Sabtu, 15 Agustus 2020

Diskriminasi Gender dalam Cerita Wayang

 

Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 16 Agustus 2020

 

Pagelaran wayang acapkali dianggap sebagai ajang menanamkan nilai-nilai positif kehidupan kepada khalayak ramai, di samping sebagai acara hiburan. Dalam hal ini, pagelaran wayang berfungsi ganda: tidak sekadar tontonan, juga untuk tuntunan. Tetapi, disadari atau tidak, fragmen-fragmen cerita wayang, justru kerap menyuguhkan praktik diskriminasi gender—dengan korban: perempuan. Dengan fungsi wayang sebagai tuntunan, suguhan demikian tentu berbahaya, karena potensial merasuki pikiran penonton, hingga kemudian mempengaruhi tata nilai dan perilaku masyarakat.

Cerita Ramayana, misalnya. Melalui proses panjang dan berliku, Sinta sang juita bisa kembali ke haribaan Rama setelah bertahun-tahun diculik Rahwana. Namun, lacur, Rama menyuruh Sinta membakar diri. Pasalnya, dia meragukan kesucian sang istri. Ketika api tidak dapat membakar Sinta—yang membuktikan dia tetap murni, tidak tercemari Rahwana—kecurigaaan Rama tidak juga padam. Akhirnya, Sinta dibuang ke hutan, hingga melahirkan Kusa dan Lawa—anak-anak hasil hubungan dengan Rama, sepulang dari Alengka.

Masih dari epos Ramayana. Kekayi, ibu tiri Rama, berkeras agar putra kandungnya—Barata—menjadi raja Ayodya, menggantikan Dasarata. Dengan narasi sedemikian rupa, penonton atau penikmat cerita digiring supaya sampai kepada kesimpulan bahwa Kekayi jahat. Dia tamak dan haus kekuasaan.

Melompat ke cerita Mahabarata. Ada sosok Drupadi di sana. Berdasarkan cerita versi India dan Bali, Drupadi menjadi istri Pandhawa, sedangkan menurut versi Jawa, Drupadi hanya menjadi istri Puntadewa—sulung Pandhawa.

Dalam sebuah fragmen dituturkan, Pandhawa bermain judi dengan Kurawa. Dengan cara curang, Kurawa berkali-kali menang. Hingga kemudian Pandhawa mengajukan Drupadi sebagai taruhan—tanpa sepengetahuan, apalagi persetujuan yang bersangkutan. Lagi-lagi, Pandhawa kalah. Drupadi ‘berpindah tuan’, menjadi ‘milik’ Kurawa. Sebagai harta milik, Kurawa merasa berhak memperlakukan Drupadi seenak perut mereka, termasuk melucuti pakaian sekaligus kehormatannya. Pandhawa sendiri diam—seperti arca bisu, menyaksikan penistaan tersebut.

Selanjutnya, terbang ke kahyangan, menemui Uma, permaisuri Bethara Guru. Pada suatu masa, Uma berpesiar dengan suami, menaiki Lembu Nandini. Saat tamasya itulah, berahi Bethara Guru terbit. Dia mengajak istrinya berhubungan, waktu itu juga. Uma menolak. Bethara Guru marah. Cairan benihnya yang mulai menetes, jatuh ke samudra, melahirkan Bethara Kala. Uma dikutuk menjadi raseksi dan menjadi pasangan Bethara Kala.

Dari fragmen-fragmen tersebut, kita ketahui betapa direndahkannya kedudukan perempuan, bukan karena sikap tercela yang dilakukannya, melainkan akibat sosok yang seharusnya melindungi dan memuliakannya.

Dari fragmen cerita Sinta, misalnya, timbul pertanyaan: mengapa kesucian perempuan selalu dipertanyakan dan dicermati dengan kaca pembesar, sedangkan perlakuan serupa tidak ditujukan bagi laki-laki? Berselingkuh, bukankah dapat dilakukan siapa pun, tidak peduli laki-laki maupun perempuan? Sinta yang fisiknya terkurung dalam istana Alengka, dicurigai berlaku serong ‘hanya’ dengan Rahwana, sedangkan Rama yang fisiknya bebas dari belenggu apapun, tentu juga bisa diacungi kecurigaan serupa, terlebih lagi peluang Rama lebih terbuka dan luas daripada Sinta.

Kekayi, dia berkeras akan takhta untuk anaknya semata mengukuhi janji yang diikrarkan Dasarata waktu melamarnya. Salahkah dia? Tentu, tidak. Kesalahan justru ada di pihak Dasarata. Semudah mengucap janji, semudah itu pula mengingkarinya.

Sedangkan Drupadi dan Uma, mereka memang istri dari seseorang. Dalam diri mereka terkait seutas tali bernama pernikahan. Namun, ikatan pernikahan bukanlah simpul mati yang membelit-belit perempuan tanpa kecuali, hingga meniadakan hak dan kebebasan pribadi.

Sebagai karya yang dianggap milik kemanusiaan, tidak ada salahnya jika bagian-bagian tertentu dari cerita pewayangan dirombak dan disesuaikan, sehingga tidak menjadi preseden negatif bagi perlakuan diskriminatif yang merugikan perempuan.

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Menulis artikel, cerpen, novel, dan resensi di sejumlah media cetak dan daring.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar