Minggu, 23 Mei 2021

Perempuan dalam Cengkeraman Masyarakat Patriarkhis

Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 23 Mei 2021

 

Dalam dunia yang dikuasai laki-laki, perempuan dipandang dan diperlakukan secara kontradiktif: dipuja sekaligus dinista. Perempuan dianggap sebagai pusat keindahan, karena itu ‘kepemilikan’ akannya merupakan kebanggaan tersendiri, seperti kata adagium populer: harta, takhta, wanita atau dalam tradisi Jawa: wisma, wanita, turangga, kukila, curiga. Pada saat sama, perempuan diyakini banyak orang sebagai makhluk yang mengancam. Ia sumber fitnah dan malapetaka.

Teringat puisi Toeti Heraty, “kemudian kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa/ sebungkah daging, segumpal emosi/ sekaligus imbesil dan bidadari/ dilipat jari kaki, dikunci pangkal paha/ dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi tari lemah gemulai// ia tertunduk karena salah, gentar, patuh, mengecam diri/ dan akhirnya boleh juga, ia dimanja sekali-kali.”

Gambaran ini pula yang mengemuka dalam Damar Kambang. Karya Muna Masyari ini sarat akan persoalan yang menindas perempuan: kawin paksa, pernikahan dini, kekerasan seksual, teluh, dan tradisi yang bias gender.

Adalah Cebbhing, perempuan yang dikawinkan di usia belia, 14 tahun, tapi kemudian digagalkan secara sepihak karena hantaran dari calon suami, tidak sesuai keinginan orang tua. Lalu ia diteluh dan diperkosa guna pembalasan terhadap orang tua yang telah mencoreng harkat-martabat calon besan. Marinten, suaminya mempertaruhkan rumah seisinya dalam judi karapan sapi. Laiknya Drupadi dalam Mahabharata, karena suaminya kalah, Marinten sebagai bagian ‘isi rumah’ terpaksa harus berpindah tuan, menjadi ‘milik’ pemenang taruhan. Ibu Kacong—calon mertua Cebbhing—di masa muda, diperkosa kakak ipar yang demikian menonjolkan dominasi dan superioritas kelelakiannya.

Kendati menyelisihi UU No. 16 Tahun 2019 yang menyatakan batas usia minimal perkawinan adalah 19 tahun—baik lelaki maupun perempuan—pernikahan dini, masih kerap terjadi di Indonesia. Menurut Atnike Sigiro dari Jurnal Perempuan, ada tiga alasan yang mendasarinya: ekonomi, agama, dan adat istiadat. Dalam hal Cebbhing, pernikahannya terjadi bukan karena persoalan ekonomi. Sebagai pengusaha genting, sudah terang, mereka mapan secara finansial. Orang tua mengawinkannya karena adat istiadat atau untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Dan perihal harkat-martabat ini—bagi masyarakat Madura—penting benar, harus dijunjung setinggi-tingginya, melebihi lain-lain hal.

Dalam hal Marinten, ia sendiri tidak berdaya ketika berhadapan dengan hegemoni masyarakat patriarkhis: ia diperlakukan macam properti, dapat dipindahtangankan dengan mudah, bahkan tanpa persetujuan yang bersangkutan. Pun Ibu Kacong. Perannya minor, tidak dianggap dalam pengambilan keputusan bersama. “…aku tidak bisa berkata apa-apa. Suara perempuan seakan selalu tenggelam di balik wajan, dandang, dan perabot lainnya. Percuma saja mendebat panjang.” (hlm. 59).

Setidaknya ada dua hal ‘menarik’ sekaligus ironis dari perangai lelaki yang dapat ditemukan dalam novel ini. Pertama, walau menonjolkan identitas dan dominasi kuasanya, para lelaki dalam Damar Kambang adalah juga pribadi yang ‘tidak percaya diri’. Dalam menyelesaikan masalah, mereka selalu menggunakan bantuan ilmu dukun: Kacong dan Sakrah ketika meneluh dan memperkosa Cebbhing untuk mempermalukan keluarga Madlawi, suami pertama Marinten setiap kali taruhan laga karapan sapi, Ke Bulla dalam menetralisir teluh Kacong, suami pertama Marinten memperdaya Cebbhing untuk membalas dendam kepada Ke Bulla. Pemanfaatan ilmu perdukunan juga menunjukkan betapa pengecutnya kaum lelaki ini: Kacong dan Sakrah mendendam Madlawi, tapi membalasnya kepada Cebbhing, suami pertama Marinten mendendam Ke Bulla, pun membalasnya ke Cebbhing.

Kedua, seperti dikatakan Asma Nadia lewat Istana Kedua, setiap lelaki adalah kucing liar, datang selagi melihat kesempatan lalu pergi setelah memperoleh yang dimaukan. Mereka adalah oportunis alias pemanfaat. Demikian pula lelaki-lelaki Damar Kambang. Mereka selalu menemukan celah guna pemuas syahwat di tengah jerat kesulitan perempuan: Kacong menyihir Cebbhing agar pergi dari rumah, lalu memperkosanya, Ke Bulla dengan ketinggian ‘ilmunya’ menolong Cebbhing dari teluh Kacong dengan imbalan persenggamaan (yang dihalalkan dengan kawin sirri’ tanpa mahar dan hantaran), suami pertama Marinten menculik Cebbhing, tidak lupa menyetubuhinya. Tetapi kita dapat ‘memakluminya’. Bukankah otak lelaki adalah juga alat kelaminnya?

 

*Thomas Utomo lahir dan besar di Banyumas. Bekerja sebagai guru SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Baru saja menamatkan pendidikan profesi di Universitas PGRI Semarang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar