Minggu, 23 Mei 2021

Menyemai Empati kepada Kaum Papa



Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/04/resensi-menyemai-empati-kepada-kaum-papa.html

 

Judul             :   Juru Kunci Makam

Pengarang  :   Sinta Yudisia

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan        :   Pertama, Desember 2020

Tebal             :   136 halaman

ISBN              :   978-623-253-022-5

 

Bagi sebagian orang, pemakaman adalah tempat yang sebisa mungkin dihindari. Alasannya: di situ singup, angker, banyak hantu, dan berbagai dalih lain yang semakna. Tapi untuk sebagian lain, pemakaman justru menjadi sumber penghidupan (seperti bagi juru kunci) atau tempat menyangga kehidupan (bagi tunawisma yang memilih bertempat tinggal di area orang mati ini).

Demikianlah yang dialami Unggul, pelajar kelas VIII SMP Teladan. Bersama ayahnya, dia tinggal di area pemakaman. Ayahnya sendiri bekerja sebagai juru kunci. Belakangan, karena ayahnya kerap sakit, Unggul menggantikan tugas menggali tanah dan mengurusi serbaneka orang mati. Akibatnya, dia jadi sering bolos sekolah.

Di sisi lagi, ada tugas sekolah berupa praktikum Biologi membedah reptil. Tugas itu harus dikerjakan secara kelompok dan dilaksanakan di luar jam sekolah. Donni, Nadia, dan Sofi mendapat jatah berkelompok dengan Unggul. Tapi karena Unggul lama tidak berangkat, nasib tugas pun terkatung-katung.

Terus terang, Donni tidak menyukai Unggul karena persoalan tempat tinggal dan pekerjaan orang tua Unggul yang dianggap tidak umum serta kondisi fisik serta kepribadiannya yang dianggap tidak meyakinkan (kurus, berkulit hitam, pendiam, tidak populer, tidak pandai bergaul [halaman 11]). Donni menolak bekerja sama dengan Unggul dan berusaha mempengaruhi Nadia-Sofi untuk turut serta. Sebaliknya, Nadia-Sofi berteguh harus mengikutkan Unggul dalam kerja kelompok, kendati sesungguhnya, mereka merasa tidak nyaman harus bekerja kelompok dengan remaja yang mendapat stigma aneh. Silang pendapat ini memunculkan percekcokan. Masing-masing pihak mengukuhi pendapat sendiri.

Guna kepentingan bersama, anak-anak putri mengalah. Mereka mendatangi Unggul di rumahnya dan mengajaknya bekerja sama. Perguliran waktu membuktikan betapa Unggul tidak seburuk label yang disematkan. Sebaliknya, dia giat dalam menggalang kerja bersama, dari kepalanya kerap terbit inisiatif baik, dan tanpa jijik, dia sigap menangkap lalu membedah kadal juga kodok. Nadia dan Sofi senang bekerja dengan Unggul. Demikian pula Donni yang akhirnya meralat pikiran buruknya sendiri. Dia sendiri jadi semangat menggambar anatomi organ dalam reptil dengan goresan tangannya yang bagus.

Tapi, di samping urusan praktikum yang lancar dan berhasil cemerlang, ada segi-segi mengenaskan dari kehidupan Unggul yang sebelumnya luput dari perhatian teman-teman sekelas. Unggul sendiri gigih melawan keterbatasan yang membelit keluarganya dengan ikatan kencang, bahkan tanpa membesar-besarkan kondisinya sendiri, dia justru giat membantu tunawisma yang berkeliaran di area pemakaman. Donni, Nadia, dan Sofi terketuk hatinya. Lewat bantuan keluarga masing-masing, mereka pun berikhtiar menolong Unggul dan orang-orang papa di sekitarnya.

Itulah kandungan utama novel ini; pengarang berupaya menyuntikkan kesadaran agar pembaca peduli dan berempati kepada kesengsaraan kaum papa, betapa kemelaratan dan kebodohan bukan untuk dihindari atau disingkirkan jauh-jauh, melainkan direngkuh, diayomi, dan dibantu sebaik mungkin.

Kandungan lainnya adalah dorongan untuk menggalang persatuan di atas kebhinekaan, bahwa perbedaan justru semakin melebar jika selalu ditonjol-tonjolkan, sebaliknya perbedaan dapat menjadi kekuatan jika disatukan atas nama kepentingan bersama.

Seperti novel sebelumnya, yakni Hantu Kubah Hijau (Indiva Media Kreasi, 2017) dan Bulan Nararya (Indiva Media Kreasi, 2014), dalam novel ini pun Sinta piawai membangun suasana seram lewat pilihan kata dan deskripsi cerita. Simak misalnya, penggambaran rumah Unggul,

“Bau lembap. Wangi melati dan tanah basah. Suara burung gagak berkaok-kaok melintas di atap rumah.” (halaman 35). “Hawa dingin menyusup dari celah-celah dinding yang berlubang … Langit-langit rumah yang terbuat dari jalinan bambu sudah tidak tampak lagi apa warna aslinya. Sebagian mencembung di sana sini, seperti bekas roboh tertimpa kucing dan tikus yang saling berkejaran. Di beberapa bagian, warna kuning melingkar tampak memudar, menandakan bekas tetesan air dari atap yang bocor. Jendela dengan daun pintu tak beraturan terbuka miring. Engselnya hampir lepas.” (halaman 36-37).

Atau anak-anak tunawisma yang berkeliaran di pekuburan, “Dalam keremangan senja, diselingi desir angin yang meliukkan dedaunan pohon beringin dan kapuk randu, goyangan ilalang dan perdu, tampak beberapa sosok di sela-sela makam. Dua orang anak kecil berambut gimbal masih sibuk menyiangi rerumputan yang tumbuh liar di sela-sela nisan. Anak-anak kecil lain, yang tak kalah kusut … bersembunyi di balik nisan.” (halaman 88).

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (mulai 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Bisa dihubungi lewat surel utomothomas@gmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar