan kalimat juga gak berat aku suka. Eh, malah di-review di sini. Bagen Bae ya, Mas aku soalnya bukan seorang ahli hehe tapi jujur aku menunggu versi novelnya. (via WhatsApp).

Senin, 13 April 2020

Menyingkap Kedalaman Batin Calabai


Judul         :   Sabda Luka
Pengarang :   S. Gegge Mappangewa
Penerbit     :   Indiva Media Kreasi
Tebal         :   288 halaman
ISBN         :   978-602-6334-47-3

Waria—akronim wanita pria—merupakan terminologi yang mengemuka di Indonesia, sejak tahun 1978, dipopulerkan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Prawiranegara, menggantikan istilah wadam—Hawa Adam—yang dimasyurkan Ali Sadikin, Gubernur Jakarta era 1960-an.
Ada beragam sebutan lain bagi golongan satu ini. Orang Jawa, misalnya, menyebut banci—singkatan dari bandhule cilik atau testisnya kecil, makna lainnya adalah bernyali kecil atau pengecut. Orang Aceh menyebutnya khunsa, sedang masyarakat Bugis menjuluki calabai.
Kesemua label itu merujuk kepada sosok pria bersifat dan bertingkah laku seperti wanita atau pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita (KBBI, halaman 1269).
Keberadaan waria sendiri—mungkin—setua peradaban manusia. Hanya saja, kehadirannya kerap dimarginalkan, bahkan dinafikan.
Sealur dengan kehadirannya yang kerap diabaikan, tidak banyak karya sastra Indonesia yang mengangkat persoalan waria sebagai topik utama. Novel Sabda Luka karya S. Gegge Mappangewa, salah satunya.
Tokoh sentral novel ini adalah Kamaruddin dan Tiara. Keduanya sepasang calabai atau waria yang saling jatuh cinta dan memutuskan tinggal bersama. Dalam perkembangannya, Kamaruddin menampilkan diri sebagai laki-laki atau suami, sedangkan Tiara menjadi perempuan atau istri.
Mungkin, upaya pengarang dalam menyatukan dua sosok melambai menjadi pasangan kekasih, terasa janggal. Sebab—biasanya—kaum melambai memilih pasangan sesama jenis yang lebih jantan dari dirinya. Namun, upaya pengarang tersebut, menjadi bisa dipahami jika kita mencermati Caitlyn Jenner dan Sophia Hutchin, dua waria pesohor Hollywod yang menjadi pasangan kekasih.
Kembali kepada kisah Kamaruddin dan Tiara. Kendati melampaui bilangan tahun dalam rukun dan saling mencinta, hati keduanya tidak lepas dari ketakutan: suatu ketika, orang-orang tahu keadaan sesungguhnya; mereka sepasang calabai yang berpura-pura menjadi suami-istri. Ketakutan itu menguat manakala seorang tetangga berusaha merudapaksa Tiara lantaran terpikat kecantikan dan kemolekannya.
Novel berlatar belakang kampung Bugis di Lautang Salo, Sidenreng Rappang ini cukup detail melukiskan pergolakan batin calabai. Misalnya, pertentangan pribadi mengenai pertanyaan menjadi calabai itu takdir atau pilihan?
Di halaman 143-144, dituturkan, “Tiara menangis ... Kali ini, tangisnya bukan karena luka, tapi karena sesal pada takdirnya yang terlahir sebagai calabai. Takdir? Dia menggeleng pelan. Dia selalu berusaha yakin bahwa hidup jadi calabai bukanlah takdir, tapi pilihan.”
Jika ditarik ke dalam kehidupan nyata, tuturan tersebut sesuai dengan jawaban Solena Chaniago—waria asal Sumatra Barat yang beberapa kali bermain dalam film Hollywood—waktu ditanya Trans 7 dan Kompas TV, kurang lebih seperti ini, “Menjadi waria itu takdir atau pilihan?”
Gejolak hati berikutnya, mengenai hidup yang senantiasa dalam persimpangan. Dalam novel digambarkan, “... Tiara semakin merasa bahwa dia selalu berdiri di persimpangan. Lama sekali dia tak bisa menentukan pilihan, menjadi lelaki sejati atau menjadi calabai. Tapi, saat menemukan dirinya dalam pilihan calabai, kini dia dihadapkan pada pilihan dibunuh atau membunuh demi cinta.” (halaman 157).
Penggambaran tersebut tidak jauh berbeda dengan kata-kata Avi—waria model video klip grup band Naif, berjudul Posesif—saat diwawancarai salah satu acara di SCTV. Dia mengatakan, waria bergelantungan di antara pria dan wanita. Kedudukannya tidak jelas.
Dalam novel ini ditampilkan juga sekelumit latar belakang perubahan identitas seksual seseorang, seperti lingkaran pergaulan dan rentangan jarak terlalu jauh dengan orang tua yang berjenis kelamin sama (halaman 19-20, 61).
Secara keseluruhan, novel ini menampilkan pertautan kuat dengan realitas sosial. Dalam novel ini, S. Gegge Mappangewa tidak sedang menganggit fiksi, melainkan menuliskan kehidupan. Dan latar belakang sebagai pendidik, kentara dalam cara pengarang menuturkan perihal waria dan problematikanya: tidak membela, tidak pula menghakimi. Pengarang menggelarkan kenyataan hidup secara terbuka beserta konsekuensinya. Pembaca dapat merenung dan memutuskan: memilih yang mana?

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. 

Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan


Baca Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan, oleh-oleh IBF kemarin, ditemani asinan dondong bikinan Bu-e Gonang.
.
Buku ini adalah versi populer dari disertasi Afrizal Nur, dosen UIN Suska, Riau, waktu menempuh studi doktoral di Universitas Kebangsaan Malaysa.
.
Seperti judulnya, buku ini mengkritisi Tafsir Al Mishbah karya Prof. Quraish Shihab, antara lain perihal haramnya daging babi, jilbab merupakan produk budaya, dan kontroversi ahlul bait.
.
Kelebihan buku ini, penulis mengkritisi dengan adab yang baik (penyampaian santun, jauh dari kata-kata tidak pantas/ celaan). Ini sangat penting buat saya, mengingat saya membaca dan masih menyimpan buku-buku kritik terhadap sesuatu paham atau kelompok keagamaan (Islam) tertentu, yang isinya membodoh-bodohkan, caci maki kasar, bahkan menyumpah-serapahi. Rasanya eman-eman, sudah membelanjakan sejumlah uang plus meluangkan waktu untuk membaca buku, eh ternyata isinya seperti itu tadi.
.
Kelebihan lain, argumentasinya meyakinkan (ditopang rujukan-rujukan terpercaya [salah satu bagian paling menyenangkan dari membaca buku nonfiksi adalah mencermati kutipan dan mencocokkan dengan daftar pustakanya]).
.
Kekurangannya, ada cukup banyak kekeliruan penerapan PUEBI, misalnya penulisan “diantara”, “dihadapan”. Ada juga inkonsistensi penulisan huruf Arab. Sebagian pakai harakat, sebagian tidak. Orang awam macam saya, mana bisa baca Arab gundul?
.
#TafsirAlMishbah #QuraishShihab #TafsirAlMishbahdalamSorotan #AfrizalNur #PustakaAlKautsar #BukaBuku