Judul : Sabda Luka
Pengarang : S.
Gegge Mappangewa
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Tebal : 288 halaman
ISBN : 978-602-6334-47-3
Waria—akronim wanita
pria—merupakan terminologi yang mengemuka di Indonesia, sejak tahun 1978,
dipopulerkan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Prawiranegara, menggantikan istilah
wadam—Hawa Adam—yang dimasyurkan Ali Sadikin, Gubernur Jakarta era 1960-an.
Ada beragam sebutan lain bagi
golongan satu ini. Orang Jawa, misalnya, menyebut banci—singkatan dari bandhule
cilik atau testisnya kecil, makna lainnya adalah bernyali kecil atau
pengecut. Orang Aceh menyebutnya khunsa,
sedang masyarakat Bugis menjuluki calabai.
Kesemua label itu merujuk
kepada sosok pria bersifat dan bertingkah laku seperti wanita atau pria yang
mempunyai perasaan sebagai wanita (KBBI, halaman 1269).
Keberadaan waria sendiri—mungkin—setua
peradaban manusia. Hanya saja, kehadirannya kerap dimarginalkan, bahkan
dinafikan.
Sealur dengan kehadirannya
yang kerap diabaikan, tidak banyak karya sastra Indonesia yang mengangkat
persoalan waria sebagai topik utama. Novel Sabda
Luka karya S. Gegge Mappangewa, salah satunya.
Tokoh sentral novel ini adalah
Kamaruddin dan Tiara. Keduanya sepasang calabai
atau waria yang saling jatuh cinta dan memutuskan tinggal bersama. Dalam
perkembangannya, Kamaruddin menampilkan diri sebagai laki-laki atau suami,
sedangkan Tiara menjadi perempuan atau istri.
Mungkin, upaya pengarang dalam
menyatukan dua sosok melambai menjadi
pasangan kekasih, terasa janggal. Sebab—biasanya—kaum melambai memilih pasangan sesama jenis yang lebih jantan dari
dirinya. Namun, upaya pengarang tersebut, menjadi bisa dipahami jika kita mencermati
Caitlyn Jenner dan Sophia Hutchin, dua waria pesohor Hollywod yang menjadi
pasangan kekasih.
Kembali kepada kisah
Kamaruddin dan Tiara. Kendati melampaui bilangan tahun dalam rukun dan saling
mencinta, hati keduanya tidak lepas dari ketakutan: suatu ketika, orang-orang
tahu keadaan sesungguhnya; mereka sepasang calabai
yang berpura-pura menjadi suami-istri. Ketakutan itu menguat manakala
seorang tetangga berusaha merudapaksa Tiara lantaran terpikat kecantikan dan
kemolekannya.
Novel berlatar belakang kampung
Bugis di Lautang Salo, Sidenreng Rappang ini cukup detail melukiskan pergolakan
batin calabai. Misalnya, pertentangan
pribadi mengenai pertanyaan menjadi calabai
itu takdir atau pilihan?
Di halaman 143-144,
dituturkan, “Tiara menangis ... Kali ini, tangisnya bukan karena luka, tapi
karena sesal pada takdirnya yang terlahir sebagai calabai. Takdir? Dia
menggeleng pelan. Dia selalu berusaha yakin bahwa hidup jadi calabai bukanlah takdir, tapi pilihan.”
Jika ditarik ke dalam kehidupan
nyata, tuturan tersebut sesuai dengan jawaban Solena Chaniago—waria asal
Sumatra Barat yang beberapa kali bermain dalam film Hollywood—waktu ditanya Trans
7 dan Kompas TV, kurang lebih seperti ini, “Menjadi waria itu takdir atau
pilihan?”
Gejolak hati berikutnya, mengenai
hidup yang senantiasa dalam persimpangan. Dalam novel digambarkan, “... Tiara
semakin merasa bahwa dia selalu berdiri di persimpangan. Lama sekali dia tak
bisa menentukan pilihan, menjadi lelaki sejati atau menjadi calabai. Tapi, saat menemukan dirinya
dalam pilihan calabai, kini dia
dihadapkan pada pilihan dibunuh atau membunuh demi cinta.” (halaman 157).
Penggambaran tersebut tidak
jauh berbeda dengan kata-kata Avi—waria model video klip grup band Naif, berjudul Posesif—saat diwawancarai salah satu acara di SCTV. Dia mengatakan,
waria bergelantungan di antara pria dan wanita. Kedudukannya tidak jelas.
Dalam novel ini ditampilkan juga
sekelumit latar belakang perubahan identitas seksual seseorang, seperti
lingkaran pergaulan dan rentangan jarak terlalu jauh dengan orang tua yang
berjenis kelamin sama (halaman 19-20, 61).
Secara keseluruhan, novel ini
menampilkan pertautan kuat dengan realitas sosial. Dalam novel ini, S. Gegge Mappangewa
tidak sedang menganggit fiksi, melainkan menuliskan kehidupan. Dan latar
belakang sebagai pendidik, kentara dalam cara pengarang menuturkan perihal
waria dan problematikanya: tidak membela, tidak pula menghakimi. Pengarang
menggelarkan kenyataan hidup secara terbuka beserta konsekuensinya. Pembaca
dapat merenung dan memutuskan: memilih yang mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar