Dimuat di Tribun Jateng Minggu, 2 Februari
2020
Judul : Kim
Ji-yeong, Lahir 1982
Pengarang: Cho
Nam-Joo
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Cetakan : Ketiga,
Januari 2020
Tebal : 192
halaman
ISBN : 978-602-0636-20-7
Korea Selatan adalah negara progresif.
Kemajuannya—nyaris di segala bidang—berlangsung pesat. Namun, dalam hal pola
pikir dan perlakuan yang berkaitan dengan relasi laki-laki-perempuan, justru
berjalan di tempat.
Kenyataan ini terungkap
gamblang dalam novel Kim Ji-yeong, Lahir
1982. Melalui kehidupan tokoh utama Kim Ji-yeong, khalayak pembaca disodori
aneka diskriminasi gender dan praktik
misoginis yang berlangsung di lingkup keluarga, masyarakat, hingga negara.
Misalnya, keluarga-keluarga di
Korea Selatan—secara umum—sangat mengharapkan kelahiran anak laki-laki.
Kelahiran anak laki-laki adalah kebanggaan. Sebaliknya, kelahiran anak perempuan
adalah aib memalukan.
Dengan dalih alasan medis, praktik aborsi bagi ibu
yang mengandung bayi perempuan, disahkan masyarakat dan seolah-olah dihalalkan
pemerintah—lantaran adanya pembiaran (halaman 25-27).
Dalam kancah dunia pendidikan,
pembedaan perlakuan laki-laki dan perempuan tidak kurang mencolok. Sudah
menjadi tradisi di sekolah, presensi siswa laki-laki ditempatkan pada urutan
awal, baru siswa perempuan. Demikian pula dalam kesempatan tampil,
baris-berbaris, serta pemeriksaan PR maupun tugas; siswa laki-laki selalu
didahulukan (halaman 40, 43-44).
Dalam lapangan pekerjaan,
perusahaan-perusahaan lebih memilih pelamar laki-laki dibandingkan pelamar
perempuan, meski berkualifikasi sama. Alasannya, laki-laki lebih memancarkan
kesan meyakinkan, karena sudah menjalani wajib militer, karena akan menjadi kepala
keluarga, dan sebagainya.
Jika pada akhirnya, ada
perempuan yang berhasil menembus dunia kerja, promosi jabatan akan sukar
didapatkan, walau dia berprestasi dan berdedikasi tinggi. Alasannya, perempuan
yang pintar dan memiliki kinerja menonjol, terlihat mengintimidasi (halaman 94-97).
Dalam lingkaran sosial,
perempuan yang mendapat pelecehan seksual, justru disalahkan, seperti dialami
Kim Ji-yeong saat hendak diperlakukan tidak senonoh oleh teman kursusnya, sang
ayah malah memarahi dan menyudutkan anak perempuan itu (halaman 63-65). Atau yang
dialami Kang Hye-soo, sahabat Kim Ji-yeong, saat menjadi korban pengintaian
kamera tersembunyi di toilet kantor. Pihak berwenang sengaja melindungi pelaku
dengan alasan konyol (halaman 153-156).
Pada halaman 166, sebagai
akhir, namun bukan terakhir, Kim Ji-yeong bertanya akan ketidakadilan yang
menimpanya, “Aku sudah melahirkan seorang anak dengan susah payah, aku sudah
melepaskan hidupku, pekerjaanku, impianku, keseluruhan diriku demi membesarkan
anakku. Tetapi aku malah dianggap seperti serangga. Lalu apa yang harus
kulakukan sekarang?”
Kendati membentangkan
kepincangan dunia laki-laki dan perempuan, Cho Nam-Joo—selaku
pengarang—menyuguhkan novel anggitannya secara tenang. Tidak menggebu-gebu dan
sinis sebagaimana dilakukan pengarang perempuan yang juga menulis novel bertema
sama, seperti Nawal el Sadaawi dan Abidah el Khalieqy.
Dari novel ini, dapat
ditarik kesimpulan: diskriminasi gender
serta praktik misoginis di Korea Selatan—bahkan di seluruh dunia ini—terus dilakukan
dan dilanggengkan atas dasar tradisi. Padahal, sebagai buatan manusia,
tradisi—idealnya—bersifat luwes, dapat berubah dan disesuaikan kebutuhan.
Tinggal bagaimana manusianya sendiri, mau atau tidak mengubah untuk
menyempurnakannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar