Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/04/resensi-rahasia-di-balik-pakaian-buatan.html
Judul : Aku
Sayang Nenekku
Pengarang : Amalia
Dewi Fatimah
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Cetakan : Pertama,
November 2020
Tebal : 136
halaman
ISBN : 978-623-253-021-8
Mula-mula,
saya hendak bertanya: apa yang terbayang dalam benak tentang sosok nenek?
Barangkali, kebanyakan dari kita menyimpan kenangan lembut akan perempuan ini:
perhatian, penyayang, pandai memasak, gemar mendongeng, dan sebagainya. Sama
halnya dengan Niken, gadis praremaja, kelas empat SD. Dia sangat menyayangi
Nenek—ibunya Bunda. Sebab, Nenek sering membuatkan pakaian spesial untuk cucu
semata wayangnya itu. Disebut spesial, karena pakaian buatan Nenek memiliki
model yang tidak ada di toko pakaian mana pun. Oleh karenanya, Niken selalu
bahagia bercampur bangga mengenakan pakaian jahitan Nenek. Tidak ketinggalan,
dia kerap memamerkan pakaian buatan Nenek kepada teman-temannya. Terus terang
saja, Niken menikmati tatap mata takjub dan decak kagum teman-teman terhadap
pakaian eksklusif itu. Ada kepuasan tersendiri yang dia rasakan.
Hingga
suatu hari, Nenek yang tinggal berbeda kota dengan Niken, meninggal dunia.
Niken beserta Ayah dan Bunda hijrah untuk menempati rumah Nenek yang sekaligus
difungsikan sebagai toko pakaian. Bunda yang sehari-hari disibukkan dengan
pesanan aneka macam kue, banting setir menjadi pengelola toko pakaian
peninggalan Kakek, sementara Ayah juga ganti pekerjaan. Niken pun berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, sampai suatu ketika, datang rombongan
tamu rahasia Nenek. Tetamu ini yang kemudian ‘membongkar’ rahasia Nenek yang
sebelumnya tidak diketahui Niken, Ayah, dan Bunda. Ayah dan Bunda merasa
senang, tepatnya bersyukur akan kenyataan yang baru terkuak itu, sedangkan
Niken malah marah juga kecewa. Dia menganggap Nenek membohonginya. Tapi,
rentetan kejadian berikut, akhirnya membuka mata hati Niken.
Kejadian
apa saja itu? Dan apa sebetulnya rahasia Nenek?
Tentu,
detailnya tidak bakal saya beberkan di sini. Sebaliknya, sebagai penyemangat
untuk para calon pembaca, perlu diungkapkan segi-segi menarik dari novel anak
ini, supaya memacu untuk menelusuri sendiri sekaligus sebagai bahan pembuka
diskusi kita.
Pertama,
novel ini memiliki gaya bercerita yang empuk, membuat kandungan 14 bab di
dalamnya nyaman dinikmati sampai akhir. Contoh, “Hari mulai terang dan matahari
bersinar hangat. Niken terbangun oleh percakapan beberapa orang di luar
ruangan. Matanya menatap ke sekeliling ruangan, berusaha mengingat berada di
mana dia sekarang? Ternyata dia berada di sebuah ruangan dengan meja-meja yang
dirapatkan ke dinding. Ada lemari yang penuh buku dan map. Juga ada foto Bapak
Presiden dan Wakil Presiden dengan burung garuda di antaranya. Niken mengira
dia berada di ruang kelasnya, tapi ruangan ini terlalu kecil. Dan di ruangan
ini, ada banyak anak kecil yang tertidur di tikar dan kasur busa.” (halaman
82).
Kedua,
tokoh-tokoh novel sangat manusiawi. Tidak ada tokoh yang terlampau putih—yang
kemudian ditahbiskan sebagai penjabar hikmah atau nilai kebajikan, seperti
tipikal bacaan anak lain. Sebaliknya, semua tokoh memiliki kelebihan-kekurangan—yang
dengannya, satu sama lain saling berkontribusi terhadap perkembangan
kepribadian masing-masing ke arah metamorfosis yang lebih baik lagi.
Ketiga,
topik yang diangkat pengarang, dekat dengan kehidupan keseharian anak, sehingga
tidak menimbulkan gap pemahaman. Oleh
karena itu, pembaca bisa lebih gampang memahami, bahkan menghayati liku-liku
pengalaman Niken, keluarga, dan teman-temannya, misal keegoisan Niken yang
berbenturan dengan kekurangpekaan Karina dan kawan-kawan serta Yura, sepupunya
(halaman 20-38).
Keempat,
dalam sekujur novel, terasa sekali kandungan nuansa kekeluargaan yang hangat
dan nyaman, seperti Nenek yang meluangkan waktu di sela kesibukan mengurus toko
cita dengan menjahitkan pakaian untuk Niken, Bunda yang terampil dalam urusan
kuliner: dia selalu melebihkan kue atau penganan apapun untuk keluarga,
tetangga, atau teman-teman Niken, tolong-menolong antarwarga maupun kaum
kerabat saat perumahan Niken diterjang banjir, dan kepedulian keluarga Dania
terhadap para pengungsi bencana alam.
Kelima,
pertanyaan yang selalu didenyut-denyutkan pengarang dalam setiap bab, yakni
mengenai: apa sesungguhnya rahasia Nenek yang tidak diketahui Niken sekeluarga?
akhirnya terbongkar di bab-bab akhir, lewat cerita yang mengecoh, tapi
menggembirakan dan terasa wajar—tidak ada kesan maksa atau dibuat-buat. Dalam hal ini, pengarang piawai mencambuk
kemudian mengulur rasa penasaran pembaca, dan memberikan jawaban di akhir
secara pantas.
Terakhir,
sebagai sedikit penetralisir jika lima point
di atas terasa seperti pujian belaka—walaupun sesungguhnya tidak dimaksudkan
seperti itu, maka perlu disampaikan kritik: yang gamblang adalah mengenai
judul; Aku Sayang Nenekku.
Pertama,
judul terasa biasa saja. Kurang memancing rasa ingin tahu lewat tatapan
selayang pandang. Barangkali, kalau judulnya diubah menjadi Rahasia Nenek Sumayah atau Rahasia Mesin Jahit Nenek, akan lebih
menggelitik rasa penasaran.
Kedua,
judul terasa lewah, karena penggunaan kata Aku
dan klitik –ku. Bagi saya, dalam hal
ini, ada unsur pemborosan kata yang kurang berguna. Judul Aku Sayang Nenek, rasanya sudah cukup baik, meski belum memadai
seperti yang disinggung dalam paragraf sebelum ini.
Demikianlah
catatan pembacaan saya mengenai novel anak karya Amalia Dewi Fatimah. Jika
teman-teman sudah selesai membaca novel tersebut, silakan tanggapi catatan
pembacaan ini, agar diskusi kita semakin semarak. Saya tunggu.
*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (mulai 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Bisa dihubungi lewat surel utomothomas@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar