Judul : The Secret of Room 403
Pengarang : Riawani
Elyta
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Cetakan : Pertama,
April 2016
Tebal : 272
halaman
ISBN : 978-602-1614-51-8
The
Secret of Room 403 merupakan salah satu karya unggulan
Riawani Elyta, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kepulauan Riau. Novel
ini menyabet juara Lomba Menulis Novel Inspiratif (LMNI) 2014 yang diadakan
Penerbit Indiva Media Kreasi dan menjadi finalis Islamic Book Award 2018 kategori Fiksi Dewasa Terbaik yang
diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Kendati telah terbit cukup
lama, novel ini masih kerap menjadi perbincangan publik. Teranyar, novel ini
menjadi pokok bahasan acara bincang buku yang diselenggarakan Kantor Bahasa
Kepulauan Riau pada awal Februari 2020.
Apa sesungguhnya
keistimewaan novel satu ini?
Secara garis besar, isi
novel menceritakan liku-liku kehidupan Aliff, seorang copywriter atau penulis skenario sinetron yang mendapat pesanan dari
salah satu kandidat presiden untuk menganggit novel biografis. Novel itu akan
digunakan sang kandidat untuk mengkatrol pamor politiknya, menghadapi ajang
pemilihan presiden.
Tak disangka, perjalanan
Aliff dalam menyusun novel pesanan itu, justru membuatnya terseret pusaran
konflik politik, termasuk peristiwa memilukan era 1980-an yang sampai sekarang belum
diusut tuntas.
Ulasan ini tidak akan
membicarakan kepelikan konflik politik yang ada, sebab sudah dibahas oleh
penulis resensi The Secret of Room
403 lainnya. Ada hal lain yang tidak kalah menarik dibicarakan, yakni mengenai
upaya pengarang menjadikan tokoh Aliff sebagai corong untuk mengkritik dunia
persinetronan Tanah Air.
Kita telah sama-sama mafhum,
sinetron-sinetron yang memenuhi layar televisi Indonesia sungguh memprihatinkan
sekaligus menjengkelkan. Topik-topiknya tidak pernah beranjak jauh dari soal si
miskin namun jelita yang dicintai laki-laki tampan lagi kaya, anak yang hilang,
rebutan pacar, dan seterusnya. Para pemerannya pun berpatron serupa: tokoh
protagonis yang memiliki hati seluas lapangan golf serta si antagonis
berstereotip materialistis, culas, dan kalau marah, matanya melotot-melotot.
Melalui Aliff, pengarang
mengkritik perihal kerja penulis skenario sinetron kejar tayang yang melebihi
mekanisme mesin pabrik, “... Pasti dari Davesh. Bos besarku di rumah produksi
Shangrilla. Pria ekspatriat penggila kerja yang sudah mencoret hampir semua
hari libur dalam kalendernya. Celakanya, dia juga ‘mengondisikan’ semua anak
buahnya untuk memiliki almanak yang sama.” (h. 14)
“Orang-orang yang berada
dalam atmosfer kehidupanku adalah mereka yang kadar gilanya tak jauh berbeda. Para
workaholic sejati. Mereka menetaskan
puluhan ribu kata perhari dari cangkang otaknya, menempeli belasan post-it di sisi meja dan halaman buku
serta memenuhi kalender mejanya dengan lingkaran-lingkaran merah penanda deadline.” (h. 17)
Dengan cara kerja demikian,
yang dikejar adalah kuantitas, bukan kualitas. Yang terpikir adalah bagaimana
cara merentangpanjangkan cerita sinetron berating tinggi agar tetap bisa menjaring
penonton sebanyak-banyaknya? Masa bodoh soal logika cerita!
“Davesh tidak pernah ambil
pusing dengan mutu dialog. Satu-satunya yang dia ambil berat adalah berapa
puluh lembar skenario yang bisa kuselesaikan dalam sehari.” (h. 19).
“Aku tak punya banyak waktu
untuk memikirkan tulisan-tulisan cerdas, apalagi yang mampu membangkitkan efek
menggugah, menyentuh, ataupun memotivasi ... Program di otakku telah mengalami
pergantian perintah. Perintah untuk menghasilkan tulisan sebanyak mungkin.” (h.
173)
Membaca novel ini menebalkan
keyakinan betapa banyak mudarat yang ditimbulkan tayangan sinetron picisan. Rutin
menonton tayangan tak bermutu tersebut, potensial menumpulkan logika,
menanamkan pola hidup hedonis, mempengaruhi tindak kekerasan verbal dan fisik,
juga memandang biasa perbuatan-perbuatan negatif yang disuguhkan layar kaca.
Di sisi lain, novel ini memberi
tahu pembaca akan gangguan kesehatan yang kerap dialami para penulis skenario
sinetron akibat jam kerja sedemikian. Bahkan tidak sedikit dari copywriter yang menemui ajal, karena
kelelahan saat berkutat dengan skenario.
*Thomas
Utomo adalah guru di SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Selain
menggeluti profesi guru, juga menekuni kegiatan tulis-menulis. Karyanya, baik
fiksi maupun nonfiksi, dipublikasikan di sejumlah media lokal dan nasional
antara lain Annida, Buletin Jejak, Derap
Perwira, Fatawa, Halo Nanda, Koran Jakarta, Kreasi, Nikah, Potret, Radar
Banyumas, Sang Guru, Satelit Post, Serambi Ummah, Story, dan Suara Muhammadiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar