Dimuat di Radar
Banyumas Minggu, 17 Mei 2020
Lebaran tiba. Orang-orang
berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Bagi yang tidak pulang, karena
tidak punya kampung halaman, ketiadaan biaya, atau lantaran sebab lainnya, tentu
tidak berdiam di rumah saja, bisa beranjangsana ke rumah tetangga, teman, atau
kerabat dekat. Pendek kata, orang saling kunjung-mengunjungi. Kalau pun tidak
bisa mengunjungi secara fisik, maka ‘kunjungan’ dapat dilakukan lewat sambungan
telepon atau pesan tertulis.
Dalam kesempatan itu, antara
satu orang dengan orang lainnya, tentu melakukan percakapan, baik nyata maupun online, lisan atau tulisan.
Biasanya, dalam percakapan,
kaum perempuan lebih mendominasi pembicaraan. Ini dapat dimengerti. Sebab, dibandingkan
laki-laki, perempuan memang lebih cerdas secara bahasa. Mereka bicara rata-rata
sebanyak 24.000 sampai 50.000 kata perhari. Sedangkan laki-laki, dalam sehari,
bicara rata-rata sejumlah 5.000 sampai 7.000 kata saja.
Berdasarkan pengalaman
pribadi maupun hasil menelusuri status warganet di media sosial, ada
‘pembicaraan basi’ namun kerap berulang saat momen silaturahmi Lebaran. Bagi
yang masih melajang, terutama apabila usia sudah menanjak, kalimat yang sering
timbul tidak jauh berkisar soal asmara, yaitu: Kok masih bersendiri? Kapan
kawin? Apa lagi yang ditunggu? Mencari pasangan yang seperti apa, sebetulnya?
Jangan terlalu pemilih, yang penting ada calon yang baik, ya sudah, jadilah.
Sementara, bagi yang sudah
menikah namun belum atau memang tidak mau berputra, kalimat yang muncul, antara
lain: Lho, kok belum punya anak? Si Anu yang menikah lebih akhir saja sudah
mengemban bayi, kenapa kalian belum? Sudah bertahun-tahun tidak hamil-hamil
juga, ah, jangan-jangan kamu gabuk. Sudah periksa dokter belum?
Untuk pasangan yang sudah
dikaruniai buah hati, kalimat-kalimat ingin tahu, tetap ada dan dilisankan:
Kapan tambah anak? Anak sudah besar, kok belum dikasih adik? Coba hamil lagi.
Siapa tahu dapat anak laki-laki. Punya anak empat kok perempuan semua?! Lho,
kamu hamil lagi? Tidak capek hamil
terus?
Kepada orang yang menjanda
atau menduda, kalimat yang lahir: Kapan menikah lagi? Ayo, buruan, cari pasangan pengganti, biar tidak kesepian. Dan
sejenisnya ...
Pembicaraan lain yang tidak
kalah menjemukan adalah: Kok tuaan?
Kok gendutan? Kok kurus, sedih, ya?
Dan kok-kok lainnya.
Pembicaraan berbentuk tulisan
yang dikirim sebagai pesan ucapan Lebaran via handphone, juga tidak terhindar dari kalimat-kalimat itu melulu. Sebut sebagai contoh: Ketika
mata tak dapat menatap, mulut tak dapat mengucap, tangan tak dapat menjabat,
kaki tak dapat mendekat, maka izinkanlah hati ini berbisik: Selamat Hari Raya
Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. Ada pula: Jika kata merangkai dusta,
langkah menoreh luka, dan hati penuh prasangka, maka mohon kiranya bukakan
pintu maaf. Selamat Idul Fitri.
Biasanya, kalimat-kalimat
ucapan yang dikirim sebagai pesan itu punya stereotip: seolah-olah indah dan
tampak puitis. Namun, sesungguhnya, merupakan hasil salin-rekat, entah dari
mana asal-muasalnya. Menariknya, supaya tidak ‘kalah gengsi’, tidak jarang,
balasan untuk ucapan, juga diambil dari salin-rekat. Tentu, dipilih pula
kata-kata yang seolah-olah indah dan tampak puitis.
Dari tahun ke tahun,
pembicaraan semacam itu, baik lisan maupun tulisan, terus saja berulang.
Seakan-akan, tidak ada pembicaraan lain. Seakan-akan, hanya itulah yang ‘wajib’
dan ‘wajar’ disampaikan.
Untuk pembicaraan lisan,
orang-orang yang mengawali bicara seperti tidak sadar, betapa bisa jadi, ucapan
semacam itu potensial menyakiti orang lain dan meretakkan hubungan. Sebulan
berpuasa, digembleng untuk menahan dan mengendalikan sikap lahir-batin, rupanya
tidak membekas ketika Lebaran tiba. Kata-kata sekadar karena ingin tahu namun
tidak peduli, meluncur keluar dari mulut, tanpa kendali, tanpa kekangan.
Sedangkan untuk pembicaraan
berupa tulisan, seberapa berat dan sukar untuk mengetik sendiri? Ucapan paling
sederhana pun tidak apa, asal keluar dari lubuk hati terdalam. Bukankah sesuatu
yang keluar dari hati akan sampai pula di hati?
Sering dikatakan, penduduk Indonesia dikenal kreatif. Namun, apakah dalam hal berbahasa ketika Lebaran tiba, sebutan tersebut tetap berlaku dan layak disandang?
*Thomas Utomo bekerja sebagai guru SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Novelnya Petualangan ke Tiga Negara masuk nominasi Buku Islam Terbaik, Kategori Fiksi Anak pada ajang Islamic Book Award 2019. Dapat dihubungi lewat nomor 085802460851 dan surel utomothomas@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar