Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 16 Agustus 2020
Pagelaran wayang acapkali dianggap sebagai ajang menanamkan nilai-nilai
positif kehidupan kepada khalayak ramai, di samping sebagai acara hiburan.
Dalam hal ini, pagelaran wayang berfungsi ganda: tidak sekadar tontonan, juga
untuk tuntunan. Tetapi, disadari atau tidak, fragmen-fragmen cerita wayang,
justru kerap menyuguhkan praktik diskriminasi gender—dengan korban: perempuan.
Dengan fungsi wayang sebagai tuntunan, suguhan demikian tentu berbahaya, karena
potensial merasuki pikiran penonton, hingga kemudian mempengaruhi tata nilai
dan perilaku masyarakat.
Cerita Ramayana, misalnya.
Melalui proses panjang dan berliku, Sinta sang juita bisa kembali ke haribaan
Rama setelah bertahun-tahun diculik Rahwana. Namun, lacur, Rama menyuruh Sinta
membakar diri. Pasalnya, dia meragukan kesucian sang istri. Ketika api tidak
dapat membakar Sinta—yang membuktikan dia tetap murni, tidak tercemari
Rahwana—kecurigaaan Rama tidak juga padam. Akhirnya, Sinta dibuang ke hutan,
hingga melahirkan Kusa dan Lawa—anak-anak hasil hubungan dengan Rama, sepulang
dari Alengka.
Masih dari epos Ramayana.
Kekayi, ibu tiri Rama, berkeras agar putra kandungnya—Barata—menjadi raja
Ayodya, menggantikan Dasarata. Dengan narasi sedemikian rupa, penonton atau
penikmat cerita digiring supaya sampai kepada kesimpulan bahwa Kekayi jahat.
Dia tamak dan haus kekuasaan.
Melompat ke cerita Mahabarata.
Ada sosok Drupadi di sana. Berdasarkan cerita versi India dan Bali, Drupadi
menjadi istri Pandhawa, sedangkan menurut versi Jawa, Drupadi hanya menjadi
istri Puntadewa—sulung Pandhawa.
Dalam sebuah fragmen dituturkan, Pandhawa bermain judi dengan Kurawa.
Dengan cara curang, Kurawa berkali-kali menang. Hingga kemudian Pandhawa
mengajukan Drupadi sebagai taruhan—tanpa sepengetahuan, apalagi persetujuan
yang bersangkutan. Lagi-lagi, Pandhawa kalah. Drupadi ‘berpindah tuan’, menjadi
‘milik’ Kurawa. Sebagai harta milik, Kurawa merasa berhak memperlakukan Drupadi
seenak perut mereka, termasuk melucuti pakaian sekaligus kehormatannya. Pandhawa
sendiri diam—seperti arca bisu, menyaksikan penistaan tersebut.
Selanjutnya, terbang ke kahyangan, menemui Uma, permaisuri Bethara Guru.
Pada suatu masa, Uma berpesiar dengan suami, menaiki Lembu Nandini. Saat
tamasya itulah, berahi Bethara Guru terbit. Dia mengajak istrinya berhubungan, waktu
itu juga. Uma menolak. Bethara Guru marah. Cairan benihnya yang mulai menetes,
jatuh ke samudra, melahirkan Bethara Kala. Uma dikutuk menjadi raseksi dan menjadi pasangan Bethara
Kala.
Dari fragmen-fragmen tersebut, kita ketahui betapa direndahkannya
kedudukan perempuan, bukan karena sikap tercela yang dilakukannya, melainkan
akibat sosok yang seharusnya melindungi dan memuliakannya.
Dari fragmen cerita Sinta, misalnya, timbul pertanyaan: mengapa kesucian
perempuan selalu dipertanyakan dan dicermati dengan kaca pembesar, sedangkan
perlakuan serupa tidak ditujukan bagi laki-laki? Berselingkuh, bukankah dapat
dilakukan siapa pun, tidak peduli laki-laki maupun perempuan? Sinta yang
fisiknya terkurung dalam istana Alengka, dicurigai berlaku serong ‘hanya’
dengan Rahwana, sedangkan Rama yang fisiknya bebas dari belenggu apapun, tentu
juga bisa diacungi kecurigaan serupa, terlebih lagi peluang Rama lebih terbuka
dan luas daripada Sinta.
Kekayi, dia berkeras akan takhta untuk anaknya semata mengukuhi janji
yang diikrarkan Dasarata waktu melamarnya. Salahkah dia? Tentu, tidak.
Kesalahan justru ada di pihak Dasarata. Semudah mengucap janji, semudah itu
pula mengingkarinya.
Sedangkan Drupadi dan Uma, mereka memang istri dari seseorang. Dalam
diri mereka terkait seutas tali bernama pernikahan. Namun, ikatan pernikahan
bukanlah simpul mati yang membelit-belit perempuan tanpa kecuali, hingga
meniadakan hak dan kebebasan pribadi.
Sebagai karya yang dianggap milik kemanusiaan, tidak ada salahnya jika
bagian-bagian tertentu dari cerita pewayangan dirombak dan disesuaikan,
sehingga tidak menjadi preseden negatif bagi perlakuan diskriminatif yang
merugikan perempuan.
*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Menulis artikel, cerpen, novel, dan resensi di sejumlah media cetak dan daring.