Dimuat di majalah Derap Guru Jawa Tengah edisi Februari 2020
Judul
: Birunya Langit Cinta
Pengarang : Azzura
Dayana
Penerbit
: Indiva
Media Kreasi
Cetakan : Pertama,
Maret 2019
Tebal
: 368 halaman
ISBN
: 978-602-5701-01-6
Corak
kehidupan demikian beragam. Antarkelompok masyarakat, jelas ada perbedaan.
Perbedaan tersebut dipengaruhi berbagai faktor seperti ideologi maupun
kebiasaan.
Mana
yang paling tepat? Mana yang paling ideal? Mana pula yang bermanfaat besar bagi
kemanusiaan?
Tentu
tulisan ini tidak akan menjawabnya. Sebaliknya, tulisan ini hendak menyuguhkan
sekelumit corak kehidupan yang dihayati suatu masyarakat tertentu—dalam hal ini
adalah kaum mudanya—sebagaimana diuraikan dalam novel Birunya Langit Cinta.
Adalah
Dey—tokoh utama novel ini—seorang remaja,
aktivis, dan organisatoris. Sehari-hari, dia berupaya mengejawantahkan pola
hidup agamis sesuai keyakinannya.
Pola
hidup agamis yang dimaksud antara lain: rajin menegakkan shalat, rutin berpuasa Daud, tekun menghafal ayat suci, aktif
berdakwah, memperkuat ukhuwah atau
persaudaraan, ghadhul bashar atau
menundukkan pandangan terhadap lawan jenis bukan kerabat, mencari jodoh dengan
cara ta’aruf atau perkenalan melalui
rekomendasi senior, dilanjutkan pertukaran biodata, dan diskusi intens mengenai
individu masing-masing.
Pelaksanaan
pola hidup demikian, menjadikan Dey merasa diri lebih teratur dan terarah.
Tetapi, teman-teman Dey yang serba permisif, hedonis, dan liberal menganggap
perilaku tersebut sebagai sesuatu yang aneh, menghambat, dan mengekang
kebebasan.
Di
antara perbincangan menarik mengenai benturan pandangan dua golongan tersebut terekam
dalam halaman 18-20.
Satyo—sebagai
wakil golongan liberal—berkata, “... Saya
sendiri yang memilih gaya hidup selebritis ... Apakah saya bisa bertahan dengan
style ini ketika sering berada di
kalangan yang tidak selevel seperti kelas ini? Padahal saya merasa dengan style inilah saya memperoleh jalan
ternyaman dalam bergaul ... Misalnya Reno ... Atau Daiyah ... Mereka muslim
yang ... fanatik ... Ini dan itu serba tidak boleh. Melakukan ini haram,
melakukan itu syubhat.
Berpandang-pandangan alergi, jabat tangan anti. Untuk kami di sini yang sudah
menerimanya, it’s okay. What about the other society?”
Dey—sebagai
wakil kaum agamis—berargumen, “Menurut keyakinan saya begini: Hidup akan lebih
baik jika terpola. Dan pola terbaik dalam menjalani hidup adalah agama kita.
Jika saya melakukan ini dan itu, atau tidak melakukan ini dan itu, semua karena
saya menginginkan hidup saya selaras dengan pola yang saya katakan tadi.”
Pendapat
senada, disampaikan Reno—rekan sehaluan Dey, “The same answer as Dey’s ... Jika saya memutuskan untuk memilih
gaya hidup seperti ini, itu karena saya yakin saya telah menemukan kebenaran yang
lebih dari yang lain.”
Pada
halaman-halaman lain, masih banyak lagi corak kehidupan golongan satu ini yang
menarik untuk ditelaah. Bagi yang percaya, pemaparan novel ini dapat semakin
meneguhkan prinsip diri. Bagi yang tidak menghayati pola demikian, novel ini
memberikan gambaran alternatif kehidupan yang—mungkin—bisa diterapkan.
Sedangkan bagi yang “berseberangan”, novel ini dapat meluaskan cakrawala
berpikir akan heterogenitas masyarakat. Membaca novel ini, barangkali dapat
memberikan perspektif untuk lebih menoleransi masyarakat lain, dengan dasar:
yang mereka lakukan ada pertimbangan-pertimbangan rasional.
Sementara bagi orang tua dan guru sekolah menengah, novel ini dapat
dijadikan alternatif bacaan bagi ananda guna penguatan pendidikan karakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar