Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 22 Agustus 2021
Dalam
banyak kebudayaan, ibu adalah sosok yang sakral, bahkan cenderung keramat.
Masyarakat Jawa, misalnya, menganggap ibu sebagai malathi, sikap dan kata-katanya bertuah. Karena itu, melukai
apalagi mendurhakainya bakal mendatangkan malapetaka. Sedangkan dalam keyakinan
Islam, sosok ibu lebih dahsyat lagi. Keridaan ibu—dalam perkara makruf—adalah
juga keridaan Tuhan.
Bagi
masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut patriarkhat murni, kesempurnaan
seorang perempuan adalah menjadi ibu. Jabarannya: dia menikah, mengandung,
melahirkan, lalu punya anak yang diasuh dan dibesarkan sendiri. Pengertian
“perempuan sempurna” ini akan lebih panjang lagi jika diuraikan menurut wacana
utama masyarakat kita. Sebagai contoh, “perempuan sempurna harus” melahirkan
secara normal, dll. dsb. dst.
Lalu
bagaimana dengan perempuan yang hingga berkalang tanah tidak juga menikah—bukan
karena tidak ingin, melainkan tidak mendapatkan pasangan? Bagaimana pula dengan
perempuan yang telah menikah tapi tidak memiliki keturunan, kendati terus
menggenjot ikhtiar?
Gema
pertanyaan inilah yang diajukan Riawani Elyta—Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat
Kepulauan Riau—lewat novel Membeli Ibu.
Novel yang diganjar Juara I Kompetisi Menulis Indiva 2020 Kategori Novel Remaja
ini menyodorkan cerita dua perempuan muda: Athifa—dipanggil Ifa—dan Fairuz—atau
Fai. Ifa adalah pengidap disleksia dengan latar belakang broken home. Dia ditinggalkan Ibu yang bekerja sebagai pekerja
domestik di Negeri Petro Dollar, dicampakkan Ayah, kemudian dititipkan bibi ke
panti asuhan. Beragam labeling
disematkan kepada Ifa: bodoh, pemalas, suka merepotkan—dia sering kesasar karena selalu disorientasi arah,
dan biang masalah—di antaranya pernah berurusan dengan polisi setelah terjebak
menjadi pekerja di bawah umur di pujasera. Tidak ada yang menyukai Ifa, apalagi
dia punya kebiasaan aneh: suka menyendiri guna mendaras surat-surat lusuh dan
hobi membawa celengan dengan alasan: uang di dalamnya untuk membeli Ibu!
Fai
sendiri lulusan SMA. Keinginannya untuk kuliah psikologi di tanah rantau,
kandas karena, “Segumpal miom terdeteksi telah bersemayam di rahimku sejak SMA.
Lalu tumbuh dengan cepat dan berkembang biak. Hingga saat berhasil dikeluarkan
di meja operasi minggu lalu, jumlahnya ternyata telah berkembang menjadi empat
gumpalan. Dan sang miom tidak keluar sendirian. Milikku yang paling berharga
pun harus aku relakan. Rahimku.” (hlm. 16). Fai dipaksa berdamai dengan
mimpi-mimpinya: kuliah di universitas terdekat, membatasi aktivitas fisik,
termasuk menerima kenyataan ditinggal pemuda yang ditaksirnya karena ketahuan
tidak bisa menjadi “perempuan sempurna”.
Ifa
dan Fai bertemu dalam satu “petualangan” kesasar
si remaja disleksia ke taman bacaan masyarakat (TBM) yang dikelola Fai. Interaksi
keduanya menguakkan pesan rahasia yang tersimpul di balik surat-surat lusuh
Ifa, termasuk keinginannya membeli Ibu yang rupanya tersangkut “kasus kriminal”
di Arab Saudi. Lewat ketunaan Ifa, Fai menemukan kembali harapannya untuk
mendampingi anak-anak bermasalah, meski tanpa dasar pendidikan psikologi
formal.
Walau
berakhir tragis karena, “Upaya negosiasi dan diplomasi sampai hari-hari
terakhir, ternyata tak jua berhasil menggoyahkan keputusan Pemerintah Arab
Saudi untuk mengeksekusi Ibu di bawah tebasan pedang tajam.” (hlm. 234-235),
Ifa justru menemukan “kelahirannya yang baru”. Dia memperoleh keluarga baru
yang peduli, suportif, dan gigih menolongnya mengikis ragam ketunaan akibat
disleksia yang diidapnya. Dia juga menghayati pengalaman tumbuh menjadi
perempuan berdaya, lantaran didampingi Ibu yang menjelma sosok baru: spirit
yang terus menyala lewat surat-surat usang peninggalannya. Sedangkan Fai, meski
tidak dapat menjadi “perempuan sempurna” berdasarkan standar yang ditetapkan
masyarakat, dia justru bermetamorfosis menjadi perempuan sempurna sekaligus ibu
kemanusiaan bagi proyek-proyek yang dijalankan lewat TBM dan pendampingan
anak-anak bermasalah.
Inilah
alternatif sudut pandang mengenai sosok ibu yang coba disodorkan Riawani Elyta.
Mengutip Helvy Tiana Rosa dalam Juragan
Haji (2014: 15-16), “Seorang perempuan dihargai karena banyak hal yang
membuatnya hadir secara berarti dalam sebuah pentas bernama kehidupan.
Ketiadaan seorang anak tak lantas membuatmu menjadi tak berarti.”
Secara
bahasa dan substansi—meminjam perkataan Putu Wijaya—sebagai bacaan remaja, Membeli Ibu adalah jenis bacaan yang
bertanggung jawab. Dia tidak terjebak dalam penggunaan bahasa prokem yang
destruktif terhadap keindahan dan muatan bahasa baku—sekaligus tidak membelit pembaca
dengan pilihan kata rumit. Juga tidak menyuguhkan cerita picisan yang itu-itu melulu, cenderung hedonis, sekadar
bersenang-senang guna mengisi waktu luang,
dan eskapisme semata.
Judul : Membeli
Ibu
Pengarang : Riawani
Elyta
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Cetakan : Pertama,
Maret 2021
Tebal : 240
halaman
ISBN : 978-623-253-033-1
*Thomas Utomo lahir dan besar di Banyumas. Bekerja sebagai guru SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Baru saja menamatkan pendidikan profesi di Universitas PGRI Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar