Senin, 03 Februari 2020

Diskriminasi Gender di Korea Selatan



Dimuat di Tribun Jateng Minggu, 2 Februari 2020

Judul         :    Kim Ji-yeong, Lahir 1982
Pengarang:    Cho Nam-Joo
Penerbit    :    Gramedia Pustaka Utama
Cetakan    :    Ketiga, Januari 2020
Tebal         :    192 halaman
ISBN          :    978-602-0636-20-7

Korea Selatan adalah negara progresif. Kemajuannya—nyaris di segala bidang—berlangsung pesat. Namun, dalam hal pola pikir dan perlakuan yang berkaitan dengan relasi laki-laki-perempuan, justru berjalan di tempat.
Kenyataan ini terungkap gamblang dalam novel Kim Ji-yeong, Lahir 1982. Melalui kehidupan tokoh utama Kim Ji-yeong, khalayak pembaca disodori aneka diskriminasi gender dan praktik misoginis yang berlangsung di lingkup keluarga, masyarakat, hingga negara.
Misalnya, keluarga-keluarga di Korea Selatan—secara umum—sangat mengharapkan kelahiran anak laki-laki. Kelahiran anak laki-laki adalah kebanggaan. Sebaliknya, kelahiran anak perempuan adalah aib memalukan.
Dengan dalih alasan medis, praktik aborsi bagi ibu yang mengandung bayi perempuan, disahkan masyarakat dan seolah-olah dihalalkan pemerintah—lantaran adanya pembiaran (halaman 25-27).
Dalam kancah dunia pendidikan, pembedaan perlakuan laki-laki dan perempuan tidak kurang mencolok. Sudah menjadi tradisi di sekolah, presensi siswa laki-laki ditempatkan pada urutan awal, baru siswa perempuan. Demikian pula dalam kesempatan tampil, baris-berbaris, serta pemeriksaan PR maupun tugas; siswa laki-laki selalu didahulukan (halaman 40, 43-44).
Dalam lapangan pekerjaan, perusahaan-perusahaan lebih memilih pelamar laki-laki dibandingkan pelamar perempuan, meski berkualifikasi sama. Alasannya, laki-laki lebih memancarkan kesan meyakinkan, karena sudah menjalani wajib militer, karena akan menjadi kepala keluarga, dan sebagainya.
Jika pada akhirnya, ada perempuan yang berhasil menembus dunia kerja, promosi jabatan akan sukar didapatkan, walau dia berprestasi dan berdedikasi tinggi. Alasannya, perempuan yang pintar dan memiliki kinerja menonjol, terlihat mengintimidasi (halaman 94-97).
Dalam lingkaran sosial, perempuan yang mendapat pelecehan seksual, justru disalahkan, seperti dialami Kim Ji-yeong saat hendak diperlakukan tidak senonoh oleh teman kursusnya, sang ayah malah memarahi dan menyudutkan anak perempuan itu (halaman 63-65). Atau yang dialami Kang Hye-soo, sahabat Kim Ji-yeong, saat menjadi korban pengintaian kamera tersembunyi di toilet kantor. Pihak berwenang sengaja melindungi pelaku dengan alasan konyol (halaman 153-156).
Pada halaman 166, sebagai akhir, namun bukan terakhir, Kim Ji-yeong bertanya akan ketidakadilan yang menimpanya, “Aku sudah melahirkan seorang anak dengan susah payah, aku sudah melepaskan hidupku, pekerjaanku, impianku, keseluruhan diriku demi membesarkan anakku. Tetapi aku malah dianggap seperti serangga. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?”



Kendati membentangkan kepincangan dunia laki-laki dan perempuan, Cho Nam-Joo—selaku pengarang—menyuguhkan novel anggitannya secara tenang. Tidak menggebu-gebu dan sinis sebagaimana dilakukan pengarang perempuan yang juga menulis novel bertema sama, seperti Nawal el Sadaawi dan Abidah el Khalieqy.
Dari novel ini, dapat ditarik kesimpulan: diskriminasi gender serta praktik misoginis di Korea Selatan—bahkan di seluruh dunia ini—terus dilakukan dan dilanggengkan atas dasar tradisi. Padahal, sebagai buatan manusia, tradisi—idealnya—bersifat luwes, dapat berubah dan disesuaikan kebutuhan. Tinggal bagaimana manusianya sendiri, mau atau tidak mengubah untuk menyempurnakannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar