Judul : Sabda
Luka
Pengarang : S.
Gegge Mappangewa
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Cetakan : Pertama,
Februari 2018
Tebal : 288
halaman
ISBN : 978-602-6334-47-3
Waria atau wanita pria
adalah sebutan yang mengemuka di Indonesia, sejak tahun 1978, dipopulerkan
Menteri Agama Alamsjah Ratoe Prawiranegara, menggantikan istilah wadam atau
Hawa Adam yang dimasyurkan Ali Sadikin, Gubernur Jakarta periode 1966-1977.
Ada banyak sebutan lain bagi
golongan satu ini. Orang Jawa, misalnya, menyebut banci—singkatan dari bandhule
cilik atau testisnya kecil, makna lainnya adalah bernyali kecil atau
pengecut. Orang Aceh menyebutnya khunsa,
sedang masyarakat Bugis menjuluki calabai.
Semua sebutan tersebut
merujuk kepada sosok pria bersifat dan bertingkah laku seperti wanita atau pria
yang mempunyai perasaan sebagai wanita (KBBI, halaman 1269).
Pertanyaannya: Adakah orang
tua yang mendambakan anaknya menjadi waria? Adakah guru yang mengupayakan memiliki
murid seorang transgender? Lazimnya,
tentu saja, tidak ada. Setiap orang tua dan guru—idealnya—berharap juga
berikhtiar mendidik anak maupun murid sebaik-baiknya, sehingga berkembang
sesuai kecenderungan alamiah, menjadi pribadi bermanfaat bagi lingkungan.
Namun, apa yang harus
dilakukan jika mendapati anak laki-laki yang punya perangai melambai? Bagaimana cara menyikapinya?
Novel Sabda Luka merupakan karya S. Gegge Mappangewa—guru SMP Al Ashri
Makassar—yang mengetengahkan isu waria atau calabai—sebutan
dalam lingkup masyarakat Bugis, setting
novel ini. Adalah Kamaruddin, tokoh utama Sabda
Luka. Sedari kecil mula, ia tidak memiliki kedekatan dengan ayahnya,
lantaran sang bapak memiliki sifat maupun sikap temperamental. Hubungan
keduanya lamis belaka. Sebaliknya,
ikatan batiniah yang kuat, Kamaruddin rasakan dengan ibunya. Perempuan inilah
yang menjadi panutan baginya, termasuk dalam hal berperilaku. Ya, penampilan
lahir maupun batin Kamaruddin—pada akhirnya—menduplikasi ibunya, membuat ia
diolok-olok dengan panggilan Kamaria.
Sudah barang tentu, sang
ayah marah. Lebih-lebih, ketika Kamaruddin menceraikan istri pilihan ayahnya
dan memilih merantau ke Sulawesi Barat, menjadi juru rias pengantin.
Kemudian, setelah
bertahun-tahun pergi, Kamaruddin kembali ke Sidenreng Rappang, menemui sang
ayah, membawa sosok yang diakui sebagai istri. Kemarahan ayah Kamaruddin
perlahan larut, terutama mendapati perubahan perilaku anaknya menjadi lebih
maskulin. Sang ayah amat berterima kasih kepada Tiara—menantu—yang dianggap
berjasa besar bagi metamorfosis kepribadian anaknya.
Tetapi, siapa mengira jika
Tiara, ternyata juga calabai seperti
halnya Kamaruddin? Ia piawai bersandiwara, mengelabui mata mertua dan
masyarakat pada umumnya, menampilkan diri seperti perempuan sebagaimana
layaknya.
Dalam hal ini, hubungan aneh
sekaligus unik antara Kamaruddin dan Tiara tak ubahnya kisah kasih Caitlyn
Jenner dan Sophia Hutchin. Keduanya adalah tokoh transgender Hollywood yang semula masing-masing bernama Bruce
Jenner dan Scott Hutchins. Cerita cinta sesama waria, seolah tak lazim, namun
demikianlah realitanya. Pepatah Prancis mengatakan, “La realite depasse l’imagination.” Artinya, “Kenyataan hidup
melampaui khayalan manusia.”
Tetapi, bukan keanehan
sekaligus keunikan hubungan ini yang dikulik pengarang. Sang pengarang lebih
menyoroti seputar apakah waria itu? Bagaimana pergolakan batinnya? Seperti apa
tantangan yang mesti dihadapi? Dan bagaimana pandangan serta sikap masyarakat
terhadap kaum satu ini?
Membaca novel ini dapat
mengilhamkan gagasan—bagi orang tua dan guru—mengenai sikap terbaik dalam
mencegah maupun menghadapi anak laki-laki berperangai perempuan. Ya, waria
adalah fenomena sosial yang layak diperhatikan cermat. Bukan untuk dicemooh
sebagai sampah masyarakat atau didukung sebagai bentuk kebebasan berekspresi,
namun disikapi secara bijaksana, agar tidak semakin menggurita, menjadi
fenomena yang kian lama justru kian dimaklumi.
Kekurangan novel ini adalah terdapat
cukup banyak kalimat tidak efektif. Simak, misalnya bab lima, halaman 51.
Pengarang memulai dengan tuturan, “Suaminya yang dulu dikenal sebagai calabai, pun kini telah disegani sebagai
lelaki. Melanjutkan usaha ayahnya, setiap malam mengarungi Danau Sidenreng
dengan menggunakan ketinting menuju bagang ayahnya untuk mengambil ikan lalu
membawanya ke dermaga di Turungeng.”
Barangkali, supaya lebih
efektif, kalimat-kalimat tersebut dapat disunting, menjadi, “Suami Tiara yang
dulu dikenal sebagai calabai, kini
disegani sebagai lelaki sejati. Dia melanjutkan usaha sang ayah, setiap malam
mengarungi Danau Sidenreng menggunakan ketinting
menuju bagang orang tuanya untuk
mengambil ikan, lalu mengantarkan ke dermaga di Turungeng.”
Contoh berikutnya ada di
halaman 72, “Dia tak pernah berpikir jika kerut di wajah istrinya muncul karena
istrinya telah memberinya tiga anak yang ketiganya hampir memasuki masa
remaja.”
Mungkin, kalimat tersebut
dapat disunting seperti ini, “Dia tak pernah berpikir jika kerut di wajah sang
istri muncul karena pasangannya itu telah memberi tiga anak yang kini hampir
memasuki masa remaja.”
Kemudian halaman 169, “Bapak
mertuanya yang begitu perhatian padanya, sering membuatnya merasa sangat
bersalah.”
Ada tiga nya yang diulang dalam kalimat ini. Ini adalah
pemborosan. Seumpama disederhanakan, bisa menjadi, “Bapak mertuanya begitu
perhatian, membuat dia sering merasa bersalah.”
*Thomas Utomo adalah
guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Menulis artikel, cerpen, esai, dan
resensi di sejumlah media massa lokal dan nasional, baik cetak maupun daring.
Buku terbarunya Petualangan ke Tiga
Negara (Indiva Media Kreasi, 2018)—meraih nominasi Buku Anak Terbaik versi Islamic Book Award 2019 yang dihelat
Ikatan Penerbit Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar