Jumat, 31 Januari 2020

Alternatif Kehidupan Remaja Masa Kini


Dimuat di majalah Derap Guru Jawa Tengah edisi Februari 2020

Judul           :      Birunya Langit Cinta
Pengarang :      Azzura Dayana
Penerbit      :      Indiva Media Kreasi
Cetakan      :      Pertama, Maret 2019
Tebal           :      368 halaman
ISBN            :      978-602-5701-01-6

Corak kehidupan demikian beragam. Antarkelompok masyarakat, jelas ada perbedaan. Perbedaan tersebut dipengaruhi berbagai faktor seperti ideologi maupun kebiasaan.
Mana yang paling tepat? Mana yang paling ideal? Mana pula yang bermanfaat besar bagi kemanusiaan?
Tentu tulisan ini tidak akan menjawabnya. Sebaliknya, tulisan ini hendak menyuguhkan sekelumit corak kehidupan yang dihayati suatu masyarakat tertentu—dalam hal ini adalah kaum mudanya—sebagaimana diuraikan dalam novel Birunya Langit Cinta.
Adalah Dey—tokoh utama novel iniseorang remaja, aktivis, dan organisatoris. Sehari-hari, dia berupaya mengejawantahkan pola hidup agamis sesuai keyakinannya.
Pola hidup agamis yang dimaksud antara lain: rajin menegakkan shalat, rutin berpuasa Daud, tekun menghafal ayat suci, aktif berdakwah, memperkuat ukhuwah atau persaudaraan, ghadhul bashar atau menundukkan pandangan terhadap lawan jenis bukan kerabat, mencari jodoh dengan cara ta’aruf atau perkenalan melalui rekomendasi senior, dilanjutkan pertukaran biodata, dan diskusi intens mengenai individu masing-masing.
Pelaksanaan pola hidup demikian, menjadikan Dey merasa diri lebih teratur dan terarah. Tetapi, teman-teman Dey yang serba permisif, hedonis, dan liberal menganggap perilaku tersebut sebagai sesuatu yang aneh, menghambat, dan mengekang kebebasan.
Di antara perbincangan menarik mengenai benturan pandangan dua golongan tersebut terekam dalam halaman 18-20.
Satyo—sebagai wakil golongan liberal—berkata, “... Saya sendiri yang memilih gaya hidup selebritis ... Apakah saya bisa bertahan dengan style ini ketika sering berada di kalangan yang tidak selevel seperti kelas ini? Padahal saya merasa dengan style inilah saya memperoleh jalan ternyaman dalam bergaul ... Misalnya Reno ... Atau Daiyah ... Mereka muslim yang ... fanatik ... Ini dan itu serba tidak boleh. Melakukan ini haram, melakukan itu syubhat. Berpandang-pandangan alergi, jabat tangan anti. Untuk kami di sini yang sudah menerimanya, it’s okay. What about the other society?”
Dey—sebagai wakil kaum agamis—berargumen, “Menurut keyakinan saya begini: Hidup akan lebih baik jika terpola. Dan pola terbaik dalam menjalani hidup adalah agama kita. Jika saya melakukan ini dan itu, atau tidak melakukan ini dan itu, semua karena saya menginginkan hidup saya selaras dengan pola yang saya katakan tadi.”
Pendapat senada, disampaikan Reno—rekan sehaluan Dey, “The same answer as Dey’s ... Jika saya memutuskan untuk memilih gaya hidup seperti ini, itu karena saya yakin saya telah menemukan kebenaran yang lebih dari yang lain.”


Pada halaman-halaman lain, masih banyak lagi corak kehidupan golongan satu ini yang menarik untuk ditelaah. Bagi yang percaya, pemaparan novel ini dapat semakin meneguhkan prinsip diri. Bagi yang tidak menghayati pola demikian, novel ini memberikan gambaran alternatif kehidupan yang—mungkin—bisa diterapkan. Sedangkan bagi yang “berseberangan”, novel ini dapat meluaskan cakrawala berpikir akan heterogenitas masyarakat. Membaca novel ini, barangkali dapat memberikan perspektif untuk lebih menoleransi masyarakat lain, dengan dasar: yang mereka lakukan ada pertimbangan-pertimbangan rasional.
Sementara bagi orang tua dan guru sekolah menengah, novel ini dapat dijadikan alternatif bacaan bagi ananda guna penguatan pendidikan karakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar