Kamis, 21 Januari 2021

Berkaca pada Cerpen Para Juara (Pemenang Favorit Lomba Resensi Buku Indiva Media Kreasi 2020-2021)

 


Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/01/ulas-buku-berkaca-pada-cerpen-para-juara.html

 

Judul           :   Kasih Sejuta Bunda

Pengarang  :   Lisma Laurel, S. Gegge Mappangewa, dkk.

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan      :   Pertama, April 2020

Tebal           :   144 halaman

ISBN            :   978-623-253-000-3

Harga           :   Rp 39.000,00

 


Kasih Sejuta Bunda—selanjutnya disebut KSB saja—adalah kumpulan prosa pemenang Lomba Menulis Cerpen Lintang 2019 Tingkat Nasional yang diadakan Penerbit Indiva Media Kreasi. Ada sebelas cerpen anak yang menghuni buku kumpulan ini.

Selama mendaras KSB, sebagai pembaca yang berusaha menikmati sekaligus mengkritisi, setidak-tidaknya saya menemukan dua hal penting yang terpantul daripadanya. Pertama, ihwal pertukangan atau teknik yang digunakan para pengarang dalam merakit cerita. Sebagai seorang yang (juga) merasa diri sebagai penulis serta pengarang, buat saya, hal satu ini penting dan sebisa mungkin selalu saya cermati untuk dipelajari.

Dalam konteks buku ini, saya menganggap lebih dari wajib untuk mempelajarinya, sebab—seperti yang telah saya sampaikan—KSB memuat kumpulan cerpen yang menempati aras sebagai pemenang lomba menulis kancah nasional. Tentulah, teknik yang digunakan pengarang tidak biasa-biasa saja, mungkin canggih-canggih, buktinya dapat merebut perhatian juri. Ini adalah dugaan awal saya. Dan ketika mulai menekuri lembar demi lembar KSB sampai khatam, dugaan saya rontok sama sekali. Dalam buku yang disunting Ayu Wulan ini, teknik bercerita yang digunakan para pengarang, cenderung bersahaja alias sederhana. Tidak ada teknik yang sangat wah. Tiba-tiba, saya jadi ingat, “Kesederhanaan,” kata WS Rendra, “memiliki kekuatannya sendiri.”

Sekadar contoh, cerpen KSB yang didapuk menjadi Juara I, memiliki alur bercerita yang maju. Pilihan katanya sederhana, akrab dengan bahasa anak sehari-hari. Sementara tegangan dan kejutannya hampir tidak ada. Namun, semua rangkaian ceritanya proporsional. Tiap fragmen terpadu secara utuh dan rapi.

Kelebihan lainnya, dalam dialog maupun narasi cerita, tidak ada kata-kata yang menjurus kepada rentetan petuah yang disampaikan terlampau verbal lagi menggurui. Hanya di bagian paling akhir, ada kalimat yang menyimpulkan amanat cerita, “… dia memang telah kehilangan ibu kandungnya, tapi Clara mempunyai sejuta ibu yang terdiri dari Ayah yang akan belajar menjadi ibu dan ibu teman-temannya yang sangat perhatian serta menyayanginya seperti anak sendiri. Clara merasa beruntung. Dia akan berusaha untuk senantiasa berpikir positif.” (halaman 15).

Pun Kotak Ajaib Milik Juro (KAMJ) yang menduduki Juara II dan Pembatas Buku Gratis (PBG) yang menjadi Juara III, memiliki teknik bercerita serupa dengan KSB. Alurnya lurus, nyaris tanpa suspense dan surprise yang terlalu. Tetapi keduanya memiliki tingkat plausibility yang meyakinkan—terutama KAMJ yang mengambil setting tempat, suasana, dan kultur masyarakat Jepang.

Berkaca pada ketiga cerpen tersebut—yang dapatlah dikatakan mewakili cerpen-cerpen lain yang tidak disebut dalam ulasan ini lantaran keterbatasan ruang—teknik bercerita bukanlah tujuan, melainkan sekadar alat.

Pantulan kedua, dari segi substansi. Seperti dikatakan Joni Ariadinata, “Substansi mutlak diperlukan dalam karya sastra.” Tetapi jika ditarik dalam konteks sastra (untuk) anak, ada baiknya substansi alias muatan isi tidak ditampilkan terlalu terang benderang dengan rangkaian khotbah menggurui. Biarkan saja anak menebak-nebak atau menentukan amanat cerita berdasarkan pikiran-perasaannya sendiri, tanpa perlu ditunjukkan secara langsung. Kalau menurut bahasa Soekanto SA, “Ibarat memberi obat berselaput gula-gula.”

Sebut misalnya cerpen Rainbow Rose (RR) yang mengetengahkan kehidupan di asrama putri dengan dibumbui konflik khas remaja. Dengan urutan cerita yang ditata sedemikian, terbaca betapa pengarang berusaha mengilhamkan kepada pembaca usia muda untuk menggalang solidaritas sesama perempuan. Ada pula suntikan motivasi untuk mengaktualisasi diri sesuai renjana dan pentingnya semangat diferensiasi. Dua hal yang saya sebut, tercermin lewat kalimat singkat di akhir cerita, “Senyum Ros makin lebar mendengar celoteh teman-temannya. Dia tak ingin menjadi Ros yang biasa-biasa saja.” (halaman 60).

Itulah pantulan dua hal penting yang saya temukan selama hingga usai melahap KSB. Tentu saja pandangan saya bisa benar, bisa juga salah—barangkali saya kurang cermat. Oleh karena itu, ada baiknya jika pembaca resensi ini, menelaah sendiri kumpulan cerpen KSB guna menyemarakkan diskusi kita.

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (sejak 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018).



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar