Dimuat di majalah Derap Guru edisi Mei 2020
Judul : Juragan Haji
Pengarang : Helvy
Tiana Rosa
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Cetakan : Kedua, Februari 2020
Tebal : 176 halaman
ISBN : 978-602-06-3703-7
Peresensi : Thomas
Utomo
Juragan
Haji adalah antologi cerpen istimewa. Betapa tidak? Sekurang-kurangnya,
ada tiga penghargaan yang pernah disematkan untuk karya ini: Pena Award 2002, Sepuluh Prosa Terbaik
Khatulistiwa Literary Award 2008, dan
Karya Sastra Unggulan dari Badan Standar Nasional Pendidikan 2019.
Apa sesungguhnya kualitas
karya Helvy Tiana Rosa yang satu ini?
Setidaknya, ada lima kualitas
yang dapat didulang pembaca. Pertama, cerpen-cerpen Helvy berangkat dari
fakta-fakta yang kadang tak terberitakan media arus utama. Fakta-fakta yang
dimaksud adalah tentang kekejaman yang menimpa kaum marginal di berbagai daerah
dalam negeri maupun di belahan dunia, seperti di Aceh pada masa pemberlakuan DOM
(cerpen Cut Vi, Pulang, dan Jaring-Jaring
Merah), kerusuhan Ambon (Sebab Aku
Cinta, Sebab Aku Angin), konflik Timor Timur (Ze Akan Mati Ditembak!), pengeboman sejumlah daerah di Indonesia (Lelaki Kabut dan Boneka dan Lelaki Semesta), masalah Bosnia Herzegovina
(Lorong Kematian), perang saudara di
Rwanda (Kivu Bukavu), dan pendudukan Palestina (Hingga Batu Bicara).
Melalui cerpen-cerpen
tersebut, Helvy menciptakan karya yang dinamakan Sastra Perlawanan. Tentu yang dilawan adalah ketidakadilan dan
diskriminasi. Seperti yang dikatakannya sendiri, untuk menganggit karya-karyanya,
Helvy selalu melakukan riset pustaka dan
wawancara langsung agar dapat memberikan ilustrasi yang meyakinkan dan nuansa
lokal yang akurat kepada pembaca (lihat pengantar Helvy untuk buku Manusia-Manusia Langit, 2000: v-vi).
Kedua, di banyak bagian, Helvy
menggunakan bahasa-bahasa puitis guna mempertajam konflik psikologis yang
dialami tokoh-tokoh cerpennya. Misalnya dalam Jaring-Jaring Merah (peraih penghargaan Cerpen Terbaik Majalah Horison 1990-2000). Sebagai korban
perang saudara, tokoh Aku berkata,
“Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari meranggas lara.”
(halaman 162). Bahasa-bahasa puitis juga dapat dirasakan dalam Pertemuan di Taman Hening, “Ada dingin
yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap.” (halaman 12), Kivu Bukavu, “’Kivu, kau yang terindah,’
bisik Hemingway. Aku ingin menangis, namun danau tak dapat menangis.” (halaman
161), dan sebagainya.
Ketiga, dengan menggunakan bahasa
menggebu-gebu, bahkan berkesan kepalan tangan, Helvy menciptakan tokoh-tokoh perempuan
yang memiliki vitalitas luar biasa. Semangat juangnya menggelora, meski nyawanya
sendiri terkapar di tepi jurang kehidupan, seperti tokoh Cut Vi (Cut Vi, halaman 1-11), Gahara (Idis,
halaman 27-40), Hanan (Hingga Batu Bicara,
halaman 73-81), dan Nona (Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin,
halaman 104-113). Melalui tokoh-tokohnya, Helvy seakan menantang gagasan
kelemahan fisik perempuan.
Keempat, Helvy piawai
melukiskan suasana mengerikan, macam bau bangkai, ceceran darah, dan tengkorak
serta tulang-belulang berserakan. Ini terbaca, misalnya, dalam cerpen Lelaki Kabut dan Boneka, Darahitam, Lorong Kematian, dan
Jaring-Jaring Merah.
Kelima, melalui cerpen-cerpen
anggitannya, terbaca benar betapa Helvy memiliki kepekaan dan kepedulian besar terhadap
persoalan kemanusian. Dan dengan karyanya, dia berusaha mempengaruhi pembaca
untuk menginternalisasi kepekaan dan kepedulian serupa.
Sedikit kritik untuk
buku ini adalah inkonsistensi penggunaan istilah serapan. Kadang disebut salat (tengok misalnya halaman 70), di
lain tempat digunakan sholat (halaman
169). Mengacu pedoman transliterasi, mestinya, istilah yang lebih tepat adalah salat, bukan sholat.
*Thomas Utomo adalah guru SDN 1 Karangbanjar,
Purbalingga. Dia menulis fiksi dan nonfiksi di sejumlah media cetak.