Minggu kemarin,
'jalan-jalan' di Tokopedia, nemu buku ini dengan harga yang menyenangkan.
Langsung pesan. Hari ini, mendarat di rumah.
Buku ini terbit Juni 2000.
20 tahun lalu. Waktu itu, saya masih SD dan kakak SMA.
Buku ini turut menemani
awal-awal perjalanan iman Islam keluarga kami, bagaimana kakak saya 'tiba-tiba'
berjilbab di bangku SMA. Ini kabar menggemparkan di tengah-tengah keluarga kami
yang Katolik.
Dulu, berjilbab tidak
semudah sekarang. Berjilbab rawan sekali dicurigai dan dikenai macam-macam
anggapan. Sempat ada isu jilbab racun, jilbab ekstrimis, dan sebagainya.
Anak-anak sekolah (kecuali sekolah agama, barangkali) dilarang memakai jilbab,
apalagi kalau jilbabnya lebar.
Waktu itu, kakak berangkat
ke sekolah dengan pakaian seragam biasa. Atasan dan bawahannya pendek. Di
tengah jalan, ganti pakai jilbab dan baju-rok panjang. Pulang sekolah, mendekati
rumah, ganti pakai seragam biasa lagi. Sampai akhirnya, ketahuan.
Bapak-Ibu ribut. Kakak
bersikukuh. Tarik-ulur pendapat. Adu argumen. Bikin perjanjian-perjanjian.
Ribet.
Tapi saya tidak ikut-ikutan
ribet. Menurut saya, yang dilakukan kakak, bukan sesuatu yang heboh. Jadi tidak
perlu diributkan. Cuma saya salut dengan kegigihan dia. Dalam beberapa hal, dia
memang 'keras kepala'. Saya juga 😁.
Sejak berjilbab, kakak
sering membawa pulang buku dan majalah agama. Salah satunya majalah Annida.
Saya sering ikut baca. Mulanya, sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan orang
tua.
Dari majalah ini, saya
'kenal' Helvy Tiana Rosa lewat karya fiksi dan nonfiksinya.
Saya terkesan dan suka
sekali dengan tokoh-tokoh perempuan fiksi ciptaan Helvy yang gagah dan heroik,
jauh dari citra 'perempuan banget' yang 'terbelenggu' dengan segala aspek
keperempuanannya.
Tokoh-tokoh perempuan
ciptaan Helvy adalah tokoh-tokoh yang melawan kezaliman dan ketidakberdayaan.
Tokoh-tokoh yang tidak hanya bergerak untuk diri sendiri, tapi juga
mempengaruhi dan menggerakkan orang-orang lain, termasuk para pembacanya.
Tidak kalah berkesan, selalu
ada kandungan nilai agama tanpa cara menggurui atau dipaksakan dalam tulisan
Helvy.
Jika Sapardi Djoko Damono
mengatakan, seorang pengarang seharusnya berjarak dengan tokoh-tokoh
ciptaannya; seorang pengarang seharusnya tidak memasukkan emosi dan unsur
pribadi dalam cerita ciptaannya, agar terhindar dari subjektivitas dan makin
mendekati objektivitas; tujuannya supaya pena pengarang tetap dingin, Helvy justru
sebaliknya. Helvy menulis dengan pena yang menggelora. Terbaca benar jiwa dan
batinnya terlibat dan juga dengan caranya, melibatkan pembaca untuk
memasuki-menghayati pengalaman-pengalaman tertentu.
Kata Benny Arnas (kalau
tidak salah), tulisan Helvy selalu meninggalkan sidik jari di hati pembacanya.
Saya pribadi, sepakat
sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar