Dimuat di Radar Banyumas, Minggu, 19 April 2020
Pada masa awal kemerdekaan,
pekerja sastra Indonesia didominasi kaum Adam. Hanya segelintir perempuan yang
terlibat, itu pun seringkali tidak berumur panjang. Setelah menikah dan
memiliki anak, tidak sedikit dari perempuan-perempuan itu lenyap dari lapangan
sastra, digilas kesibukan domestik rumah tangga.
Sementara itu, terjadi
pengotak-ngotakan sebutan bagi pekerja sastra laki-laki dan perempuan, seperti
yang disindirkan Selasih (1909-1995) dalam video profil dirinya terbitan Yayasan
Lontar. Pengotak-ngotakan tersebut adalah dikenakannya sebutan
sastrawan-sastrawati, wartawan-wartawati, pengarang-pengaring. Selasih—yang
terkemuka berkat novel Kalau Tak Untung—menolak
keras pengotak-ngotakan tersebut. Bagi Selasih, bahasa tidak memiliki jenis
kelamin, karenanya—dalam konteks ini—tidak ada pemisahan sebutan bagi laki-laki
maupun perempuan. Seolah-olah pembedaan sebutan itu sengaja dibuat sebagai garis
demarkasi kualitas hasil cipta laki-laki-perempuan!
Menegaskan Selasih, Nh. Dini
(1936-2018) dalam Kuncup Berseri
berkata, “Kaum lelaki itu ... mencoba menjadi pengkritik, bermata gelap menulis
atau mengatakan apa saja untuk memuaskan hati penjajahnya ... sementara itu
melupakan dalil obyektivitas. Karena mereka tidak rela ada seorang perempuan
yang berani masuk ke dalam lingkungan kerja mereka.” (2009: 92).
Menanggapi Selasih dan Nh.
Dini, pertanyaan yang kemudian dapat diajukan adalah mengapa muncul pembedaan,
pembatasan, dan kritikan bagi perempuan pekerja sastra?
Guna menjawabnya, tidak bisa
tidak, kita harus menelaah karya-karya mereka—para perempuan pekerja sastra. Nh.
Dini, misalnya, sedari awal, karya-karyanya—seperti Pada Sebuah Kapal, La Barka,
Namaku Hiroko—merupakan gugatan terhadap
relasi laki-laki-perempuan—terutama yang bernaung dalam institusi rumah tangga.
Dini yang menolak disebut feminis dan kontra-laki-laki (periksa video wawancara
Dini terbitan Taman Ismail Marzuki), menyatakan, karya-karyanya lahir guna
menuntut keadilan dan keseimbangan hak-kewajiban laki-laki-perempuan. Bukan soal
siapa yang menang atau kalah, sebab masing-masing pihak memiliki kelebihan dan
kekurangan.
Pantas pula disebut nama Helvy
Tiana Rosa. Lebih dari Selasih dan Dini, perempuan ini bahkan menerima ancaman
bunuh disebabkan karya-karyanya.
Karya-karya Helvy—terutama yang
berjenis epik—mengambil latar daerah-daerah konflik, baik di Indonesia maupun
mancanegara. Tokoh-tokohnya biasanya perempuan korban penindasan kepentingan
politik, kekuasaan, dan sentimen agama. Berbeda
dengan tokoh-tokoh ciptaan Dini ialah perempuan-perempuan satin yang halus,
lembut, namun berkepribadian mantap dan memberontak kemapanan, tokoh-tokoh
rekaan Helvy adalah perempuan-perempuan gagah, heroik, punya vitalitas tinggi
yang terampil mengokang senjata, menghunus tombak, dan berduel (misal: Bara Shafiyah, Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin, Maut di Kamp Locka, serta Aishah
dari Syarakisa).
Dalam pengantar Manusia-Manusia Langit, Helvy
mengatakan, “Standar ganda pelaksanaan HAM, berita-berita—termasuk—sejarah yang
terdistorsi ... telah menggugah saya. Saya pikir seharusnya—atas nama
kemanusiaan—juga menggugah siapa pun yang masih mempunyai nurani ... Begitulah,
mengapa saya menulis kisah-kisah epik ... saya berusaha memberikan informasi
perjuangan ... juga sebagai counter
dari berita-berita yang terkesan tidak adil.” (2000: vi).
Karya sastra—baik berupa
cerpen maupun novel—ciptaan Dini dan Helvy memang fiksi. Namun, tidak ada fiksi
yang berangkat dari kekosongan. Karya paling imajinatif bahkan absurd
sekalipun, selalu timbul dan punya korelasi dengan realitas.
Okky Madasari mengatakan,
“Karya sastra merupakan gambaran kehidupan. Karya sastra bisa menjadi cermin
atas apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu periode tertentu. Karya
sastra tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial. Karya sastra dibentuk dan
dipengaruhi oleh realitas di dalam masyarakat dan kemudian ikut membentuk
realitas sosial tersebut.” (Genealogi
Sastra Indonesia, 2019: 5).
Karya-karya Dini, Helvy, dan perempuan-perempuan
sekancah adalah karya-karya yang melawan arus utama, mendobrak kejumudan, dan
mendengungkan protes atas ketidakadilan yang kebanyakan kali ditimbulkan
laki-laki. Sesungguhnya, karya-karya mereka lahir dengan tujuan mengonstruksi kehidupan
dan masa depan agar lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar