Jumat, 12 Juni 2020

Isu Waria dalam Sabda Luka



Judul           :   Sabda Luka
Pengarang   :   S. Gegge Mappangewa
Penerbit       :   Indiva Media Kreasi
Cetakan       :   Pertama, Februari 2018
Tebal           :   288 halaman
ISBN           :   978-602-6334-47-3

Waria atau wanita pria adalah sebutan yang mengemuka di Indonesia, sejak tahun 1978, dipopulerkan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Prawiranegara, menggantikan istilah wadam atau Hawa Adam yang dimasyurkan Ali Sadikin, Gubernur Jakarta periode 1966-1977.
Ada banyak sebutan lain bagi golongan satu ini. Orang Jawa, misalnya, menyebut banci—singkatan dari bandhule cilik atau testisnya kecil, makna lainnya adalah bernyali kecil atau pengecut. Orang Aceh menyebutnya khunsa, sedang masyarakat Bugis menjuluki calabai.
Semua sebutan tersebut merujuk kepada sosok pria bersifat dan bertingkah laku seperti wanita atau pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita (KBBI, halaman 1269).
Pertanyaannya: Adakah orang tua yang mendambakan anaknya menjadi waria? Adakah guru yang mengupayakan memiliki murid seorang transgender? Lazimnya, tentu saja, tidak ada. Setiap orang tua dan guru—idealnya—berharap juga berikhtiar mendidik anak maupun murid sebaik-baiknya, sehingga berkembang sesuai kecenderungan alamiah, menjadi pribadi bermanfaat bagi lingkungan.
Namun, apa yang harus dilakukan jika mendapati anak laki-laki yang punya perangai melambai? Bagaimana cara menyikapinya?
Novel Sabda Luka merupakan karya S. Gegge Mappangewa—guru SMP Al Ashri Makassar—yang mengetengahkan isu waria atau calabai—sebutan dalam lingkup masyarakat Bugis, setting novel ini. Adalah Kamaruddin, tokoh utama Sabda Luka. Sedari kecil mula, ia tidak memiliki kedekatan dengan ayahnya, lantaran sang bapak memiliki sifat maupun sikap temperamental. Hubungan keduanya lamis belaka. Sebaliknya, ikatan batiniah yang kuat, Kamaruddin rasakan dengan ibunya. Perempuan inilah yang menjadi panutan baginya, termasuk dalam hal berperilaku. Ya, penampilan lahir maupun batin Kamaruddin—pada akhirnya—menduplikasi ibunya, membuat ia diolok-olok dengan panggilan Kamaria.
Sudah barang tentu, sang ayah marah. Lebih-lebih, ketika Kamaruddin menceraikan istri pilihan ayahnya dan memilih merantau ke Sulawesi Barat, menjadi juru rias pengantin.
Kemudian, setelah bertahun-tahun pergi, Kamaruddin kembali ke Sidenreng Rappang, menemui sang ayah, membawa sosok yang diakui sebagai istri. Kemarahan ayah Kamaruddin perlahan larut, terutama mendapati perubahan perilaku anaknya menjadi lebih maskulin. Sang ayah amat berterima kasih kepada Tiara—menantu—yang dianggap berjasa besar bagi metamorfosis kepribadian anaknya.
Tetapi, siapa mengira jika Tiara, ternyata juga calabai seperti halnya Kamaruddin? Ia piawai bersandiwara, mengelabui mata mertua dan masyarakat pada umumnya, menampilkan diri seperti perempuan sebagaimana layaknya.
Dalam hal ini, hubungan aneh sekaligus unik antara Kamaruddin dan Tiara tak ubahnya kisah kasih Caitlyn Jenner dan Sophia Hutchin. Keduanya adalah tokoh transgender Hollywood yang semula masing-masing bernama Bruce Jenner dan Scott Hutchins. Cerita cinta sesama waria, seolah tak lazim, namun demikianlah realitanya. Pepatah Prancis mengatakan, “La realite depasse l’imagination.” Artinya, “Kenyataan hidup melampaui khayalan manusia.”
Tetapi, bukan keanehan sekaligus keunikan hubungan ini yang dikulik pengarang. Sang pengarang lebih menyoroti seputar apakah waria itu? Bagaimana pergolakan batinnya? Seperti apa tantangan yang mesti dihadapi? Dan bagaimana pandangan serta sikap masyarakat terhadap kaum satu ini?

Membaca novel ini dapat mengilhamkan gagasan—bagi orang tua dan guru—mengenai sikap terbaik dalam mencegah maupun menghadapi anak laki-laki berperangai perempuan. Ya, waria adalah fenomena sosial yang layak diperhatikan cermat. Bukan untuk dicemooh sebagai sampah masyarakat atau didukung sebagai bentuk kebebasan berekspresi, namun disikapi secara bijaksana, agar tidak semakin menggurita, menjadi fenomena yang kian lama justru kian dimaklumi.
Kekurangan novel ini adalah terdapat cukup banyak kalimat tidak efektif. Simak, misalnya bab lima, halaman 51. Pengarang memulai dengan tuturan, “Suaminya yang dulu dikenal sebagai calabai, pun kini telah disegani sebagai lelaki. Melanjutkan usaha ayahnya, setiap malam mengarungi Danau Sidenreng dengan menggunakan ketinting menuju bagang ayahnya untuk mengambil ikan lalu membawanya ke dermaga di Turungeng.”
Barangkali, supaya lebih efektif, kalimat-kalimat tersebut dapat disunting, menjadi, “Suami Tiara yang dulu dikenal sebagai calabai, kini disegani sebagai lelaki sejati. Dia melanjutkan usaha sang ayah, setiap malam mengarungi Danau Sidenreng menggunakan ketinting menuju bagang orang tuanya untuk mengambil ikan, lalu mengantarkan ke dermaga di Turungeng.”
Contoh berikutnya ada di halaman 72, “Dia tak pernah berpikir jika kerut di wajah istrinya muncul karena istrinya telah memberinya tiga anak yang ketiganya hampir memasuki masa remaja.”
Mungkin, kalimat tersebut dapat disunting seperti ini, “Dia tak pernah berpikir jika kerut di wajah sang istri muncul karena pasangannya itu telah memberi tiga anak yang kini hampir memasuki masa remaja.”
Kemudian halaman 169, “Bapak mertuanya yang begitu perhatian padanya, sering membuatnya merasa sangat bersalah.”
Ada tiga nya yang diulang dalam kalimat ini. Ini adalah pemborosan. Seumpama disederhanakan, bisa menjadi, “Bapak mertuanya begitu perhatian, membuat dia sering merasa bersalah.”

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Menulis artikel, cerpen, esai, dan resensi di sejumlah media massa lokal dan nasional, baik cetak maupun daring. Buku terbarunya Petualangan ke Tiga Negara (Indiva Media Kreasi, 2018)—meraih nominasi Buku Anak Terbaik versi Islamic Book Award 2019 yang dihelat Ikatan Penerbit Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar