Judul : Sang Pangeran dan
Janissary Terakhir
Pengarang : Salim
A. Fillah
Penerbit : Pro-U
Media
Tebal : 632 halaman
Cetakan : Kedua,
Desember 2019
ISBN : 978-623-7490-06-7
Sesuai judulnya, Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
(SPJT) menguraikan silang sengkarut Perang Diponegoro dikaitkan dengan pengaruh
Turki Utsmani dalam peristiwa kolosal
yang membangkrutkan kas Kerajaan Belanda ini.
Kesan yang bisa diperoleh
usai mengkhatamkan SPJT antara lain; pertama, informasi yang berlimpah, misalnya
mengenai perseteruan bangsa Eropa dengan Turki Utsmani yang menyebabkan masa eksplorasi rempah-rempah, struktur
militer pasukan Pangeran Diponegoro yang mengadopsi struktur militer Turki Utsmani, tatacara feodal keraton Mataram
Islam, dan taktik Stelsel Benteng
yang dijalankan Belanda guna mempersempit ruang gerak laskar Diponegoro.
Kedua, suguhan pandangan
hidup kejawaan. Umpamanya, tentang penyebutan kyai bagi sesuatu atau benda-benda tertentu yang berfungsi guna
lebih. Contoh, kuda tunggangan Kyai Gentayu, tongkat Kyai Cokro, tombak Kyai
Rondhan, keris Kangjeng Kyahi Ageng Bondhoyudho, bendera Kangjeng Kyahi Tunggul
Wulung.
Sebagaimana dikatakan Abduh
Zulfidar Akaha, bagi masyarakat Jawa, sebutan kyai tidak hanya dikenakan bagi laki-laki ahli agama. Namun juga
untuk hal-hal yang telah disebutkan tadi.
Ketiga, kentalnya semangat
kebhinekaan. Tokoh-tokoh SPJT terdiri dari beragam latar belakang: bangsawan,
santri, rakyat jelata, warga keturunan Arab dan Tionghoa, serta kaum pendatang
dari Turki dan Belanda. Kecuali Belanda sebagai antagonis, tokoh-tokoh ini saling
berkolaborasi dan bersinergi.
Keempat, gambaran kondisi
riil umat Islam yang terkotak-kotak, baik golongan agamis tradisional dan selainnya,
serta golongan permisif.
Kelima, deskripsi yang
detail. Kita dapat menikmati cara Salim A. Fillah dalam melukiskan Istana
Topkapi, Puri Tegalrejo, juga lanskap alam yang menjadi tempat perlindungan
para gerilyawan.
Keenam, cerita disajikan
seperti puzzle yang terserak. Alurnya
maju-mundur, bolak-balik, melompat ke sana, pindah kemari. Pembaca
disilakan menyusun sendiri urutan cerita dalam benak masing-masing.
Ketujuh,
dihiasi kalimat-kalimat quotable.
Sekadar contoh, “Tempat yang paling berbahaya adalah tempat yang paling aman.
Hal yang paling mudah ditebak, justru yang paling sering diremehkan.” (h. 229,
269)
“Cinta
seorang perempuan seperti kuku-kuku jemari. Ia terus tumbuh dan utuh, meski
berulang kali dipangkas agar rapi.” (h. 348)
“Dikhianati
tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah berkhianat. Ditipu tidaklah
berbahaya. Yang berbahaya adalah menipu. Dibunuh tidaklah berbahaya. Yang
berbahaya adalah membunuh.” (h. 615)
Kedelapan, tokoh yang sangat
banyak. Khusus point ini, entah
disebut kelebihan atau kekurangan. Salim A. Fillah sendiri mengakui kalau tokoh
SPJT sangat banyak (h. 11). Mungkin karena itu pula, Salim memunculkan ciri
khas tertentu dari tiap-tiap tokoh guna membantu pembaca mengidentifikasi.
Misalnya, Katib Pasha yang suka berkata, “Maktuub!”, Banteng Wareng yang
bicaranya ngapak-ngapak, atau
Kertopengalasan yang gemar berujar, “Clekek’ane.”
Kesembilan, pelukisan adegan
tertentu yang cenderung berlebihan. Ini tergambar dalam adegan perzinaan Patih
Danurejo IV (h. 343-344). Rasanya, tidak perlu diilustrasikan detail bagaimana
cara jalan maupun kegenitan si gundik dilanjutkan ‘hubungan’ dengan Patih
Danurejo IV. Hal ini, pasti bisa disiasati. Umpamanya, Patih memanggil si
gundik, kemudian mereka pergi bersama. Penggambaran sepintas lalu, sudah cukup
memberi bayangan kepada pembaca mengenai apa yang sedang dan bakal terjadi?
Kesepuluh, inkonsistensi
penulisan istilah nonbahasa Indonesia. Misalnya, mana yang dipilih untuk
dipakai, inggih atau injih—karena dua-duanya digunakan dalam
SPJT? Dalam bahasa Indonesia, kata ini bermakna iya atau baiklah. Menurut
Sri Utorowati, dalam bahasa Jawa, kata inggih
lebih baku daripada injih.
Lalu, kyai atau kyahi? Tentu,
akan lebih ideal, jika dipilih dan digunakan salah satu sebutan saja sebagai
bentuk konsistensi penulisan.
Kemudian, penulisan d tebal
(secara pengucapan) dalam bahasa Jawa alfabetis, adalah dh. Di banyak bagian SPJT, memang digunakan demikian, seperti kata ndhereaken, dhawuk, dhimas, atau dhapur. Namun, ada kata-kata lain yang terlewat, seperti ora sudi yang seharusnya ora sudhi dan sebagainya.
Selanjutnya, penulisan tho, apa tidak sebaiknya to, tanpa huruf h? Sebab, penambahan
huruf h membuat huruf t menjadi diucapkan tebal.
Namun, pada akhirnya,
kekeliruan yang disebut dalam point
terakhir dapat dianggap remeh, karena ia
tidak mengganggu bahkan tidak merusak tersampaikannya pesan kepada pembaca.
Sebagai penutup, perlu
kiranya dikutip kata mutiara dari Pearl S. Buck, “Jika kamu ingin tahu masa
kini, maka kamu harus melihat masa lalu.”
*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1
Karangbanjar, Purbalingga. Tulisan-tulisannya dipublikasikan sejumlah media cetak
dan daring. Dapat dihubungi via 085 802 460 851 atau surel
utomothomas@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar