Judul
: Kitab Cinta dan Patah Hati
Penulis
: Sinta
Yudisia
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Tebal
: 384
halaman
ISBN
: 978-602-8277-99-0
Setiap
orang, pasti pernah mengalami jatuh cinta. Cinta sendiri dapat dipahami sebagai
perasaan positif yang timbul dalam diri terhadap orang lain, baik sejenis
maupun lawan jenis, dengan usia sama, lebih tua, atau lebih muda (halaman 23).
Perilaku
yang melambangkan cinta tak selalu romantis dan didasari sikap saling
melindungi. Banyak pihak justru membuktikan cinta dengan berperilaku
sebaliknya: bersikap posesif, sadistis, masokis, dan menindas untuk menunjukkan
superioritas.
Tetapi
mengapa manusia yang memiliki otak, susunan saraf, neurotransmiter, fisik, dan
panca indra yang sama; bisa berlainan perilaku tatkala mencintai sesuatu atau
seseorang?
Sebetulnya,
perilaku merupakan penampakan dari kondisi psikologis sesesorang. Secara
sederhana, perilaku memperlihatkan jeroan seseorang. Dalam
keadaan tenang, orang akan dapat makan-minum, berbicara, berjalan, dan
beraktivitas lainnya dengan tenang pula. Sedang dalam keadaan gelisah atau
marah, orang akan cenderung beraktivitas dengan buru-buru.
Perilaku
seseorang—termasuk perilaku cinta—dipengaruhi oleh empat hal yakni multisebab,
warisan budaya, genetik dan lingkungan, dan pengalaman hidup. Perilaku cinta
masing-masing orang tidak timbul hanya karena satu sebab belaka. Banyak faktor
lain yang mendukung terjadinya perbedaan, sebagaimana faktor pencetus perilaku
yang berikutnya (halaman 106).
Budaya
mencintai dan mengekspresikan cinta sendiri sekarang ini jauh lebih gampang,
cepat, dan terbuka dibandingkan zaman dulu. Hal ini karena teknologi berkembang
semakin canggih, sehingga manusia semakin ekspresif mengungkapkan isi hatinya,
baik lewat handphone atau media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Jatuh cinta, patah hati, bahkan marah dan caci-maki, dapat leluasa dilakukan di
ruang terbuka—media sosial—tanpa kekhawatiran akan menyinggung pihak lain
(halaman 108).
Di samping
itu—seperti dikemukan di atas; bahwa—perilaku cinta juga sangat dipengaruhi
oleh genetik dan lingkungan pembentuk. Secara genetik, manusia akan terpola
dari leluhurnya. Dia akan berperilaku anggun mempesona, termasuk dalam
mengungkapkan cinta—bila secara genetik diwariskan sifat-sifat itu. Sementara
lingkungan merupakan elemen yang dapat menyempurnakan, menyembuhkan, atau malah
memperparah dan memperburuk berkali lipat. Bila secara genetik bapak-ibu
memiliki sifat keras, kasar, dan gemar mencaci-maki, maka sempurnalah genetik
dan lingkungan menjadi pembentuk watak manusia yang bersifat sekeras batu.
Kelak, dia pun akan kesulitan menunjukkan perasaan cintanya pada pasangan
dengan cara yang indah; kecuali bila sebagai individu menginginkan perubahan ke
arah yang lebih baik (halaman 111).
Akan tetapi,
bisa jadi secara kultur, genetik, dan lingkungan seseorang dididik sangat keras
sehingga senantiasa kasar kepada orang lain. Tapi pengalaman hidup yang memperkaya
batin—entah di titik mana—menjadikannya manusia yang berbeda: menjadi welas
asih pada sesama, terutama pada pasangan. Barangkali saat kecil sering melihat
bapak menganiaya ibu, sehingga saat dewasa dia tidak ingin hal itu terulang
pada pasangannya. Ataupun juga dia malah mengulang perilaku yang sama. Hal-hal
itu tergantung kekayaan pengalaman yang dialami, dipahami, direnungkan, dan
diperoleh sepanjang masa hidup (hal. 114).
Oleh karena
itulah, cinta bagi sebagian orang dapat menguatkan, sementara bagi sebagian
yang lain justru dapat sangat merusak dan menghancurkan—baik diri sendiri
maupun pasangan.
Sebagai
bagian dari satu paket afeksi, patah hati adalah sisi lain yang sangat mungkin
terjadi pada pasangan yang sebelumnya saling mencintai—baik karena terpisah
oleh maut atau memang berpisah karena satu dan alasan lain; putus, bercerai,
dan sebagainya. Patah hati sendiri dapat diartikan sebagai kondisi emosi dan
mental seseorang yang tidak lagi memiliki semangat dan kemauan untuk melakukan
suatu hal—terutama yang terkait percintaan—karena rasa kecewa, perasaan tidak
suka yang muncul akibat peristiwa-peristiwa tak menyenangkan dengan pasangan.
(halaman 284).
Patah hati
tidak selalu berkaitan dengan adanya orang ketiga yang bermakna perselingkuhan.
Bukan sekadar bosan dengan pasangan, lalu meninggalkannya. Hati terluka, patah
pada akhirnya, dapat diakibatkan ketidakmampuan menanggung peristiwa-peristiwa
buruk yang mendera selama perjalanan cinta berlangsung. Ujian demi ujian yang
mendera sepasang insan yang saling mencinta pada awalnya, boleh jadi
memperkokoh ikatan atau malah merapuhkannya.
Sebagian
orang menjadikan patah hati sebagai titik kehancuran, karena harapan seperti
musnah, tidak ada lagi nyala yang tersisa di bumi. Sebagian lainnya justru menjadikan
patah hati sebagai titik balik. Kata Oscar Wilde; hearts live by being
wounded—terkadang, hati menjadi lebih hidup usai terluka. Rasa sakit karena
hati yang terluka, dapat memicu semangat defense mechanism—keinginan
mempertahankan diri dari rasa sakit dan kejatuhan yang lebih parah. Orang yang
berhasil menghimpun rasa percaya diri dengan segera, menjadikan patah hati
sebagai energi psikis untuk membuktikan bahwa prestasi tetap dapat diraih.
Patah hati bukan akhir dunia, bukan berarti diri tak berharga, tak memiliki
arti. (halaman 285-286).
Patah
hati—bagi penulis buku ini—dapat diobati misalnya dengan mengubah persepsi
mengenai kebahagiaan; bahwa patah hati tidak berarti dukalara, kepergian
pasangan bukan berarti kebahagian terenggut. Seumpama saat kekasih berpaling
pada orang lain, itu berarti cintanya tidak cukup kokoh. Bagaimana setelah
menikah nanti? Memiliki kekasih yang belum terikat pernikahan, tak ada
keharusan mempertahankan ikatan bila salah satu berkhianat. Mengapa tidak
memilih orang lain dengan perilaku yang lebih matang dan lebih baik sebagai
pasangan seumur hidup? Kecuali bila telah menikah, tentu perlu dicari jalan
keluar yang lebih bijak bila salah satu berkhianat. (halaman 313-314).
Upaya
mengobati patah hati juga dapat dilakukan dengan cara lebih mendekatkan diri
pada Tuhan melalui salat wajib, salat sunah, dan terutama salat malam, di
samping banyak membaca kitab suci, berzikir, meminta saran dari orang salih,
dan sering bergaul. Patah hati juga dapat disembuhkan lewat olah raga dan
mengonsumsi makanan bergizi—keduanya dapat mempengaruhi hormon-hormon yang
mendorong perasaan seseorang lebih rileks dan tenteram.
Di samping
menguraikan kedalaman arti jatuh cinta dan patah hati, buku ini juga
menampilkan kisah-kisah jatuh cinta dan patah hati yang dialami tokoh-tokoh
populer seperti Cleopatra, Napoleon Bonaparte, Marilyn Monroe, Imam Syafi’i,
Utsman bin Affan, dan terutama Nabi Muhammad. Dari kisah-kisah tersebut,
pembaca akan dapat berkaca dan mendulang pelajaran baik daripadanya.
Sekelumit
kekurangan buku ini adalah, pertama, usai penjabaran gamblang mengenai
serba-serbi jatuh cinta dan patah hati, tidak ada kesimpulan yang diberikan
penulis. Kedua, setidaknya ada 18 ilustrasi dalam buku ini, baik berupa penampang
saraf maupun lukisan tokoh masyur (halaman 43, 58, 62, 64, 68, 85, 89, 240,
343, 348, 352, 358, 370). Sayangnya, tidak satu pun ilustrasi yang ditampilkan,
disertai sumber asalnya. Ketiga, 50 referensi penulisan yang dicantumkan dalam
Daftar Pustaka, disajikan tidak urut secara abjad.
*Thomas Utomo adalah
guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Menulis artikel, cerpen, esai, dan
resensi di sejumlah media massa lokal dan nasional, baik cetak maupun daring.
Buku terbarunya Petualangan ke Tiga
Negara (Indiva Media Kreasi, 2018)—meraih nominasi Buku Anak Terbaik versi Islamic Book Award 2019 yang dihelat
Ikatan Penerbit Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar