Sabtu, 01 Agustus 2020

Silang Sengkarut Perang Diponegoro


Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 2 Agustus 2020

 

Judul              :    Sang Pangeran dan Janissary Terakhir

Pengarang    :    Salim A. Fillah

Penerbit         :    Pro U Media

Cetakan         :    Kedua, Desember 2019

Tebal              :    632 halaman

ISBN              :    978-623-7490-06-7

 

Selama bersekolah, lewat pelajaran Sejarah, para siswa dicekoki informasi bahwa Perang Diponegoro—atau Perang Jawa—adalah perang yang berkecamuk selama lima tahun, dari 1825 sampai 1830. Perang ini dikobarkan Diponegoro, anak Sri Sultan Hamengkubuwono III, karena penjajah Belanda membuat jalan yang melewati makam leluhur Sang Pangeran.

Dari tahun ke tahun, berlanjut dari generasi ke generasi, informasi tersebut tidak banyak berubah. Memang tidak salah, namun jelas tidak lengkap. Bahkan tidak sedikit guru ketika mengajarkan kepada siswa, memunculkan kesan seolah-olah pemicu Perang Diponegoro sangat sepele. Hanya soal kehormatan kaum bangsawan Yogyakarta yang ternoda. Padahal sejatinya, tidak demikian.

Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (SPJT) hadir sebagai upaya melengkapi informasi seputar Perang Diponegoro sekaligus mengoreksi kekeliruan pemahaman yang timbul. Tentu sebagai novel, SPJT bukan merupakan referensi layaknya buku sejarah, sebab di dalamnya dibubuhi unsur imajinatif. Namun demikian, unsur imajinatif yang ada, tidak menabrak pakem sejarah sesungguhnya, hingga melahirkan sejarah baru yang sama sekali berbeda.

Cara penyajian novel pun lebih luwes dan komunikatif dibandingkan buku sejarah, sehingga diharapkan lebih mudah dicerna dan dipahami.

Secara ringkas, dapat diungkapkan bahwa penyebab pecahnya Perang Diponegoro dimulai dari kuatnya hegemoni Belanda di Keraton Yogyakarta, misalnya dalam penentuan pajak bagi rakyat (halaman 179-180, 195-198), pemilihan penyewa tanah kerajaan (290), serta penyebaran kebiasaan seks bebas, mabuk-mabukan, dan mengisap candu di kalangan bangsawan (halaman 291, 306-310, 324-325, 343-344).

Perilaku-perilaku merugikan tersebut mendapat penolakan keras dari Pangeran Diponegoro selaku Wali Sultan Hamengkubuwono V. Puncaknya, dalam sebuah acara resmi keraton, Pangeran Diponegoro menghajar Patih Danurejo IV dan Tumenggung Wironegoro—petinggi kerajaan yang menjadi kaki tangan Belanda—menggunakan sandal selop (halaman 115, 198-199). Buntut insiden ini adalah penyerangan dan pembakaran Puri Tegalrejo, kediaman Pangeran Diponegoro oleh pasukan Belanda (halaman 19-22).

Manakala perang berkobar, Keraton Yogyakarta seakan-akan terbelah. Ratusan bangsawan bersatu, mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, disusul para ulama, santri, dan kawula (halaman 285-288). Namun, perlahan, satu persatu orang kepercayaan Pangeran Diponegoro justru meninggalkannya, seperti Sentot Ali Basah dan Kyai Mojo (halaman 256, 282-283, 372-373). Strategi benteng stelsel yang diterapkan Belanda makin mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro (280, 377). Hingga akhirnya, perang yang membangkrutkan kas Kerajaan Belanda (halaman 80, 369) berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro melalui tipu daya (halaman 600-615).

Novel beralur maju-mundur dan melompat-lompat ini, menutup adegan tragik penangkapan Pangeran Diponegoro dengan kalimat quotable, “Dikhianati tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah berkhianat. Ditipu tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah menipu. Dibunuh tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah membunuh.” (halaman 615).


Meski menonjolkan kewiraan Pangeran Diponegoro, pengarang tidak menampilkan pribadi tokoh utama dengan kemilau penuh cahaya. Sisi gelap Sang Pangeran pun disuguhkan secara terbuka, seperti tertera dalam halaman 444-445.

Akhirnya, menelusuri novel ini merupakan cara untuk mereguk informasi dan inspirasi dari labirin masa lalu. (Thomas Utomo adalah guru di SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar