Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 2 Agustus 2020
Judul : Sang Pangeran
dan Janissary Terakhir
Pengarang : Salim
A. Fillah
Penerbit : Pro
U Media
Cetakan : Kedua,
Desember 2019
Tebal : 632 halaman
ISBN : 978-623-7490-06-7
Selama bersekolah, lewat
pelajaran Sejarah, para siswa dicekoki informasi bahwa Perang Diponegoro—atau
Perang Jawa—adalah perang yang berkecamuk selama lima tahun, dari 1825 sampai
1830. Perang ini dikobarkan Diponegoro, anak Sri Sultan Hamengkubuwono III,
karena penjajah Belanda membuat jalan yang melewati makam leluhur Sang Pangeran.
Dari tahun ke tahun,
berlanjut dari generasi ke generasi, informasi tersebut tidak banyak berubah.
Memang tidak salah, namun jelas tidak lengkap. Bahkan tidak sedikit guru ketika
mengajarkan kepada siswa, memunculkan kesan seolah-olah pemicu Perang
Diponegoro sangat sepele. Hanya soal kehormatan kaum bangsawan Yogyakarta yang
ternoda. Padahal sejatinya, tidak demikian.
Sang
Pangeran dan Janissary Terakhir (SPJT) hadir sebagai upaya
melengkapi informasi seputar Perang Diponegoro sekaligus mengoreksi kekeliruan
pemahaman yang timbul. Tentu sebagai novel, SPJT bukan merupakan referensi
layaknya buku sejarah, sebab di dalamnya dibubuhi unsur imajinatif. Namun
demikian, unsur imajinatif yang ada, tidak menabrak pakem sejarah sesungguhnya,
hingga melahirkan sejarah baru yang sama sekali berbeda.
Cara penyajian novel pun
lebih luwes dan komunikatif dibandingkan buku sejarah, sehingga diharapkan
lebih mudah dicerna dan dipahami.
Secara ringkas, dapat diungkapkan
bahwa penyebab pecahnya Perang Diponegoro dimulai dari kuatnya hegemoni Belanda
di Keraton Yogyakarta, misalnya dalam penentuan pajak bagi rakyat (halaman
179-180, 195-198), pemilihan penyewa tanah kerajaan (290), serta penyebaran
kebiasaan seks bebas, mabuk-mabukan, dan mengisap candu di kalangan bangsawan
(halaman 291, 306-310, 324-325, 343-344).
Perilaku-perilaku merugikan
tersebut mendapat penolakan keras dari Pangeran Diponegoro selaku Wali Sultan
Hamengkubuwono V. Puncaknya, dalam sebuah acara resmi keraton, Pangeran
Diponegoro menghajar Patih Danurejo IV dan Tumenggung Wironegoro—petinggi
kerajaan yang menjadi kaki tangan Belanda—menggunakan sandal selop (halaman 115,
198-199). Buntut insiden ini adalah penyerangan dan pembakaran Puri Tegalrejo,
kediaman Pangeran Diponegoro oleh pasukan Belanda (halaman 19-22).
Manakala perang berkobar,
Keraton Yogyakarta seakan-akan terbelah. Ratusan bangsawan bersatu, mendukung
perjuangan Pangeran Diponegoro, disusul para ulama, santri, dan kawula (halaman
285-288). Namun, perlahan, satu persatu orang kepercayaan Pangeran Diponegoro
justru meninggalkannya, seperti Sentot Ali Basah dan Kyai Mojo (halaman 256,
282-283, 372-373). Strategi benteng
stelsel yang diterapkan Belanda makin mempersempit ruang gerak pasukan
Pangeran Diponegoro (280, 377). Hingga akhirnya, perang yang membangkrutkan kas
Kerajaan Belanda (halaman 80, 369) berakhir dengan penangkapan Pangeran
Diponegoro melalui tipu daya (halaman 600-615).
Novel beralur maju-mundur
dan melompat-lompat ini, menutup adegan tragik penangkapan Pangeran Diponegoro
dengan kalimat quotable, “Dikhianati tidaklah berbahaya. Yang berbahaya
adalah berkhianat. Ditipu tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah menipu.
Dibunuh tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah membunuh.” (halaman 615).
Meski menonjolkan kewiraan
Pangeran Diponegoro, pengarang tidak menampilkan pribadi tokoh utama dengan
kemilau penuh cahaya. Sisi gelap Sang Pangeran pun disuguhkan secara terbuka,
seperti tertera dalam halaman 444-445.
Akhirnya, menelusuri novel ini merupakan cara untuk mereguk informasi dan inspirasi dari labirin masa lalu. (Thomas Utomo adalah guru di SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar