Judul : Be
a Brilliant Writer
Penulis : Afifah
Afra
Penerbit : Gizone
Books
Cetakan : Pertama,
Oktober 2011
Tebal : 272
halaman
ISBN : 978-602-8277-41-9
Sekarang ini
bekerja menjadi seorang penulis penuh waktu tidak kalah bergengsinya dari bekerja
sebagai PNS atau pegawai kantoran lainnya. Selain karena sekarang ini semakin
banyak media yang bermunculan—yang tentu saja memerlukan kontribusi tulisan
dari luar lingkaran keredaksian (ini artinya kiriman naskah dari penulis sangat
dibutuhkan), juga karena honorarium dari media terbilang cukup lumayan.
Bayangkan saja, secara umum media nasional mengganjar satu tulisan dengan honor
senilai Rp 300.000 (kalau media semacam Kompas
bahkan dapat memberikan honor senilai Rp 500.000 sampai Rp 2.000.000
pertulisan), maka kalau dalam sebulan ada lima saja tulisan yang dimuat,
penulis bisa mendapatkan kiriman honor sejumlah Rp 1.500.000. (Teman saya,
bahkan bisa memperoleh honor sampai Rp 2.000.000 dari tulisan-tulisan yang dia
hasilkan). Honor sejumlah itu hampir sama dengan gaji seorang pegawai
berpangkat menengah. Kalau penulis lebih giat lagi menulis dan memuatkan karya
di media, maka honor yang ia terima pun semakin banyak. Dan bila
tulisan-tulisan yang dihasilkan berbobot serta mengandung inspirasi, penulis
dapat juga diundang untuk mengisi seminar sesuai tema buku yang ia garap. Ini
tentu memberi tambahan bagi penulis berupa dana upah mengisi seminar. Itu belum termasuk bonus dikenal oleh khalayak pembaca.
Tentu saja kita
tidak dapat menghindari munculnya pendapat sumbing dari orang-orang yang
menganggap bekerja sebagai penulis tidaklah keren, karena tidak kelihatan
berangkat ke kantor dengan baju rapi berbau wangi. Bekerja sebagai penulis
‘hanya’ mendekam saja di dalam rumah,
duduk menghadapi komputer atau laptop
sambil menghirup kopi terus-menerus (padahal tidak semua penulis berperilaku
demikian). Ini tidak sehat dan dapat membuat keracunan kafein. Belum lagi
karena penulis belum diakui sebagai jenis pekerjaan di Indonesia. Buktinya
dokumen resmi seperti KTP belum mengizinkan penulis dicantumkan sebagai
pekerjaan. Demikian pula dokumen maupun formulir isian lainnya.
Meskipun begitu,
harus disadari bahwa bekerja menulis adalah bekerja untuk kemanusiaan. Seorang
penulis yang menghasilkan tulisan-tulisan berbobot dengan substansi
mencerahkan, sama artinya sedang mendidik pembaca—masyarakat—untuk mencapai pemahaman
atau idealisme tertentu. Kalau menurut bahasa W.S. Rendra, penulis adalah begawan
yang hidup di awang-awang, tidak menjejak tanah, juga tidak berpijak di
angkasa. Penulis memiliki tugas memasok gagasan pencerahan bagi kaum yang hidup
di tanah—rakyat—akan sebuah pola hidup ideal, juga mengingatkan kaum yang hidup
di langit—penguasa—untuk senantiasa eling
akan tanggung jawab yang diletakkan di pundaknya. Dengan bekerja sebagai
penulis, otak tidak akan cepat linglung
karena senantiasa diasah dan diperas guna menghasilkan tulisan yang bagus dan
layak baca. Lebih dari itu, tulisan-tulisan yang dihasilkan—apabila mengandung
nilai kebajikan—maka dapat mendatangkan pahala dan kemanfaatan bagi lingkungan.
Untuk menjadi
penulis profesional, tentu tidak dapat dilakukan dengan modal nekat. Wani-wanian dengan semangat membara,
namun kemudian semangat itu surut, bahkan melempem
sama sekali manakala kenyataan berbicara: tak satu pun tulisan yang dikirim,
dimuat media. Ironis! Guna menghindari hal pahit tersebut, orang yang
berkehendak menjadi penulis profesional perlu membaca buku setebal 272 halaman
ini. Isinya memaparkan serba-serbi dunia kepenulisan yang sudah digeluti sang
penyusun buku ini selama kisaran waktu 25 tahun.
Secara sinoptik
buku ini terbelah menjadi tiga, yakni Bagian
I, Bagian II, dan Bagian III. Bagian I memuat alasan kenapa orang perlu dan harus menulis. Alasan
itu antara lain, (1) supaya pintar, karena menulis merupakan cara paling tepat untuk
mengikat ilmu agar tidak ‘berlarian’ ke sana kemari. Ini sesuai dengan
perkataan Ali bin Abi Talib, “Ikatlah ilmu dengan cara menuliskannya.” Selain
itu, ada penjelasan bahwa ilmu itu disimpan di memori, sedangkan memori
seringkali tersimpan rapi di otak, sehingga sulit untuk dikuak saat kita
membutuhkannya. Oleh karena itu, ilmu harus ditranslasikan dalam bentuk buku,
kitab, yang mudah dibuka saat kita membutuhkan (halaman 43).
(2) Menulis dapat
dianggap sebagai media dakwah. Tentu saja jika substansinya mengajak kepada
kebaikan dan mencegah sesuatu yang baik (halaman 45-47). (3) Untuk meninggalkan
jejak sejarah. Hal ini bisa didasarkan pada prasasti kerajaan-kerajaan tempo doeloe yang tetap disimpan dan
dipelajari hingga zaman sekarang. Ini berarti usia karya lebih panjang daripada
usia pembuatnya. Demikian pula dapat terjadi pada karya tulis. Selain itu,
jejak karya tulis dapat terus memberikan manfaat tidak hanya bagi pembaca tapi
juga pada penulisnya meski penulisnya sudah meninggal dunia. Ini didasarkan
pada sabda Nabi Muhammad mengenai tiga amal yang terus mengalirkan pahala
(halaman 48-49).
(4) Menulis juga
dapat digunakan sebagai cara untuk diri berpikir lebih sistematis. Selain untuk
(5) memenej emosi, (6) mengekspresikan empati dan pembelaan, (7) cara ampuh
untuk menghilangkan kerut wajah, (8) lahan menjaring persahabatan, dan (9)
untuk memperoleh kekayaan batin serta finansial (halaman 49-61).
Bagian II merupakan
intisari dari buku ini, yakni mengenai cara-cara dan latihan-latihan kreatif
yang perlu ditempuh untuk menjadi penulis profesional. Misalnya melatih
penguasaan kosakata dengan membuat sebuah paragraf yang terdiri dari kata-kata
penyusun berhuruf awal urutan alphabetic.
Contoh: Ada Bangku Cantik Di Emper Fakultas. Gagah, Halus! Ih, Jadi Kepengin
Langsung Meloncat Nangkring. Oh, Permukaannya Quarsa. Rabbi, Sebuah Tata Ukiran
Versi Wirawan, Xilograf Yang Zuhud (halaman 75).
Atau membuat satu
atau lebih kalimat dengan kata-kata penyusun bersuku kata 1 hingga 8. Contoh:
oh/ ra-sul/ mu-li-a/ pri-ba-di-mu/ meng-ge-lo-ra-kan/ ke-le-mah-lem-but-an/
mem-po-rak-po-ran-da-kan/ su-per-e-go-is-me-an-ku (halaman 76).
Dalam bagian ini, Afifah Afra juga mengemukakan
tips menghasilkan tulisan berbagai genre
dan trik untuk memuatkannya di media massa (bagian ini disertai alamat-alamat
media yang menerima kiriman tulisan). Genre
tulisan yang dimaksud adalah cerita pendek, novel, artikel, esai, feature, resensi, laporan jurnalistik,
dan puisi (halaman 128-221). Afifah Afra juga memaparkan soal sistem perjanjian
dengan penerbit seumpama kita hendak mempublikasikan karya dalam bentuk buku (halaman
229-231). Bagian ini juga disertai trik menembus penerbit dan alamat-alamat
penerbit yang menerima kiriman naskah buku (halaman 231-233).
Bagian III
atau bagian pamungkas, mengemukakan cara menerbitkan dan memasarkan buku lewat
penerbitan dan jasa pemasaran yang didirikan sendiri. Inilah yang dinamakan
Afifah Afra sebagai writer-preneur (halaman
243-261).
Secara umum, buku
ini tidak hanya memandu, tapi juga mencerahkan dan menambah gagasan bagi orang
yang hendak memulai karir sebagai penulis profesional—atau bahkan orang yang
sudah lama berkecimpung di dunia creative
writing. Nilai tambahnya adalah Afifah Afra mengemukakan isi buku ini
berdasarkan pengalamannya sendiri selama menggeluti dunia kepenulisan, sehingga
apa yang dipaparkan di dalam buku ini bukan merupakan cuap-cuap kosong hanya berlandaskan teori saja.
Bila dibandingkan
dengan How To Be a Smart Writer (edisi
lama buku ini sebelum direvisi), buku ini kurang ilustrasi berupa buku-buku
atau potret cerita pendek yang pernah dibuat Afifah Afra (seperti cerita pendek
Pelangi Ibu yang dimuat di majalah Annida, yang di edisi lama buku ini
turut dicantumkan di halaman 20 atau kumcer Genderuwo
Terpasung yang dicantumkan di halaman 24) maupun foto sastrawan senior beserta pendapatnya sebagai tambahan
gambar yang menarik mata (seperti foto Joni Ariadinata beserta surat-suratnya
[halaman 198] dan foto para sastrawan dunia beserta bukunya Josip Novakovich
[halaman 76]). Memang secara materi, isi buku ini banyak sekali tambahan
informasi yang berguna, namun penyunatan ilustrasi yang dulu turut dilampirkan
cukup mengecewakan, karena secara perwajahan isi, buku ini jadi agak kurang
dapat dinikmati
Ledug,
16 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar