Suatu kemenangan tersendiri buatku ketika
berhasil membuat semua anak laki-laki ini mau berpartisipasi dalam kegiatan
pentas seni yang diadakan sekolah, Sabtu kemarin.
Woro-woro soal kegiatan sudah dilakukan jauh-jauh hari, tepatnya
sejak bulan Oktober tahun lalu. Bahkan sering diulang-ulang disampaikan waktu
upacara agar warga sekolah tambah giat mempersiapkan diri.
Berbeda dengan anak-anak perempuan kelas kami yang sangat
antusias, tidak satu pun dari bocah-bocah lanangku yang berminat ikut.
Alasannya seragam: nggak pede.
Ah, bicara soal pede, aku aja sampai sekarang masih terus
bertarung melawan diri sendiri untuk menghalau perasaan ini.
Tapi, apa iya kita harus menyerah di bawah sikap mental negatif?
Kalau sesekali, mungkin, nggak papa. Kalau sering-sering, tentu aja jangan.
Maka, aku berusaha merayu, mempengaruhi, mengiming-imingi, dan
mengomeli mereka (yang disebut terakhir, adalah jurus pamungkasku, hahaha).
Sampai awal tahun ini, hasilnya: nihil. Nggak ngaruh!
Sehari sebelum gladi resik pentas seni, dengan agak bosan, aku
berkata, “Pak Guru kasihan sama anak-anak perempuan yang udah rajin latihan
dari jauh-jauh hari. Penampilan mereka nggak akan dinilai sama dewan juri,
karena ada teman-teman sekelas yang nggak mau ikutan. Padahal, yang nggak ikut,
jumlahnya lebih banyak. Yah ... kelas kita bakal didiskualifikasi.”
“Emang kalau didiskualifikasi, kenapa?” tanya seorang anak
laki-laki.
“Ya nggak dapat nilai-lah.”
“Cuma itu?”
“Mungkin nggak cuma didiskualifikasi. Bisa jadi, kelas kita
dapat hukuman. Apalagi, kita ‘kan kelas paling tinggi di sekolah. Harusnya jadi
contoh buat adik-adik kelas. Kalau kakak kelasnya aja letoy gini, gimana
adik-adik kelasnya?”
Qadarullah, kata-kata ‘remeh’-ku bisa membuat mereka terbujuk.
Mereka mau ikut pentas seni. Syaratnya: anak laki-laki harus tampil semua.
Nggak boleh ada yang nggak ikut. Syarat berikutnya: mereka nggak mau nari,
nggak mau nyanyi. Syarat tambahan: kalau tampil, jangan lama-lama. Syarat
lanjutan: mereka minta tampil paling akhir, biar yang nonton sedikit,
sukur-sukur, malah penonton udah bubar. 😁
Akhirnya, kami sepakat menampilkan drama pakai bahasa
ngapak-ngapak. Judulnya: Bocah-Bocah Ora Umum. Naskahnya kami bikin rame-rame.
Kata-kata populer di kelas, seperti, “Mantaps, Luuur,” “Esuk-esuk ora ngopi,
lambunge ora hepi,” sengaja dimasukkan, biar lebih kontekstual dan bisa lebih
menghayati, karena sering diucapkan sehari-hari.
Yang nyebelin 😂, setelah naskah
selesai ditulis di papan, mereka nggak mau nyalin di buku.
“Diketik aja, Pak. Terus di-print, difotokopi. Jadinya,
gampang,” kata mereka.
Ya udahlah, aku penuhi permintaan mereka. Nanti, aku tinggal
minta kompensasi yang setimpal. Hahaha. Eh, maksud kompensasinya adalah aku
minta mereka lebih manut dan nggak sering-sering mem-bully gurunya dengan
sebutan: bucin, lebay. 😅
Dengan latihan kilat, jadilah drama kami. Terus, karena judulnya
Bocah-Bocah Ora Umum, dibuatlah kostum semacam ini. 😆
*Semua dialog, diterjemahkan dari bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar