Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 7 Juni 2020
Apabila mengunjungi toko
buku, kita dapat dengan mudah menemukan karya sastra—kebanyakan berjenis novel—yang
disebut-sebut sebagai fiksi islami. Tanpa membuka isinya terlebih dulu, ciri
yang kentara dari karya jenis ini biasanya ada pelabelan novel islami atau fiksi
islami di bagian sampul. Dari segi judul pun, umumnya memiliki ciri khusus,
yakni memakai terminologi agama, umpamanya: Dalam
Mihrab Cinta dan Tahajud Cinta. Soal
ilustrasi sampul, acapkali menampilkan sosok perempuan berjilbab atau bercadar
dengan latar belakang bangunan ikonis Islam, umpamanya masjid. Guna meyakinkan,
pengarang menggunakan nama pena yang kearab-araban, seperti Habiburrahman el
Shirazy, Geidurrahman el Mishry, atau Taufiqurrahman el Azizy.
Lebih lanjut, jika kita menelaah
isinya, karya-karya semacam ini bisa sarat akan khotbah agama yang ditampilkan
secara gamblang. Tokoh-tokohnya memiliki perbedaan karakter hitam-putih yang
mencolok jelas. Dari segi penyajian, seringkali fiksi islami merupakan karya
realis dan memiliki kecenderungan pemaparan bergaya konvensional, kurang
menunjukkan kebaruan. Kendati demikian, fiksi islami—sekali lagi, yang
kebanyakan berjenis novel—menjadi salah satu arus utama sastra Indonesia,
terutama sejak era Reformasi. Angka penjualannya mencengangkan dan banyak
dialihwahanakan—dalam bentuk sinetron maupun film—dengan penonton membludak.
Pertanyaan yang kemudian dapat
diajukan adalah benarkah fiksi islami yang beredar zaman ini betul-betul
merepresentasikan ajaran Islam dan memiliki manfaat luas bagi kemanusiaan
sesuai esensi Islam, yakni rahmatan lil
‘alamin atau rahmat bagi semesta?
Menjawab pertanyaan ini,
kita perlu mencermati latar belakang para pengarang fiksi islami. Maka akan
kita temukan, para pengarang yang karya-karya fiksi islaminya mendominasi
khazanah sastra Indonesia selama kurang-lebih dua dasawarsa ini merupakan anggota
Forum Lingkar Pena yang memiliki afiliasi dengan pengajian Tarbiyah. Dengan
demikian, pandangan keagamaan yang mewarnai karya-karya mereka merupakan
pandangan keagamaan sesuai pemahaman kelompok atau komunitas tersebut. Sangat
mungkin pandangan keagamaan kelompok atau komunitas ini berbeda dengan kelompok
atau komunitas Islam lain. Namun yang pasti, dalam tubuh Islam, kebenaran
pandangan maupun praktik keagamaan bukan menjadi milik kelompok atau komunitas
tertentu. Kebenaran yang hakiki—dalam internal Islam—adalah yang sesuai kitab
suci dan petunjuk nabi.
Dilihat dari tema maupun esensinya,
karya-karya islami—secara umum—merupakan kisah cinta berbalut agama dengan
latar belakang kehidupan luar negeri atau lingkungan akademis. Kisah cinta yang
disuguhkan pengarang penuh romantisme dan sentimental. Sebut sebagai contoh,
novel Ayat-Ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, dan Ketika Cinta Bertasbih karya
Habiburrahman el Shirazy serta Assalamualaikum,
Beijing, Jilbab Traveler: Love Sparks
in Korea, dan Surga yang Dirindukan karya
Asma Nadia.
Formula cerita tersebut,
sebetulnya, tidak jauh berbeda dengan novel-novel populer karya Marga T., Mira
W., atau Ilana Tan. Kesemuanya memaparkan kehidupan masyarakat urban yang
hedonis: bergaya hidup modern, karier cemerlang, harta berlimpah, dan
seterusnya. Bedanya, novel-novel karya penulis populer ini tidak dibumbui
agama.
Setali tiga uang dengan
novel-novel populer, karena cenderung berkutat dengan persoalan cinta beserta tetek bengek-nya, banyak fiksi islami yang
kurang dalam menggali dan mengangkat isu-isu krusial kemanusiaan seperti
politik dan ekologi—misalnya. Kalau pun disinggung, sekadar sambil lalu, bukan
merupakan tulang punggung cerita. Akibatnya, kebanyakan fiksi islami kurang berkontribusi
dalam hal pengasahan daya kritis pembaca serta kurang terlibat dalam penggarapan
persoalan kemanusiaan yang lebih esensial. Ini tentu bertentangan dengan konsep
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Dengan mempertimbangkan
karya-karya sebelumnya yang telah laris diminati, maka kecenderungan karya-karya
yang dihasilkan kemudian, masih dan tampaknya akan terus berkiblat kepada kepentingan
pasar. Disadari atau tidak, fiksi islami justru bisa menjadi bagian dari siklus
kapitalis, apabila cuma berorientasi meraup keuntungan dan popularitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar