Dimuat di Derap Guru edisi 2020
Judul
: Sang Keris
Pengarang : Panji
Sukma
Penerbit
: Gramedia
Pustaka Utama
Cetakan : Pertama,
Februari 2020
Tebal
: x + 110 halaman
ISBN
: 978-602-06-3856-0
Sang Keris
(SK) merupakan karya teranyar Panji Sukma, mahasiswa doktoral Program Studi
Kajian Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sebelum diterbitkan, naskah
SK menyabet Pemenang Kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019.
Secara
ringkas, SK mengetengahkan perjalanan sebilah keris berdaya linuwih bernama Kanjeng Kyai Karonsih
dimulai sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha, ekspansi bangsa Eropa ke Nusantara,
penyebaran Islam dari Madinah dan Gujarat, masa jaya Kerajaan Demak Bintara dan
Mataram Islam, menjelang Proklamasi Kemerdekaan, sampai pasca-Reformasi. Selama
bentang masa tersebut, Kanjeng Kyai Karonsih selalu berpindah-pindah tuan dan
menjadi saksi—bahkan turut berperan sebagai pelaku—sekian banyak peristiwa
sejarah yang berujung pertumpahan darah.
Sedari
awal hingga akhir, novel beralur non-linear ini memecahkan diri dalam banyak
bab panjang dan pendek. Masing-masing bab, secara independen, dapat berdiri
sebagai cerita tersendiri. Pembaca dapat menelaahnya dari mana saja, mana suka.
Kemudian, tiap-tiap bab menjelma potongan-potongan puzzle yang perlahan menyusun diri secara teratur dalam alam
pikiran pembaca.
Asyiknya,
dalam banyak bagian, terutama adegan-adegan perang tanding, tuturan SK
menyajikan diri secara filmis,
membuat pembaca seolah-olah menyaksikan dan merasakan langsung ketegangan yang
timbul. Sebut sebagai misal, yakni manakala Mangku dan Matah—murid Resi Segara
Muncar—bertarung di atas Laut Selatan (halaman 94-97). Getar udara, gelegar
suara, gemuruh air laut setinggi gunung yang menerjang, hingga hentakan
tendangan yang membuat terpental sejauh dua puluh depa, sangat bisa merasuki
penghayatan pembaca. Membuat pembaca ikut terengah-engah, gemas, gregetan, marah, penasaran, dan
terperangah. Kekayaan batiniah serupa, turut muncul dalam benak dan rasa
pembaca ketika menyimak pertarungan ledhek
Suji dengan prajurit-prajurit utusan Ki Ageng Mangir di tepi Sendang Temanten,
Desa Wonopolo (halaman 67-70) dan fragmen-fragmen lainnya.
Tidak
cuma itu. Jika diibaratkan, SK layaknya sebuah sumur. Pembaca dapat menimba
selaksa manfaat daripadanya, utamanya yang berkenaan dengan kebijaksanaan Jawa.
Kita tahu, masyarakat Jawa beserta segala produk budayanya merupakan jagad yang
sarat lambang. Selalu ada kandungan makna filosofis di dalamnya yang mengajak
berpikir, merenung, menghubungkan, memaknai, kemudian mempengaruhi pandangan
juga tindakan.
Kandungan
kebijaksanaan Jawa yang disajikan dalam bentuk simbol inilah yang turut
mewarnai SK. Umpamanya kandungan simbol tata letak keraton, mulai dari posisi
menurut arah mata angin, beringin kembar Dewandaru dan Jayandaru, Gapura
Gladag, Pagelaran Sasana Sumewa, Sitinggil, Bangsal Martan Lulut, dan
seterusnya (halaman 90-93). Tak kalah penting, yaitu makna yang tersirat dalam
segala lekuk detail keris (halaman 4-6, 11, 38-39) berikut ragam laku untuk
menciptakannya (halaman 19, 32-34, 62-63).
Tuturan
cerita SK sendiri dapat dimaknai betapa kepandaian atau kedayagunaan yang
terlalu, pada akhirnya, justru merugikan bahkan menghancurkan.
Kualitas
lain yang dapat dijumpai dalam SK adalah adanya sejumlah kalimat bergetah,
seperti, “Memuaskan rasa penasaran adalah kewajiban, bahkan kekalahan pun
mungkin akan menjadi sebuah kepuasan tersendiri, ketimbang harus diam tetapi terus dipukul gelisah hati yang
mengembara tanpa henti.” (halaman 10).
“Kepedihan hidup sudah tercatat bahkan jauh sebelum manusia dilahirkan,
tugas manusia hanya memutuskan untuk menyerah atau tetap bertahan, sebelum
semua terlambat dan menyesali pilihannya.” (halaman 47).
Thomas Utomo, guru SD Negeri 1 Karangbanjar,
Purbalingga, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar