Tayang di http://www.takanta.id/2021/02/ulas-buku-menguak-lapis-lapis-kebohongan.html
Judul : Mitomania; Sudut Pandang
Pengarang : Ari Keling
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, Januari 2021
Tebal : 256 halaman
ISBN : 978-623-253-028-7
Harga : Rp 65.000,00
Novel ini dibuka dengan kalimat sugestif yang langsung menabrak perhatian pembaca, “Mereka bisa saja membunuh saya, Pak,” adu Kefiandira kepada Pak Joni, guru Bimbingan dan Konseling SMA Jaya Nusantara (halaman 7).
Dengan alur maju-mundur, halaman-halaman berikutnya menguakkan kronologi dan argumentasi kenapa gadis kelas XII SMA itu sampai kepada kesimpulan sebagaimana tersebut? Dimulai dari pindahnya Kefiandira ke SMA Jaya Nusantara, keterlibatannya dalam lomba tulis-menulis yang kemudian mengantarkannya ke aras tertinggi sebagai juara utama, hingga munculnya Amanda, Lisa, serta Morgan dalam lingkaran pergaulannya—bukan untuk menautkan pertemanan, sebaliknya justru menghunjamkan permusuhan. Trio sahabat—Amanda, Lisa, Morgan—merisak semata disulut nyala api dengki. Demikian Kefiandira bertutur.
Cerita bertambah runyam lagi pelik manakala Pak Beni, kepala sekolah, memanggil tiga siswa yang diduga secara sengaja dan terencana melakukan perundungan bertubi kepada si gadis introver. Sisi runyam dan pelik yang dimaksud adalah karena cerita versi Amanda, Lisa, dan Morgan saling silang satu sama lain. Celakanya, persilangan cerita tidak hanya membenturkan kubu Kefiandira versus Amanda, Lisa, Morgan, melainkan dalam internal trio sahabat itu sendiri. Ketiga-tiganya lalu saling curiga dan berlomba melempar cecar. Rupanya, kebersamaan berbilang tahun yang terjalin dilatari faktor perkawanan orang tua itu, tidak cukup akrab dan saling mengerti.
Dalam lapis-lapis cerita berikutnya, pembaca seperti diombang-ambingkan: menghadapi cerita yang serba berseberangan, siapa pihak yang jujur? Mana pula yang mengurai dusta? Sampai kemudian, analisis Pak Joni dan Pak Beni mengerucut pada satu nama, sosok siswa yang diduga menderita mitomania—penyakit kejiwaan patologis paling ekstrem, yang menyebabkan penderitanya tidak mampu memancangkan batas tegas antara alam sejati dan dunia khayali, tetapi selanjutnya pengarang—Ari Keling—malah membelokkan dugaan sementara pembaca kepada pihak lain, syukurnya dengan lanjaran meyakinkan.
Secara umum, novel ini asyik untuk disusuri—jenis bacaan yang memecut rasa penasaran hingga khatam. Melalui alur yang nonlinear, pembaca diajak ulang-alik dari masa kini ke masa lalu. Alur flashback ini pula yang dimanfaatkan pengarang untuk memahamkan sekaligus menarik simpati pembaca, mengapa seseorang yang sehat lahir-batin secara berangsur dapat mengidap penyakit kejiwaan ekstrem? Dalam hal ini, terbaca betapa pengarang mencoba mengajak pembaca untuk peduli perihal gangguan kesehatan mental yang pada zaman kiwari ini, kian ganas menyerang, terutama kepada kalangan muda. Lewat novel ini pula, pengarang mencoba menanamkan kesadaran dan penyadaran bahwa kasih sayang keluarga adalah pondasi penting bagi kekohohan kondisi mental anak-anak yang lahir serta besar di dalamnya.
Kritik yang patut juga dilontarkan pada kesempatan ini adalah, dalam sejumlah bab yang mengandalkan alur mundur sebagai teknik bercerita, pengarang bertutur terlalu rinci, demikian detail—sesungguhnya, hal ini dilakukan agar pembaca sampai kepada suatu pemahaman betapa kondisi mitomania yang mendera para pelaku memiliki dasar argumentasi yang jelas. Tetapi, karena gaya bahasa yang dipakai pengarang cenderung lugas, pembeberan latar belakang para tokoh jadi terkesan bertele-tele.
Kritik berikutnya mengenai penerimaan Bu Amira—orang tua salah satu tokoh—akan penyakit yang menggerogoti jiwa anaknya (halaman 249-252). Penerimaan tersebut terasa ujug-ujug alias mendadak dan begitu mudah, padahal dalam lapis-lapis cerita sebelumnya, Bu Amira justru tersinggung, tidak percaya, bahkan marah ketika pihak sekolah memberi tahu soal kegawatan kondisi mental anaknya (halaman 156, 160-161, 163-166). Rasanya, perubahan tersebut terjadi tanpa lanjaran kuat. Atau mungkin, Bu Amira tiba-tiba percaya dan mengizinkan anaknya mengikuti terapi penyembuhan karena pada kali terakhir, dokterlah yang menjabarkan kondisi mental anaknya, bukan guru dan kepala sekolah seperti tahap-tahap cerita sebelumnya? Allahu a’lam.
*Thomas Utomo, guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga, Jawa Tengah. Pekerjaan sampingan lainnya adalah penulis serabutan di banyak media massa, editor perempat waktu, dan pedagang toko kelontong. Dapat dihubungi lewat nomor 085802460851 dan surel utomothomas@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar