Rabu, 16 Desember 2020

Isu Perkawinan dalam Semesta Fiksi Nh. Dini

 


 

Esai Thomas Utomo dimuat di Radar Banyumas Minggu, 29 November 2020

 Dalam khazanah sastra Indonesia, barangkali cuma Nh. Dini, pengarang yang terus-menerus cerewet mempertanyakan isu perkawinan, bahkan sedari mula berkarya.

Kita lihat dalam Pendurhaka, cerpen pertama Dini yang dimuat di majalah Kisah medio tahun 1955 dan mendapatkan sorotan dari HB Jassin. Dalam cerpen yang dibuat Dini ketika masih SMA dan jelas belum berumah tangga, dia mempertanyakan, kenapa perempuan harus kawin? Kenapa perkawinan justru seringkali memperalat perempuan, menjadikan potensi dirinya lumat digilas kesibukan domestik rumah tangga, padahal sangat mungkin potensi yang dimiliki bermanfaat luas bagi hajat orang banyak? Dini juga mempertanyakan, kenapa bersuami dan menjadi pengasuh anak menjadi tolok ukur kesempurnaan perempuan?

Kita cermati, dalam karya-karya Dini, tokoh-tokohnya memiliki kehidupan perkawinan yang kering, tidak jarang berubah menjadi letupan-letupan panas. Semua perkawinan merupakan tragedi. Sri, tokoh Pada Sebuah Kapal tidak menemukan kebahagiaan perkawinan campuran dengan Charles, diplomat Prancis, sebab suaminya kasar dan pemberang, sehingga kemudian dia berselingkuh dengan Michel, kapten kapal, yang juga tidak bahagia hidup dengan Nicole, istrinya. Rina, perempuan Jawa, tokoh La Barka, tidak menemukan sedikitnya rasa kekeluargaan yang akrab dalam diri Bonin, suaminya, arsitek Prancis, yang tidak menyukai anak-anak buah perkawinan mereka. Seperti Sri, selanjutnya Rina mencari kebahagiaan lewat perselingkuhan dengan seorang wartawan perang.

Mungkin dapat dimengerti, tragedi perkawinan Sri dan Rina terjadi karena perkawinan campur yang menyebabkan benturan budaya. Perkawinan mereka juga tidak berangkat dari landasan cinta. Namun, jika kita mencermati Jalan Bandungan, tokoh Mur kawin dengan Handoko, keduanya sama-sama bersuku Jawa, sama-sama mencinta, dan memiliki sifat-sifat yang saling bersesuaian, tetap saja perkawinan mereka goyah. Berujung perpisahan tanpa perceraian.

Jika kita lihat lebih lanjut, dalam karya-karya Dini, penyebab tragedi perkawinan adalah pihak laki-laki atau suami. Seandainya Charles tidak kasar dan suka seenak perutnya menghardik Sri di muka umum, begitu juga Bonin, suami Rina, dan seandainya Handoko lebih memiliki keteguhan hati, barangkali perkawinan mereka dapat diselamatkan. Para istri tidak ‘perlu’ berselingkuh untuk mendapatkan kebahagiaan.

Dini mengakui, kepincangan perkawinan yang dia lukiskan dalam karya-karyanya berangkat dari pengamatan dan pengalamannya sendiri. Akan tetapi bukan berarti Dini sudah tidak mempercayai institusi perkawinan. Dia berpendapat, perkawinan adalah sebuah institusi yang sangat rawan. Agar bisa bertahan, pribadi-pribadi yang berada di dalamnya harus mau berkompromi dan harus dapat menjaga agar jangan sampai ada kebosanan.

“Dua orang, dua hati, dua sifat yang diharapkan berjalan bersama melampaui liku-liku kehidupan. Yang penting adalah terciptanya komunikasi secara terus-menerus. Dalam rumah tangga harus ada keseimbangan. Bukan soal siapa yang kalah atau siapa yang menang.” (Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang: 141-142).

Guna merintangi tragedi yang mungkin timbul, Dini menawarkan sekaligus menanyakan, “Zaman terus bergerak dan tata nilai kehidupan berubah. Apakah tidak bisa lembaga perkawinan menuruti aturan kontrak, misalnya untuk tiga tahun. Kalau suami-istri cocok, bisa diperpanjang. Sebaliknya, jika ternyata ada ketimpangan, kontrak berhenti menurut perjanjian.” (Dari Parangakik ke Kampuchea: 359-360).

Jika dilihat dari sudut pandang pendidikan, bisa jadi karya-karya Dini tidak berarti, cenderung menanamkan pengaruh buruk—perkawinan yang tidak bahagia, dapat disiasati dengan berselingkuh, misalnya—namun dilihat dari perspektif yang lebih luas, pandangan-pandangan Dini dapat dianggap sebagai sumbangan pendapat bagi perbaikan kualitas relasi laki-laki-perempuan dalam bingkai perkawinan.

 

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Saat ini, sedang menempuh pendidikan profesi di Universitas PGRI Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar