Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/04/resensi-menyemai-empati-kepada-kaum-papa.html
Judul : Juru
Kunci Makam
Pengarang : Sinta
Yudisia
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Cetakan : Pertama,
Desember 2020
Tebal : 136
halaman
ISBN : 978-623-253-022-5
Bagi
sebagian orang, pemakaman adalah tempat yang sebisa mungkin dihindari. Alasannya:
di situ singup, angker, banyak hantu,
dan berbagai dalih lain yang semakna. Tapi untuk sebagian lain, pemakaman
justru menjadi sumber penghidupan (seperti bagi juru kunci) atau tempat
menyangga kehidupan (bagi tunawisma yang memilih bertempat tinggal di area
orang mati ini).
Demikianlah
yang dialami Unggul, pelajar kelas VIII SMP Teladan. Bersama ayahnya, dia
tinggal di area pemakaman. Ayahnya sendiri bekerja sebagai juru kunci.
Belakangan, karena ayahnya kerap sakit, Unggul menggantikan tugas menggali
tanah dan mengurusi serbaneka orang mati. Akibatnya, dia jadi sering bolos
sekolah.
Di
sisi lagi, ada tugas sekolah berupa praktikum Biologi membedah reptil. Tugas
itu harus dikerjakan secara kelompok dan dilaksanakan di luar jam sekolah.
Donni, Nadia, dan Sofi mendapat jatah berkelompok dengan Unggul. Tapi karena
Unggul lama tidak berangkat, nasib tugas pun terkatung-katung.
Terus
terang, Donni tidak menyukai Unggul karena persoalan tempat tinggal dan
pekerjaan orang tua Unggul yang dianggap tidak umum serta kondisi fisik serta
kepribadiannya yang dianggap tidak meyakinkan (kurus, berkulit hitam, pendiam, tidak
populer, tidak pandai bergaul [halaman 11]). Donni menolak bekerja sama dengan
Unggul dan berusaha mempengaruhi Nadia-Sofi untuk turut serta. Sebaliknya,
Nadia-Sofi berteguh harus mengikutkan Unggul dalam kerja kelompok, kendati
sesungguhnya, mereka merasa tidak nyaman harus bekerja kelompok dengan remaja
yang mendapat stigma aneh. Silang pendapat ini memunculkan percekcokan.
Masing-masing pihak mengukuhi pendapat sendiri.
Guna
kepentingan bersama, anak-anak putri mengalah. Mereka mendatangi Unggul di
rumahnya dan mengajaknya bekerja sama. Perguliran waktu membuktikan betapa
Unggul tidak seburuk label yang disematkan. Sebaliknya, dia giat dalam
menggalang kerja bersama, dari kepalanya kerap terbit inisiatif baik, dan tanpa
jijik, dia sigap menangkap lalu membedah kadal juga kodok. Nadia dan Sofi
senang bekerja dengan Unggul. Demikian pula Donni yang akhirnya meralat pikiran
buruknya sendiri. Dia sendiri jadi semangat menggambar anatomi organ dalam
reptil dengan goresan tangannya yang bagus.
Tapi,
di samping urusan praktikum yang lancar dan berhasil cemerlang, ada segi-segi
mengenaskan dari kehidupan Unggul yang sebelumnya luput dari perhatian
teman-teman sekelas. Unggul sendiri gigih melawan keterbatasan yang membelit
keluarganya dengan ikatan kencang, bahkan tanpa membesar-besarkan kondisinya
sendiri, dia justru giat membantu tunawisma yang berkeliaran di area pemakaman.
Donni, Nadia, dan Sofi terketuk hatinya. Lewat bantuan keluarga masing-masing,
mereka pun berikhtiar menolong Unggul dan orang-orang papa di sekitarnya.
Itulah
kandungan utama novel ini; pengarang berupaya menyuntikkan kesadaran agar pembaca
peduli dan berempati kepada kesengsaraan kaum papa, betapa kemelaratan dan
kebodohan bukan untuk dihindari atau disingkirkan jauh-jauh, melainkan
direngkuh, diayomi, dan dibantu sebaik mungkin.
Kandungan
lainnya adalah dorongan untuk menggalang persatuan di atas kebhinekaan, bahwa
perbedaan justru semakin melebar jika selalu ditonjol-tonjolkan, sebaliknya
perbedaan dapat menjadi kekuatan jika disatukan atas nama kepentingan bersama.
Seperti
novel sebelumnya, yakni Hantu Kubah Hijau
(Indiva Media Kreasi, 2017) dan Bulan
Nararya (Indiva Media Kreasi, 2014), dalam novel ini pun Sinta piawai
membangun suasana seram lewat pilihan kata dan deskripsi cerita. Simak
misalnya, penggambaran rumah Unggul,
“Bau
lembap. Wangi melati dan tanah basah. Suara burung gagak berkaok-kaok melintas
di atap rumah.” (halaman 35). “Hawa dingin menyusup dari celah-celah dinding
yang berlubang … Langit-langit rumah yang terbuat dari jalinan bambu sudah
tidak tampak lagi apa warna aslinya. Sebagian mencembung di sana sini, seperti
bekas roboh tertimpa kucing dan tikus yang saling berkejaran. Di beberapa
bagian, warna kuning melingkar tampak memudar, menandakan bekas tetesan air
dari atap yang bocor. Jendela dengan daun pintu tak beraturan terbuka miring.
Engselnya hampir lepas.” (halaman 36-37).
Atau
anak-anak tunawisma yang berkeliaran di pekuburan, “Dalam keremangan senja,
diselingi desir angin yang meliukkan dedaunan pohon beringin dan kapuk randu,
goyangan ilalang dan perdu, tampak beberapa sosok di sela-sela makam. Dua orang
anak kecil berambut gimbal masih sibuk menyiangi rerumputan yang tumbuh liar di
sela-sela nisan. Anak-anak kecil lain, yang tak kalah kusut … bersembunyi di
balik nisan.” (halaman 88).
*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (mulai 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Bisa dihubungi lewat surel utomothomas@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar