Jumat, 12 Juni 2020

Sepuluh Kesan dari Sang Pangeran dan Janissary Terakhir



Judul           :   Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Pengarang   :   Salim A. Fillah
Penerbit       :   Pro-U Media
Tebal           :   632 halaman
Cetakan       :   Kedua, Desember 2019
ISBN           :   978-623-7490-06-7

Sesuai judulnya, Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (SPJT) menguraikan silang sengkarut Perang Diponegoro dikaitkan dengan pengaruh Turki Utsmani dalam peristiwa kolosal yang membangkrutkan kas Kerajaan Belanda ini.
Kesan yang bisa diperoleh usai mengkhatamkan SPJT antara lain; pertama, informasi yang berlimpah, misalnya mengenai perseteruan bangsa Eropa dengan Turki Utsmani yang menyebabkan masa eksplorasi rempah-rempah, struktur militer pasukan Pangeran Diponegoro yang mengadopsi struktur militer Turki Utsmani, tatacara feodal keraton Mataram Islam, dan taktik Stelsel Benteng yang dijalankan Belanda guna mempersempit ruang gerak laskar Diponegoro.
Kedua, suguhan pandangan hidup kejawaan. Umpamanya, tentang penyebutan kyai bagi sesuatu atau benda-benda tertentu yang berfungsi guna lebih. Contoh, kuda tunggangan Kyai Gentayu, tongkat Kyai Cokro, tombak Kyai Rondhan, keris Kangjeng Kyahi Ageng Bondhoyudho, bendera Kangjeng Kyahi Tunggul Wulung.
Sebagaimana dikatakan Abduh Zulfidar Akaha, bagi masyarakat Jawa, sebutan kyai tidak hanya dikenakan bagi laki-laki ahli agama. Namun juga untuk hal-hal yang telah disebutkan tadi.
Ketiga, kentalnya semangat kebhinekaan. Tokoh-tokoh SPJT terdiri dari beragam latar belakang: bangsawan, santri, rakyat jelata, warga keturunan Arab dan Tionghoa, serta kaum pendatang dari Turki dan Belanda. Kecuali Belanda sebagai antagonis, tokoh-tokoh ini saling berkolaborasi dan bersinergi.
Keempat, gambaran kondisi riil umat Islam yang terkotak-kotak, baik golongan agamis tradisional dan selainnya, serta golongan permisif.
Kelima, deskripsi yang detail. Kita dapat menikmati cara Salim A. Fillah dalam melukiskan Istana Topkapi, Puri Tegalrejo, juga lanskap alam yang menjadi tempat perlindungan para gerilyawan.
Keenam, cerita disajikan seperti puzzle yang terserak. Alurnya maju-mundur, bolak-balik, melompat ke sana, pindah kemari. Pembaca disilakan menyusun sendiri urutan cerita dalam benak masing-masing.
Ketujuh, dihiasi kalimat-kalimat quotable. Sekadar contoh, “Tempat yang paling berbahaya adalah tempat yang paling aman. Hal yang paling mudah ditebak, justru yang paling sering diremehkan.” (h. 229, 269)
“Cinta seorang perempuan seperti kuku-kuku jemari. Ia terus tumbuh dan utuh, meski berulang kali dipangkas agar rapi.” (h. 348)
“Dikhianati tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah berkhianat. Ditipu tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah menipu. Dibunuh tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah membunuh.” (h. 615)
Kedelapan, tokoh yang sangat banyak. Khusus point ini, entah disebut kelebihan atau kekurangan. Salim A. Fillah sendiri mengakui kalau tokoh SPJT sangat banyak (h. 11). Mungkin karena itu pula, Salim memunculkan ciri khas tertentu dari tiap-tiap tokoh guna membantu pembaca mengidentifikasi. Misalnya, Katib Pasha yang suka berkata, “Maktuub!”, Banteng Wareng yang bicaranya ngapak-ngapak, atau Kertopengalasan yang gemar berujar, “Clekek’ane.”
Kesembilan, pelukisan adegan tertentu yang cenderung berlebihan. Ini tergambar dalam adegan perzinaan Patih Danurejo IV (h. 343-344). Rasanya, tidak perlu diilustrasikan detail bagaimana cara jalan maupun kegenitan si gundik dilanjutkan ‘hubungan’ dengan Patih Danurejo IV. Hal ini, pasti bisa disiasati. Umpamanya, Patih memanggil si gundik, kemudian mereka pergi bersama. Penggambaran sepintas lalu, sudah cukup memberi bayangan kepada pembaca mengenai apa yang sedang dan bakal terjadi?
Kesepuluh, inkonsistensi penulisan istilah nonbahasa Indonesia. Misalnya, mana yang dipilih untuk dipakai, inggih atau injih—karena dua-duanya digunakan dalam SPJT? Dalam bahasa Indonesia, kata ini bermakna iya atau baiklah. Menurut Sri Utorowati, dalam bahasa Jawa, kata inggih lebih baku daripada injih.
Lalu, kyai atau kyahi? Tentu, akan lebih ideal, jika dipilih dan digunakan salah satu sebutan saja sebagai bentuk konsistensi penulisan.
Kemudian, penulisan d tebal (secara pengucapan) dalam bahasa Jawa alfabetis, adalah dh. Di banyak bagian SPJT, memang digunakan demikian, seperti kata ndhereaken, dhawuk, dhimas, atau dhapur. Namun, ada kata-kata lain yang terlewat, seperti ora sudi yang seharusnya ora sudhi dan sebagainya.
Selanjutnya, penulisan tho, apa tidak sebaiknya to, tanpa huruf h? Sebab, penambahan huruf h membuat huruf t menjadi diucapkan tebal.
Namun, pada akhirnya, kekeliruan yang disebut dalam point terakhir dapat dianggap remeh, karena ia tidak mengganggu bahkan tidak merusak tersampaikannya pesan kepada pembaca.
Sebagai penutup, perlu kiranya dikutip kata mutiara dari Pearl S. Buck, “Jika kamu ingin tahu masa kini, maka kamu harus melihat masa lalu.”

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Tulisan-tulisannya dipublikasikan sejumlah media cetak dan daring. Dapat dihubungi via 085 802 460 851 atau surel utomothomas@gmail.com. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar