Sabtu, 21 Agustus 2021

Ibu yang Tak Terbeli


 

Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 22 Agustus 2021

 

Dalam banyak kebudayaan, ibu adalah sosok yang sakral, bahkan cenderung keramat. Masyarakat Jawa, misalnya, menganggap ibu sebagai malathi, sikap dan kata-katanya bertuah. Karena itu, melukai apalagi mendurhakainya bakal mendatangkan malapetaka. Sedangkan dalam keyakinan Islam, sosok ibu lebih dahsyat lagi. Keridaan ibu—dalam perkara makruf—adalah juga keridaan Tuhan.

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut patriarkhat murni, kesempurnaan seorang perempuan adalah menjadi ibu. Jabarannya: dia menikah, mengandung, melahirkan, lalu punya anak yang diasuh dan dibesarkan sendiri. Pengertian “perempuan sempurna” ini akan lebih panjang lagi jika diuraikan menurut wacana utama masyarakat kita. Sebagai contoh, “perempuan sempurna harus” melahirkan secara normal, dll. dsb. dst.

Lalu bagaimana dengan perempuan yang hingga berkalang tanah tidak juga menikah—bukan karena tidak ingin, melainkan tidak mendapatkan pasangan? Bagaimana pula dengan perempuan yang telah menikah tapi tidak memiliki keturunan, kendati terus menggenjot ikhtiar?

Gema pertanyaan inilah yang diajukan Riawani Elyta—Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Kepulauan Riau—lewat novel Membeli Ibu. Novel yang diganjar Juara I Kompetisi Menulis Indiva 2020 Kategori Novel Remaja ini menyodorkan cerita dua perempuan muda: Athifa—dipanggil Ifa—dan Fairuz—atau Fai. Ifa adalah pengidap disleksia dengan latar belakang broken home. Dia ditinggalkan Ibu yang bekerja sebagai pekerja domestik di Negeri Petro Dollar, dicampakkan Ayah, kemudian dititipkan bibi ke panti asuhan. Beragam labeling disematkan kepada Ifa: bodoh, pemalas, suka merepotkan—dia sering kesasar karena selalu disorientasi arah, dan biang masalah—di antaranya pernah berurusan dengan polisi setelah terjebak menjadi pekerja di bawah umur di pujasera. Tidak ada yang menyukai Ifa, apalagi dia punya kebiasaan aneh: suka menyendiri guna mendaras surat-surat lusuh dan hobi membawa celengan dengan alasan: uang di dalamnya untuk membeli Ibu!

Fai sendiri lulusan SMA. Keinginannya untuk kuliah psikologi di tanah rantau, kandas karena, “Segumpal miom terdeteksi telah bersemayam di rahimku sejak SMA. Lalu tumbuh dengan cepat dan berkembang biak. Hingga saat berhasil dikeluarkan di meja operasi minggu lalu, jumlahnya ternyata telah berkembang menjadi empat gumpalan. Dan sang miom tidak keluar sendirian. Milikku yang paling berharga pun harus aku relakan. Rahimku.” (hlm. 16). Fai dipaksa berdamai dengan mimpi-mimpinya: kuliah di universitas terdekat, membatasi aktivitas fisik, termasuk menerima kenyataan ditinggal pemuda yang ditaksirnya karena ketahuan tidak bisa menjadi “perempuan sempurna”.

Ifa dan Fai bertemu dalam satu “petualangan” kesasar si remaja disleksia ke taman bacaan masyarakat (TBM) yang dikelola Fai. Interaksi keduanya menguakkan pesan rahasia yang tersimpul di balik surat-surat lusuh Ifa, termasuk keinginannya membeli Ibu yang rupanya tersangkut “kasus kriminal” di Arab Saudi. Lewat ketunaan Ifa, Fai menemukan kembali harapannya untuk mendampingi anak-anak bermasalah, meski tanpa dasar pendidikan psikologi formal.

Walau berakhir tragis karena, “Upaya negosiasi dan diplomasi sampai hari-hari terakhir, ternyata tak jua berhasil menggoyahkan keputusan Pemerintah Arab Saudi untuk mengeksekusi Ibu di bawah tebasan pedang tajam.” (hlm. 234-235), Ifa justru menemukan “kelahirannya yang baru”. Dia memperoleh keluarga baru yang peduli, suportif, dan gigih menolongnya mengikis ragam ketunaan akibat disleksia yang diidapnya. Dia juga menghayati pengalaman tumbuh menjadi perempuan berdaya, lantaran didampingi Ibu yang menjelma sosok baru: spirit yang terus menyala lewat surat-surat usang peninggalannya. Sedangkan Fai, meski tidak dapat menjadi “perempuan sempurna” berdasarkan standar yang ditetapkan masyarakat, dia justru bermetamorfosis menjadi perempuan sempurna sekaligus ibu kemanusiaan bagi proyek-proyek yang dijalankan lewat TBM dan pendampingan anak-anak bermasalah.

Inilah alternatif sudut pandang mengenai sosok ibu yang coba disodorkan Riawani Elyta. Mengutip Helvy Tiana Rosa dalam Juragan Haji (2014: 15-16), “Seorang perempuan dihargai karena banyak hal yang membuatnya hadir secara berarti dalam sebuah pentas bernama kehidupan. Ketiadaan seorang anak tak lantas membuatmu menjadi tak berarti.”

Secara bahasa dan substansi—meminjam perkataan Putu Wijaya—sebagai bacaan remaja, Membeli Ibu adalah jenis bacaan yang bertanggung jawab. Dia tidak terjebak dalam penggunaan bahasa prokem yang destruktif terhadap keindahan dan muatan bahasa baku—sekaligus tidak membelit pembaca dengan pilihan kata rumit. Juga tidak menyuguhkan cerita picisan yang itu-itu melulu, cenderung hedonis, sekadar bersenang-senang guna mengisi waktu luang, dan eskapisme semata.

 

Judul        :   Membeli Ibu

Pengarang  :       Riawani Elyta

Penerbit   :   Indiva Media Kreasi

Cetakan   :   Pertama, Maret 2021

Tebal       :   240 halaman

ISBN        :   978-623-253-033-1

 

*Thomas Utomo lahir dan besar di Banyumas. Bekerja sebagai guru SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Baru saja menamatkan pendidikan profesi di Universitas PGRI Semarang.

Minggu, 23 Mei 2021

Rahasia di Balik Pakaian Buatan Nenek



Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/04/resensi-rahasia-di-balik-pakaian-buatan.html

 

Judul             :   Aku Sayang Nenekku

Pengarang  :   Amalia Dewi Fatimah

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan        :   Pertama, November 2020

Tebal             :   136 halaman

ISBN              :   978-623-253-021-8

 

Mula-mula, saya hendak bertanya: apa yang terbayang dalam benak tentang sosok nenek? Barangkali, kebanyakan dari kita menyimpan kenangan lembut akan perempuan ini: perhatian, penyayang, pandai memasak, gemar mendongeng, dan sebagainya. Sama halnya dengan Niken, gadis praremaja, kelas empat SD. Dia sangat menyayangi Nenek—ibunya Bunda. Sebab, Nenek sering membuatkan pakaian spesial untuk cucu semata wayangnya itu. Disebut spesial, karena pakaian buatan Nenek memiliki model yang tidak ada di toko pakaian mana pun. Oleh karenanya, Niken selalu bahagia bercampur bangga mengenakan pakaian jahitan Nenek. Tidak ketinggalan, dia kerap memamerkan pakaian buatan Nenek kepada teman-temannya. Terus terang saja, Niken menikmati tatap mata takjub dan decak kagum teman-teman terhadap pakaian eksklusif itu. Ada kepuasan tersendiri yang dia rasakan.

Hingga suatu hari, Nenek yang tinggal berbeda kota dengan Niken, meninggal dunia. Niken beserta Ayah dan Bunda hijrah untuk menempati rumah Nenek yang sekaligus difungsikan sebagai toko pakaian. Bunda yang sehari-hari disibukkan dengan pesanan aneka macam kue, banting setir menjadi pengelola toko pakaian peninggalan Kakek, sementara Ayah juga ganti pekerjaan. Niken pun berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, sampai suatu ketika, datang rombongan tamu rahasia Nenek. Tetamu ini yang kemudian ‘membongkar’ rahasia Nenek yang sebelumnya tidak diketahui Niken, Ayah, dan Bunda. Ayah dan Bunda merasa senang, tepatnya bersyukur akan kenyataan yang baru terkuak itu, sedangkan Niken malah marah juga kecewa. Dia menganggap Nenek membohonginya. Tapi, rentetan kejadian berikut, akhirnya membuka mata hati Niken.

Kejadian apa saja itu? Dan apa sebetulnya rahasia Nenek?

Tentu, detailnya tidak bakal saya beberkan di sini. Sebaliknya, sebagai penyemangat untuk para calon pembaca, perlu diungkapkan segi-segi menarik dari novel anak ini, supaya memacu untuk menelusuri sendiri sekaligus sebagai bahan pembuka diskusi kita.

Pertama, novel ini memiliki gaya bercerita yang empuk, membuat kandungan 14 bab di dalamnya nyaman dinikmati sampai akhir. Contoh, “Hari mulai terang dan matahari bersinar hangat. Niken terbangun oleh percakapan beberapa orang di luar ruangan. Matanya menatap ke sekeliling ruangan, berusaha mengingat berada di mana dia sekarang? Ternyata dia berada di sebuah ruangan dengan meja-meja yang dirapatkan ke dinding. Ada lemari yang penuh buku dan map. Juga ada foto Bapak Presiden dan Wakil Presiden dengan burung garuda di antaranya. Niken mengira dia berada di ruang kelasnya, tapi ruangan ini terlalu kecil. Dan di ruangan ini, ada banyak anak kecil yang tertidur di tikar dan kasur busa.” (halaman 82).

Kedua, tokoh-tokoh novel sangat manusiawi. Tidak ada tokoh yang terlampau putih—yang kemudian ditahbiskan sebagai penjabar hikmah atau nilai kebajikan, seperti tipikal bacaan anak lain. Sebaliknya, semua tokoh memiliki kelebihan-kekurangan—yang dengannya, satu sama lain saling berkontribusi terhadap perkembangan kepribadian masing-masing ke arah metamorfosis yang lebih baik lagi.

Ketiga, topik yang diangkat pengarang, dekat dengan kehidupan keseharian anak, sehingga tidak menimbulkan gap pemahaman. Oleh karena itu, pembaca bisa lebih gampang memahami, bahkan menghayati liku-liku pengalaman Niken, keluarga, dan teman-temannya, misal keegoisan Niken yang berbenturan dengan kekurangpekaan Karina dan kawan-kawan serta Yura, sepupunya (halaman 20-38).

Keempat, dalam sekujur novel, terasa sekali kandungan nuansa kekeluargaan yang hangat dan nyaman, seperti Nenek yang meluangkan waktu di sela kesibukan mengurus toko cita dengan menjahitkan pakaian untuk Niken, Bunda yang terampil dalam urusan kuliner: dia selalu melebihkan kue atau penganan apapun untuk keluarga, tetangga, atau teman-teman Niken, tolong-menolong antarwarga maupun kaum kerabat saat perumahan Niken diterjang banjir, dan kepedulian keluarga Dania terhadap para pengungsi bencana alam.

Kelima, pertanyaan yang selalu didenyut-denyutkan pengarang dalam setiap bab, yakni mengenai: apa sesungguhnya rahasia Nenek yang tidak diketahui Niken sekeluarga? akhirnya terbongkar di bab-bab akhir, lewat cerita yang mengecoh, tapi menggembirakan dan terasa wajar—tidak ada kesan maksa atau dibuat-buat. Dalam hal ini, pengarang piawai mencambuk kemudian mengulur rasa penasaran pembaca, dan memberikan jawaban di akhir secara pantas.

Terakhir, sebagai sedikit penetralisir jika lima point di atas terasa seperti pujian belaka—walaupun sesungguhnya tidak dimaksudkan seperti itu, maka perlu disampaikan kritik: yang gamblang adalah mengenai judul; Aku Sayang Nenekku.

Pertama, judul terasa biasa saja. Kurang memancing rasa ingin tahu lewat tatapan selayang pandang. Barangkali, kalau judulnya diubah menjadi Rahasia Nenek Sumayah atau Rahasia Mesin Jahit Nenek, akan lebih menggelitik rasa penasaran.

Kedua, judul terasa lewah, karena penggunaan kata Aku dan klitik –ku. Bagi saya, dalam hal ini, ada unsur pemborosan kata yang kurang berguna. Judul Aku Sayang Nenek, rasanya sudah cukup baik, meski belum memadai seperti yang disinggung dalam paragraf sebelum ini.

Demikianlah catatan pembacaan saya mengenai novel anak karya Amalia Dewi Fatimah. Jika teman-teman sudah selesai membaca novel tersebut, silakan tanggapi catatan pembacaan ini, agar diskusi kita semakin semarak. Saya tunggu.

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (mulai 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Bisa dihubungi lewat surel utomothomas@gmail.com.

Menyemai Empati kepada Kaum Papa



Ditayangkan di http://www.takanta.id/2021/04/resensi-menyemai-empati-kepada-kaum-papa.html

 

Judul             :   Juru Kunci Makam

Pengarang  :   Sinta Yudisia

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan        :   Pertama, Desember 2020

Tebal             :   136 halaman

ISBN              :   978-623-253-022-5

 

Bagi sebagian orang, pemakaman adalah tempat yang sebisa mungkin dihindari. Alasannya: di situ singup, angker, banyak hantu, dan berbagai dalih lain yang semakna. Tapi untuk sebagian lain, pemakaman justru menjadi sumber penghidupan (seperti bagi juru kunci) atau tempat menyangga kehidupan (bagi tunawisma yang memilih bertempat tinggal di area orang mati ini).

Demikianlah yang dialami Unggul, pelajar kelas VIII SMP Teladan. Bersama ayahnya, dia tinggal di area pemakaman. Ayahnya sendiri bekerja sebagai juru kunci. Belakangan, karena ayahnya kerap sakit, Unggul menggantikan tugas menggali tanah dan mengurusi serbaneka orang mati. Akibatnya, dia jadi sering bolos sekolah.

Di sisi lagi, ada tugas sekolah berupa praktikum Biologi membedah reptil. Tugas itu harus dikerjakan secara kelompok dan dilaksanakan di luar jam sekolah. Donni, Nadia, dan Sofi mendapat jatah berkelompok dengan Unggul. Tapi karena Unggul lama tidak berangkat, nasib tugas pun terkatung-katung.

Terus terang, Donni tidak menyukai Unggul karena persoalan tempat tinggal dan pekerjaan orang tua Unggul yang dianggap tidak umum serta kondisi fisik serta kepribadiannya yang dianggap tidak meyakinkan (kurus, berkulit hitam, pendiam, tidak populer, tidak pandai bergaul [halaman 11]). Donni menolak bekerja sama dengan Unggul dan berusaha mempengaruhi Nadia-Sofi untuk turut serta. Sebaliknya, Nadia-Sofi berteguh harus mengikutkan Unggul dalam kerja kelompok, kendati sesungguhnya, mereka merasa tidak nyaman harus bekerja kelompok dengan remaja yang mendapat stigma aneh. Silang pendapat ini memunculkan percekcokan. Masing-masing pihak mengukuhi pendapat sendiri.

Guna kepentingan bersama, anak-anak putri mengalah. Mereka mendatangi Unggul di rumahnya dan mengajaknya bekerja sama. Perguliran waktu membuktikan betapa Unggul tidak seburuk label yang disematkan. Sebaliknya, dia giat dalam menggalang kerja bersama, dari kepalanya kerap terbit inisiatif baik, dan tanpa jijik, dia sigap menangkap lalu membedah kadal juga kodok. Nadia dan Sofi senang bekerja dengan Unggul. Demikian pula Donni yang akhirnya meralat pikiran buruknya sendiri. Dia sendiri jadi semangat menggambar anatomi organ dalam reptil dengan goresan tangannya yang bagus.

Tapi, di samping urusan praktikum yang lancar dan berhasil cemerlang, ada segi-segi mengenaskan dari kehidupan Unggul yang sebelumnya luput dari perhatian teman-teman sekelas. Unggul sendiri gigih melawan keterbatasan yang membelit keluarganya dengan ikatan kencang, bahkan tanpa membesar-besarkan kondisinya sendiri, dia justru giat membantu tunawisma yang berkeliaran di area pemakaman. Donni, Nadia, dan Sofi terketuk hatinya. Lewat bantuan keluarga masing-masing, mereka pun berikhtiar menolong Unggul dan orang-orang papa di sekitarnya.

Itulah kandungan utama novel ini; pengarang berupaya menyuntikkan kesadaran agar pembaca peduli dan berempati kepada kesengsaraan kaum papa, betapa kemelaratan dan kebodohan bukan untuk dihindari atau disingkirkan jauh-jauh, melainkan direngkuh, diayomi, dan dibantu sebaik mungkin.

Kandungan lainnya adalah dorongan untuk menggalang persatuan di atas kebhinekaan, bahwa perbedaan justru semakin melebar jika selalu ditonjol-tonjolkan, sebaliknya perbedaan dapat menjadi kekuatan jika disatukan atas nama kepentingan bersama.

Seperti novel sebelumnya, yakni Hantu Kubah Hijau (Indiva Media Kreasi, 2017) dan Bulan Nararya (Indiva Media Kreasi, 2014), dalam novel ini pun Sinta piawai membangun suasana seram lewat pilihan kata dan deskripsi cerita. Simak misalnya, penggambaran rumah Unggul,

“Bau lembap. Wangi melati dan tanah basah. Suara burung gagak berkaok-kaok melintas di atap rumah.” (halaman 35). “Hawa dingin menyusup dari celah-celah dinding yang berlubang … Langit-langit rumah yang terbuat dari jalinan bambu sudah tidak tampak lagi apa warna aslinya. Sebagian mencembung di sana sini, seperti bekas roboh tertimpa kucing dan tikus yang saling berkejaran. Di beberapa bagian, warna kuning melingkar tampak memudar, menandakan bekas tetesan air dari atap yang bocor. Jendela dengan daun pintu tak beraturan terbuka miring. Engselnya hampir lepas.” (halaman 36-37).

Atau anak-anak tunawisma yang berkeliaran di pekuburan, “Dalam keremangan senja, diselingi desir angin yang meliukkan dedaunan pohon beringin dan kapuk randu, goyangan ilalang dan perdu, tampak beberapa sosok di sela-sela makam. Dua orang anak kecil berambut gimbal masih sibuk menyiangi rerumputan yang tumbuh liar di sela-sela nisan. Anak-anak kecil lain, yang tak kalah kusut … bersembunyi di balik nisan.” (halaman 88).

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (mulai 2019), sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Bisa dihubungi lewat surel utomothomas@gmail.com 

Perempuan dalam Cengkeraman Masyarakat Patriarkhis

Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 23 Mei 2021

 

Dalam dunia yang dikuasai laki-laki, perempuan dipandang dan diperlakukan secara kontradiktif: dipuja sekaligus dinista. Perempuan dianggap sebagai pusat keindahan, karena itu ‘kepemilikan’ akannya merupakan kebanggaan tersendiri, seperti kata adagium populer: harta, takhta, wanita atau dalam tradisi Jawa: wisma, wanita, turangga, kukila, curiga. Pada saat sama, perempuan diyakini banyak orang sebagai makhluk yang mengancam. Ia sumber fitnah dan malapetaka.

Teringat puisi Toeti Heraty, “kemudian kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa/ sebungkah daging, segumpal emosi/ sekaligus imbesil dan bidadari/ dilipat jari kaki, dikunci pangkal paha/ dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi tari lemah gemulai// ia tertunduk karena salah, gentar, patuh, mengecam diri/ dan akhirnya boleh juga, ia dimanja sekali-kali.”

Gambaran ini pula yang mengemuka dalam Damar Kambang. Karya Muna Masyari ini sarat akan persoalan yang menindas perempuan: kawin paksa, pernikahan dini, kekerasan seksual, teluh, dan tradisi yang bias gender.

Adalah Cebbhing, perempuan yang dikawinkan di usia belia, 14 tahun, tapi kemudian digagalkan secara sepihak karena hantaran dari calon suami, tidak sesuai keinginan orang tua. Lalu ia diteluh dan diperkosa guna pembalasan terhadap orang tua yang telah mencoreng harkat-martabat calon besan. Marinten, suaminya mempertaruhkan rumah seisinya dalam judi karapan sapi. Laiknya Drupadi dalam Mahabharata, karena suaminya kalah, Marinten sebagai bagian ‘isi rumah’ terpaksa harus berpindah tuan, menjadi ‘milik’ pemenang taruhan. Ibu Kacong—calon mertua Cebbhing—di masa muda, diperkosa kakak ipar yang demikian menonjolkan dominasi dan superioritas kelelakiannya.

Kendati menyelisihi UU No. 16 Tahun 2019 yang menyatakan batas usia minimal perkawinan adalah 19 tahun—baik lelaki maupun perempuan—pernikahan dini, masih kerap terjadi di Indonesia. Menurut Atnike Sigiro dari Jurnal Perempuan, ada tiga alasan yang mendasarinya: ekonomi, agama, dan adat istiadat. Dalam hal Cebbhing, pernikahannya terjadi bukan karena persoalan ekonomi. Sebagai pengusaha genting, sudah terang, mereka mapan secara finansial. Orang tua mengawinkannya karena adat istiadat atau untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Dan perihal harkat-martabat ini—bagi masyarakat Madura—penting benar, harus dijunjung setinggi-tingginya, melebihi lain-lain hal.

Dalam hal Marinten, ia sendiri tidak berdaya ketika berhadapan dengan hegemoni masyarakat patriarkhis: ia diperlakukan macam properti, dapat dipindahtangankan dengan mudah, bahkan tanpa persetujuan yang bersangkutan. Pun Ibu Kacong. Perannya minor, tidak dianggap dalam pengambilan keputusan bersama. “…aku tidak bisa berkata apa-apa. Suara perempuan seakan selalu tenggelam di balik wajan, dandang, dan perabot lainnya. Percuma saja mendebat panjang.” (hlm. 59).

Setidaknya ada dua hal ‘menarik’ sekaligus ironis dari perangai lelaki yang dapat ditemukan dalam novel ini. Pertama, walau menonjolkan identitas dan dominasi kuasanya, para lelaki dalam Damar Kambang adalah juga pribadi yang ‘tidak percaya diri’. Dalam menyelesaikan masalah, mereka selalu menggunakan bantuan ilmu dukun: Kacong dan Sakrah ketika meneluh dan memperkosa Cebbhing untuk mempermalukan keluarga Madlawi, suami pertama Marinten setiap kali taruhan laga karapan sapi, Ke Bulla dalam menetralisir teluh Kacong, suami pertama Marinten memperdaya Cebbhing untuk membalas dendam kepada Ke Bulla. Pemanfaatan ilmu perdukunan juga menunjukkan betapa pengecutnya kaum lelaki ini: Kacong dan Sakrah mendendam Madlawi, tapi membalasnya kepada Cebbhing, suami pertama Marinten mendendam Ke Bulla, pun membalasnya ke Cebbhing.

Kedua, seperti dikatakan Asma Nadia lewat Istana Kedua, setiap lelaki adalah kucing liar, datang selagi melihat kesempatan lalu pergi setelah memperoleh yang dimaukan. Mereka adalah oportunis alias pemanfaat. Demikian pula lelaki-lelaki Damar Kambang. Mereka selalu menemukan celah guna pemuas syahwat di tengah jerat kesulitan perempuan: Kacong menyihir Cebbhing agar pergi dari rumah, lalu memperkosanya, Ke Bulla dengan ketinggian ‘ilmunya’ menolong Cebbhing dari teluh Kacong dengan imbalan persenggamaan (yang dihalalkan dengan kawin sirri’ tanpa mahar dan hantaran), suami pertama Marinten menculik Cebbhing, tidak lupa menyetubuhinya. Tetapi kita dapat ‘memakluminya’. Bukankah otak lelaki adalah juga alat kelaminnya?

 

*Thomas Utomo lahir dan besar di Banyumas. Bekerja sebagai guru SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Baru saja menamatkan pendidikan profesi di Universitas PGRI Semarang. 

Senin, 01 Maret 2021

Perjalanan Melarikan Luka

 


Tayang di http://www.takanta.id/2021/03/ulas-buku-perjalanan-melarikan-luka.html

 

Judul           :   I Love View

Pengarang  :   Azzura Dayana

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan      :   Pertama, Januari 2021

Tebal           :   232 halaman

ISBN            :   978-623-253-027-0

Harga           :   Rp 65.000,00

 

Apakah waktu bisa menyembuhkan luka hati yang menganga karena ditikam rasa? Dapatkah bentang jarak mengobati dada yang lebam membiru lantaran dihantam pengkhianatan?

Sonia, gadis muda yang tidak menyukai bunga. Bukan phobia. Berbilang kali, segala yang bersalut keindahan, justru menyakitinya: perempuan cantik yang menggeser posisi ibu di bilik kesetiaan ayah; gadis rupawan yang tidak hanya merenggut teman-teman kantor, tapi juga calon suami; persahabatan tulus platonik yang terpecah-belah. Sonia tidak percaya lagi kepada paras dan sikap menawan. Cantik dan baik itu omong kosong! Hanya alat untuk memperdaya!

“Kata siapa bunga itu indah? Bunga itu … pisau yang membunuh!” (halaman 17).

Sonia berkemas: mundur dari pekerjaan, pamit dari lingkar pertemanan. Dia bergegas melarikan kaki juga hati ke negara tetangga; Singapura, Malaysia, berharap lubuk rasa yang kian compang-camping dapat ditambal secara perlahan.

Namun kenyataan kembali melenceng dari harapan. Masa lalu dengan segala kepahitannya yang dia kira tertinggal di belakang, malah merangsek ke hadapan, menggoyang kedamaian yang susah payah dibangun. Ujian berikut menyusul: kecelakaan dan penjambretan. Kejadian beruntun itu akhirnya memaksa Sonia menghadapi masa lalu dan—terutama—menghadapi diri sendiri.

“Kalau pun kamu belum bisa memaafkan sekarang, kamu bisa memberitahukan bahwa kamu akan memaafkan mereka pelan-pelan secara bertahap. Terkadang, ada hal-hal baik yang terhalang jalannya karena kita menutup pintu-pintu lainnya. Pintu maaf. Pintu silaturahmi. Jangan sampai jalan itu terlalu lama menunggumu. Kalau terlalu lama, jalan itu akan tertutup belukar, semakin menyemak, dan tak beraturan.” (halaman 146).

 


Kandungan utama novel yang diganjar Special Award Kompetisi Menulis Indiva 2020 ini adalah motivasi bagi pembaca muda untuk berani menghadapi ujian rasa—apapun ragamnya. Tidak mengapa memberi jarak sejenak antara diri dengan masalah, tapi bukan berarti meninggalkannya sama sekali.

Ganjalan berarti dalam novel ini: tokoh Seon, sahabat lama Sonia yang didaku sebagai pemuda Korea, entah kenapa tidak meyakinkan menyandang predikat sebagaimana tersebut. Dia seperti pemuda Indonesia selayaknya: pola pikir, cara bertutur, maupun sikap. Demikian pula Hilyah, keturunan bangsawan Arab Saudi, berkewarganegaraan Malaysia. Tidak ada lanjaran kuat, selain sekadar label, yang dapat meneguhkan pembaca betapa dia memang benar-benar layak dipercaya sebagai gadis gurun pasir berkebangsaan Negeri Jiran.

Untunglah dari segi pelukisan tempat dan suasana—seperti Geylang dengan PSK yang berlalu-lalang menjaring pelanggan (halaman 11-23), Melaka dengan bentang landmark Masjid Terapung Selat Melaka, Benteng A Famosa, istana kesultanan Melayu (halaman 60-73), dan Wetlands Park di Putrajaya dengan danau, padang rumput, dan burung-burung flamingo (halaman 138-1490—terasa amat meyakinkan. Ini dapat dimengerti, sebab pengarang secara nyata memang telah menjelajah lokasi-lokasi yang dia paparkan—sebagaimana terungkap dalam jejak foto di akun Instagram pribadinya @azzuradayana maupun menurut pengakuannya sendiri dalam bedah buku ini yang dilangsungkan secara virtual (14/2/2021).

 



*Thomas Utomo, guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga, Jawa Tengah. Pekerjaan sampingan lainnya adalah penulis serabutan di banyak media massa, editor perempat waktu, dan pedagang toko kelontong. Dapat dihubungi lewat nomor 085802460851 dan surel utomothomas@gmail.com.

Minggu, 21 Februari 2021

Menguak Lapis-Lapis Kebohongan

 


Tayang di http://www.takanta.id/2021/02/ulas-buku-menguak-lapis-lapis-kebohongan.html

Judul           :   Mitomania; Sudut Pandang

Pengarang  :   Ari Keling

Penerbit      :   Indiva Media Kreasi

Cetakan      :   Pertama, Januari 2021

Tebal           :   256 halaman

ISBN            :   978-623-253-028-7

Harga           :    Rp 65.000,00

 

Novel ini dibuka dengan kalimat sugestif yang langsung menabrak perhatian pembaca, “Mereka bisa saja membunuh saya, Pak,” adu Kefiandira kepada  Pak Joni, guru Bimbingan dan Konseling SMA Jaya Nusantara (halaman 7).



Dengan alur maju-mundur, halaman-halaman berikutnya menguakkan kronologi dan argumentasi kenapa gadis kelas XII SMA itu sampai kepada kesimpulan sebagaimana tersebut? Dimulai dari pindahnya Kefiandira ke SMA Jaya Nusantara, keterlibatannya dalam lomba tulis-menulis yang kemudian mengantarkannya ke aras tertinggi sebagai juara utama, hingga munculnya Amanda, Lisa, serta Morgan dalam lingkaran pergaulannya—bukan untuk menautkan pertemanan, sebaliknya justru menghunjamkan permusuhan. Trio sahabat—Amanda, Lisa, Morgan—merisak semata disulut nyala api dengki. Demikian Kefiandira bertutur.

Cerita bertambah runyam lagi pelik manakala Pak Beni, kepala sekolah, memanggil tiga siswa yang diduga secara sengaja dan terencana melakukan perundungan bertubi kepada si gadis introver. Sisi runyam dan pelik yang dimaksud adalah karena cerita versi Amanda, Lisa, dan Morgan saling silang satu sama lain. Celakanya, persilangan cerita tidak hanya membenturkan kubu Kefiandira versus Amanda, Lisa, Morgan, melainkan dalam internal trio sahabat itu sendiri. Ketiga-tiganya lalu saling curiga dan berlomba melempar cecar. Rupanya, kebersamaan berbilang tahun yang terjalin dilatari faktor perkawanan orang tua itu, tidak cukup akrab dan saling mengerti.

Dalam lapis-lapis cerita berikutnya, pembaca seperti diombang-ambingkan: menghadapi cerita yang serba berseberangan, siapa pihak yang jujur? Mana pula yang mengurai dusta? Sampai kemudian, analisis Pak Joni dan Pak Beni mengerucut pada satu nama, sosok siswa yang diduga menderita mitomania—penyakit kejiwaan patologis paling ekstrem, yang menyebabkan penderitanya tidak mampu memancangkan batas tegas antara alam sejati dan dunia khayali, tetapi selanjutnya pengarang—Ari Keling—malah membelokkan dugaan sementara pembaca kepada pihak lain, syukurnya dengan lanjaran meyakinkan.

Secara umum, novel ini asyik untuk disusuri—jenis bacaan yang memecut rasa penasaran hingga khatam. Melalui alur yang nonlinear, pembaca diajak ulang-alik dari masa kini ke masa lalu. Alur flashback ini pula yang dimanfaatkan pengarang untuk memahamkan sekaligus menarik simpati pembaca, mengapa seseorang yang sehat lahir-batin secara berangsur dapat mengidap penyakit kejiwaan ekstrem? Dalam hal ini, terbaca betapa pengarang mencoba mengajak pembaca untuk peduli perihal gangguan kesehatan mental yang pada zaman kiwari ini, kian ganas menyerang, terutama kepada kalangan muda. Lewat novel ini pula, pengarang mencoba menanamkan kesadaran dan penyadaran bahwa kasih sayang keluarga adalah pondasi penting bagi kekohohan kondisi mental anak-anak yang lahir serta besar di dalamnya.

Kritik yang patut juga dilontarkan pada kesempatan ini adalah, dalam sejumlah bab yang mengandalkan alur mundur sebagai teknik bercerita, pengarang bertutur terlalu rinci, demikian detail—sesungguhnya, hal ini dilakukan agar pembaca sampai kepada suatu pemahaman betapa kondisi mitomania yang mendera para pelaku memiliki dasar argumentasi yang jelas. Tetapi, karena gaya bahasa yang dipakai pengarang cenderung lugas, pembeberan latar belakang para tokoh jadi terkesan bertele-tele.

Kritik berikutnya mengenai penerimaan Bu Amira—orang tua salah satu tokoh—akan penyakit yang menggerogoti jiwa anaknya (halaman 249-252). Penerimaan tersebut terasa ujug-ujug alias mendadak dan begitu mudah, padahal dalam lapis-lapis cerita sebelumnya, Bu Amira justru tersinggung, tidak percaya, bahkan marah ketika pihak sekolah memberi tahu soal kegawatan kondisi mental anaknya (halaman 156, 160-161, 163-166). Rasanya, perubahan tersebut terjadi tanpa lanjaran kuat. Atau mungkin, Bu Amira tiba-tiba percaya dan mengizinkan anaknya mengikuti terapi penyembuhan karena pada kali terakhir, dokterlah yang menjabarkan kondisi mental anaknya, bukan guru dan kepala sekolah seperti tahap-tahap cerita sebelumnya? Allahu a’lam.

 

*Thomas Utomo, guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga, Jawa Tengah. Pekerjaan sampingan lainnya adalah penulis serabutan di banyak media massa, editor perempat waktu, dan pedagang toko kelontong. Dapat dihubungi lewat nomor 085802460851 dan surel utomothomas@gmail.com.