Minggu, 24 Mei 2020

Buku dari Masa Lalu


Minggu kemarin, 'jalan-jalan' di Tokopedia, nemu buku ini dengan harga yang menyenangkan. Langsung pesan. Hari ini, mendarat di rumah.
Buku ini terbit Juni 2000. 20 tahun lalu. Waktu itu, saya masih SD dan kakak SMA.
Buku ini turut menemani awal-awal perjalanan iman Islam keluarga kami, bagaimana kakak saya 'tiba-tiba' berjilbab di bangku SMA. Ini kabar menggemparkan di tengah-tengah keluarga kami yang Katolik.
Dulu, berjilbab tidak semudah sekarang. Berjilbab rawan sekali dicurigai dan dikenai macam-macam anggapan. Sempat ada isu jilbab racun, jilbab ekstrimis, dan sebagainya. Anak-anak sekolah (kecuali sekolah agama, barangkali) dilarang memakai jilbab, apalagi kalau jilbabnya lebar.
Waktu itu, kakak berangkat ke sekolah dengan pakaian seragam biasa. Atasan dan bawahannya pendek. Di tengah jalan, ganti pakai jilbab dan baju-rok panjang. Pulang sekolah, mendekati rumah, ganti pakai seragam biasa lagi. Sampai akhirnya, ketahuan.
Bapak-Ibu ribut. Kakak bersikukuh. Tarik-ulur pendapat. Adu argumen. Bikin perjanjian-perjanjian. Ribet.
Tapi saya tidak ikut-ikutan ribet. Menurut saya, yang dilakukan kakak, bukan sesuatu yang heboh. Jadi tidak perlu diributkan. Cuma saya salut dengan kegigihan dia. Dalam beberapa hal, dia memang 'keras kepala'. Saya juga 😁.
Sejak berjilbab, kakak sering membawa pulang buku dan majalah agama. Salah satunya majalah Annida. Saya sering ikut baca. Mulanya, sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan orang tua.
Dari majalah ini, saya 'kenal' Helvy Tiana Rosa lewat karya fiksi dan nonfiksinya.
Saya terkesan dan suka sekali dengan tokoh-tokoh perempuan fiksi ciptaan Helvy yang gagah dan heroik, jauh dari citra 'perempuan banget' yang 'terbelenggu' dengan segala aspek keperempuanannya.
Tokoh-tokoh perempuan ciptaan Helvy adalah tokoh-tokoh yang melawan kezaliman dan ketidakberdayaan. Tokoh-tokoh yang tidak hanya bergerak untuk diri sendiri, tapi juga mempengaruhi dan menggerakkan orang-orang lain, termasuk para pembacanya.
Tidak kalah berkesan, selalu ada kandungan nilai agama tanpa cara menggurui atau dipaksakan dalam tulisan Helvy.
Jika Sapardi Djoko Damono mengatakan, seorang pengarang seharusnya berjarak dengan tokoh-tokoh ciptaannya; seorang pengarang seharusnya tidak memasukkan emosi dan unsur pribadi dalam cerita ciptaannya, agar terhindar dari subjektivitas dan makin mendekati objektivitas; tujuannya supaya pena pengarang tetap dingin, Helvy justru sebaliknya. Helvy menulis dengan pena yang menggelora. Terbaca benar jiwa dan batinnya terlibat dan juga dengan caranya, melibatkan pembaca untuk memasuki-menghayati pengalaman-pengalaman tertentu.
Kata Benny Arnas (kalau tidak salah), tulisan Helvy selalu meninggalkan sidik jari di hati pembacanya.
Saya pribadi, sepakat sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar