Selasa, 23 Juni 2020

Senarai Kritik untuk Sinetron Indonesia




Judul           :   The Secret of Room 403
Pengarang   :   Riawani Elyta
Penerbit       :   Indiva Media Kreasi
Cetakan       :   Pertama, April 2016
Tebal           :   272 halaman
ISBN           :   978-602-1614-51-8

The Secret of Room 403 merupakan salah satu karya unggulan Riawani Elyta, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Kepulauan Riau. Novel ini menyabet juara Lomba Menulis Novel Inspiratif (LMNI) 2014 yang diadakan Penerbit Indiva Media Kreasi dan menjadi finalis Islamic Book Award 2018 kategori Fiksi Dewasa Terbaik yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Kendati telah terbit cukup lama, novel ini masih kerap menjadi perbincangan publik. Teranyar, novel ini menjadi pokok bahasan acara bincang buku yang diselenggarakan Kantor Bahasa Kepulauan Riau pada awal Februari 2020.
Apa sesungguhnya keistimewaan novel satu ini?
Secara garis besar, isi novel menceritakan liku-liku kehidupan Aliff, seorang copywriter atau penulis skenario sinetron yang mendapat pesanan dari salah satu kandidat presiden untuk menganggit novel biografis. Novel itu akan digunakan sang kandidat untuk mengkatrol pamor politiknya, menghadapi ajang pemilihan presiden.
Tak disangka, perjalanan Aliff dalam menyusun novel pesanan itu, justru membuatnya terseret pusaran konflik politik, termasuk peristiwa memilukan era 1980-an yang sampai sekarang belum diusut tuntas.
Ulasan ini tidak akan membicarakan kepelikan konflik politik yang ada, sebab sudah dibahas oleh penulis resensi The Secret of Room 403 lainnya. Ada hal lain yang tidak kalah menarik dibicarakan, yakni mengenai upaya pengarang menjadikan tokoh Aliff sebagai corong untuk mengkritik dunia persinetronan Tanah Air.
Kita telah sama-sama mafhum, sinetron-sinetron yang memenuhi layar televisi Indonesia sungguh memprihatinkan sekaligus menjengkelkan. Topik-topiknya tidak pernah beranjak jauh dari soal si miskin namun jelita yang dicintai laki-laki tampan lagi kaya, anak yang hilang, rebutan pacar, dan seterusnya. Para pemerannya pun berpatron serupa: tokoh protagonis yang memiliki hati seluas lapangan golf serta si antagonis berstereotip materialistis, culas, dan kalau marah, matanya melotot-melotot.
Melalui Aliff, pengarang mengkritik perihal kerja penulis skenario sinetron kejar tayang yang melebihi mekanisme mesin pabrik, “... Pasti dari Davesh. Bos besarku di rumah produksi Shangrilla. Pria ekspatriat penggila kerja yang sudah mencoret hampir semua hari libur dalam kalendernya. Celakanya, dia juga ‘mengondisikan’ semua anak buahnya untuk memiliki almanak yang sama.” (h. 14)
“Orang-orang yang berada dalam atmosfer kehidupanku adalah mereka yang kadar gilanya tak jauh berbeda. Para workaholic sejati. Mereka menetaskan puluhan ribu kata perhari dari cangkang otaknya, menempeli belasan post-it di sisi meja dan halaman buku serta memenuhi kalender mejanya dengan lingkaran-lingkaran merah penanda deadline.” (h. 17)
Dengan cara kerja demikian, yang dikejar adalah kuantitas, bukan kualitas. Yang terpikir adalah bagaimana cara merentangpanjangkan cerita sinetron berating tinggi agar tetap bisa menjaring penonton sebanyak-banyaknya? Masa bodoh soal logika cerita!
“Davesh tidak pernah ambil pusing dengan mutu dialog. Satu-satunya yang dia ambil berat adalah berapa puluh lembar skenario yang bisa kuselesaikan dalam sehari.” (h. 19).
“Aku tak punya banyak waktu untuk memikirkan tulisan-tulisan cerdas, apalagi yang mampu membangkitkan efek menggugah, menyentuh, ataupun memotivasi ... Program di otakku telah mengalami pergantian perintah. Perintah untuk menghasilkan tulisan sebanyak mungkin.” (h. 173)
Membaca novel ini menebalkan keyakinan betapa banyak mudarat yang ditimbulkan tayangan sinetron picisan. Rutin menonton tayangan tak bermutu tersebut, potensial menumpulkan logika, menanamkan pola hidup hedonis, mempengaruhi tindak kekerasan verbal dan fisik, juga memandang biasa perbuatan-perbuatan negatif yang disuguhkan layar kaca.
Di sisi lain, novel ini memberi tahu pembaca akan gangguan kesehatan yang kerap dialami para penulis skenario sinetron akibat jam kerja sedemikian. Bahkan tidak sedikit dari copywriter yang menemui ajal, karena kelelahan saat berkutat dengan skenario.


*Thomas Utomo adalah guru di SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga. Selain menggeluti profesi guru, juga menekuni kegiatan tulis-menulis. Karyanya, baik fiksi maupun nonfiksi, dipublikasikan di sejumlah media lokal dan nasional antara lain Annida, Buletin Jejak, Derap Perwira, Fatawa, Halo Nanda, Koran Jakarta, Kreasi, Nikah, Potret, Radar Banyumas, Sang Guru, Satelit Post, Serambi Ummah, Story, dan Suara Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar