Resensi Thomas Utomo di http://www.takanta.id/2020/10/ulas-buku-bahagia-mencintai-diri-sendiri.html
Judul : Love Your Life, Love Yourself
Penulis : Tri Nurhayati, dkk.
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, Januari 2020
Tebal : 208 halaman
ISBN : 978-602-495-283-9
Apakah bahagia itu? Jalan hidup yang lempang, mulus tanpa kendala? Hari-hari berisi tawa, penuh sukacita? Segalanya mudah? Semuanya terpenuhi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram, bebas dari segala yang menyusahkan. Menurut kamus yang sama, bahagia juga dapat diartikan sebagai beruntung (KBBI edisi ketiga, halaman 87).
Namun, kita telah sama-sama paham, kesejahteraan lahir-batin sebagaimana dijabarkan kamus, tidak dapat datang begitu saja. Butuh perjuangan untuk menghadirkannya.
Buku Love Your Life, Love Yourself menawarkan alternatif cara mewujudkan kebahagiaan. Menurut buku yang ditulis secara keroyokan oleh delapan orang ini, cara pertama untuk meraih kebahagiaan adalah dengan mencintai diri sendiri. Untuk mencintai diri sendiri, kita harus mengenali diri terlebih dahulu, memahami potensi maupun renjana yang dimiliki. Pada tahap selanjutnya, potensi maupun renjana yang dimiliki, perlu ditekuni dan terus diasah. Ibarat berlian, makin diasah, makin berkilau dia (halaman 19-20, 23, 142-145).
Kebahagiaan menekuni potensi dan renjana, dapat semakin genap—bahkan berlipat ganda—manakala kita memaksimalkan keduanya guna kemaslahatan khalayak, sebagaimana dikatakan Baginda Nabi dalam hadits riwayat Ahmad, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Rumusan sederhananya, alangkah bahagianya jika bisa membantu orang lain sesuai bidang yang kita kuasai dan senangi. Mengutip Mahatma Gandhi, “Kebahagiaan tergantung kepada apa yang kita berikan, bukan kepada apa yang kita peroleh.” (halaman 5, 13).
Guna memperkuat sabda Nabi dan pandangan Mahatma Gandhi, dalam buku ini, dicantumkan beberapa hasil penelitian, di antaranya yang dilakukan di Tiongkok: sekelompok balita diberi kesempatan untuk berbagi stiker. Ada dua cara mereka berbagi, yakni diminta atau diberikan secara sukarela. Hasil penelitian menunjukkan, balita yang membagikan stiker secara sukarela, menampilkan ekspresi yang lebih puas dan bahagia ketimbang balita yang memberikan striker dengan cara diminta terlebih dahulu (halaman 14-15).
Tapi, seperti dalam lain-lain hal, untuk memahami potensi dan renjana diri, kemudian menekuni, mengasah, dan meningkatkannya, bukan perkara mudah. Jalan yang mesti ditempuh tidak akan lempang. Selalu ada aral melintang. Untuk itulah, kita perlu terus-menerus menginternalisasi watak pejuang: memperkuat niat, mempertebal azam, seperti yang difirmankan Sang Maha dalam Surat Al Isra ayat 7, “Jika kalian berbuat baik, maka kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri,” menjadikan pengalaman—sekalipun pahit—sebagai pelajaran dengan pertimbangan, “Engkau tidak bisa disebut gagal, selama engkau terus mencoba. Engkau hanya gagal jika engkau berhenti,” mawas diri, berkumpul dengan orang-orang sekancah, melakukan percepatan dengan memanfaatkan waktu secara efektif, tak ketinggalan sekaligus tak kalah penting: melibatkan Tuhan dalam segala urusan (halaman 17, 45, 57, 74, 103-104, 130-132).
Kelebihan buku ini adalah para menulis menyampaikan gagasannya berdasarkan pengalaman pribadi, sehingga paparan yang dikemukakan tidak mengawang-ngawang alias terasa membumi. Sedangkan kekurangannya, ada salah satu bab—bertajuk: Menjadi Orang—yang paparannya kurang fokus, malah ngayawara atau melantur ke mana-mana (halaman 151-167).
*Thomas Utomo adalah guru di SDN 1 Karangbanjar, Purbalingga (mulai 2019). Sebelumnya bertugas di SD UMP, Banyumas (2012-2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar