Sabtu, 25 Januari 2020

Kelindan Konspirasi di Tanah Flores



Judul        :  Da Conspiraḉẫo; Sebuah Konspirasi
Pengarang:  Afifah Afra
Penerbit    :  Afra Novela
Cetakan    :  Pertama, November 2012
Tebal       :  632 halaman
ISBN        :  978-602-8277-66-2

Sinopsis
Da Conspiraḉẫo merupakan novel ketiga dari caturlogi De Winst. Isinya mengemukakan fragmen kehidupan Rangga Puruhita, cucu Pakubuwono X, saat menjalani masa pembuangan di Flores, beserta pergumulannya dengan tokoh-tokoh lain. Pembuangan itu sendiri terjadi karena Rangga dianggap terlibat dalam gerakan melawan pemerintah Hindia-Belanda dengan mendirikan pabrik batik dan bersekongkol dengan pegiat pro-kemerdekaan di Surakarta (baca: De Winst).
Sebagai orang buangan, tawanan pemerintah Hindia-Belanda, Rangga diasingkan di sebuah rumah reot beratap sirap. Dia dikawal Herman Zondag, bintara KNIL berdarah campuran: Jawa-Belanda. Tentara blasteran itu menjalankan tugas mengawasi gerak-gerik Rangga lebih dari ketat, sehingga Rangga merasa tidak leluasa, karena semua yang dilakukan Rangga serba salah di mata Zondag. Termasuk perkenalan Rangga dengan Maria van Persie, gadis asli Flores; calon biarawati dan Tan Sun Nio, gadis Tionghoa; pedagang candu.
Meski tampak garang dan tidak kenal kompromi, Herman Zondag sesungguhnya adalah tentara berpangkat rendah yang sangat berdedikasi. Dia demikian memuja dan berbakti pada Sri Ratu Wilhemina, ratu Belanda (halaman 64, 113, 590, dsb.). Dia menolak suap dan tidak menenggak alkohol saat bertugas. Di samping itu, dia menguntit Rangga ke mana pun ningrat Jawa itu pergi, seolah-olah anjing pengintai. Tapi Zondag-lah yang menolong Rangga dari jebakan Tan Sun Nio yang sengaja mengumpankan kecantikannya untuk menjerat lelaki (halaman 256-257).
Tan Sun Nio sendiri tidak hanya seorang gadis Tionghoa yang molek, tapi juga rakus dan berkepala batu. Dia mewarisi usaha dagang candu dari Tan Seng Hun, kakaknya yang mati dibunuh bajak laut (halaman 104-105). Memang pada waktu itu, pemerintah Hindia-Belanda tidak melarang perdagangan candu, opium, dan sejenisnya karena pemasukan utama kas negara justru berasal dari penjualan barang-barang itu (halaman 145, 280, 331). Maskapai dagang Tan Sun Nio—yang diberi nama Pek Liong—berjalan sangat lancar, terutama karena dibantu Bevy de Aguia Leste, kawanan bajak laut paling bengis di kawasan Hindia Timur.
Perkongsiannya dengan kawanan bajak laut itu kemudian justru menguakkan kenyataan bahwa merekalah yang membunuh Tan Seng Hun, kakaknya (halaman 332). Kawanan bajak laut itu ternyata mengincar harta warisan Tan Seng Hun senilai lebih dari tiga juta gulden, guna membiayai pendirian Republik Flores Raya (halaman 453).
Dalam usaha pendirian Republik Flores Raya itu, tanpa sengaja Rangga Puruhita juga turut terlibat lewat perantaraan Maria van Persie. Sebagai sarjana ekonomi lulusan Rijksuniversiteit Leiden, dia ditawari posisi menjadi menteri perekonomian dan diajak mengikuti rapat perumusan Republik Flores Raya (halaman 418). Rapat itu berlangsung alot dan malah merembet ke perdebatan sengit, karena salah satu peserta rapat bernama Abdullah Arubusman menolak konsep Flores Raya. Tokoh Islam paling terkemuka di Flores itu lebih setuju pada konsep Indonesia Raya yang sudah disepakati para cerdik cendekia pada 28 Oktober 1928. Rapat tanpa kesepakatan ini akhirnya berujung penembakan mati Abdullah Arubusman oleh Djanggo da Silva, ketua Bevy de Aguia Leste (halaman 423).
Kejadian penembakan itu, meluas ke konflik yang lebih pelik: Rangga diculik, kemudian disekap di sebuah rumah loji milik Bevy de Aguia Leste (halaman 459). Sementara Tan Sun Nio diburu kawanan bajak laut itu yang mengincar spaarbankboekje miliknya yang bernilai lebih dari tiga juta gulden (halaman 582). Di tengah pusaran konflik itu, muncul tokoh-tokoh oportunis seperti Ramos Fernandes, Indo-Portugis yang menjadi kaki tangan Tan Sun Nio sekaligus Djanggo da Silva, dan Mari Nusa, keturunan mosalaki Flores yang ternyata bertalian darah dengan Maria van Persie. Di sisi lain ada pula Johannes van Persie, misionaris sahabat Abdullah Arubusman yang berpura-pura sakit untuk melawan kawanan Bevy de Aguia Leste secara diam-diam. Namun tokoh paling heroik dalam pusaran konflik ini adalah Herman Zondag, tentara bengis yang selalu menguntit Rangga Puruhita. Dialah yang banyak kali meloloskan Rangga, Tan Sun Nio, dan tokoh lainnya dari terkaman mata jahat.
Keunggulan
Novel ber-setting tahun 1920-an ini memiliki liukan konflik yang demikian rumit. Tokoh-tokohnya banyak dan masing-masing mempunyai permasalahan yang berbeda-beda, namun semuanya berujung pada muara yang sama. Hal ini menyebabkan tiap bab novel ini menyajikan ketegangan tersendiri yang dapat menggerogoti rasa penasaran pembaca untuk menuntaskan bacaan sampai halaman akhir.
Novel ini juga menyajikan informasi sejarah yang menarik seperti pernyataan Sri Ratu Wilhemina bahwa pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi di Hindia-Belanda. Sebab Belanda memiliki utang budi yang sangat banyak terhadap kaum yang disebut inlander itu (halaman 115). Hal inilah yang mendorong Sri Ratu Wilhemina mengomandoi pelaksanaan politik etis. Juga kenyataan bahwa pemerintah Hindia-Belanda turut menjadi pemain utama perniagaan candu untuk menambal kas negara yang nyaris bangkrut karena perang berkepanjangan melawan pemberontak (halaman 145). Ditambah diskusi menarik soal sistem ekonomi kapitalis dan komunis (halaman 317-324).
Di samping itu, novel ini juga memaparkan pola keberagamaan orang Indonesia tempo dulu, era sebelum merdeka. Cukup banyak orang Flores yang mengaku beragama Islam tapi tidak menjalankan sembahyang lima kali sehari, karena tidak bisa dan tidak tahu tata caranya (halaman 157, 160). Meski begitu mereka mau belajar sembahyang lewat bantuan Rangga Puruhita. Dikemukakan pula soal gencarnya usaha yang dilancarkan para misionaris untuk mengkristenkan kaum pribumi. Menariknya, tokoh misionaris yang diwakili Johannes van Persie hanya mengkristenkan pribumi yang tidak memiliki agama. Dia tidak memaksa orang yang menolak dibaptis (halaman 159). Selain dua agama itu, penduduk Flores yang terdiri dari berbagai latar bangsa—Jawa, Flores, Cina, Belanda, Portugis, Siam—juga menganut kepercayaan beragam seperti animisme, dinamisme, dan agnostik. Semua dapat hidup berdampingan tanpa sengketa SARA seperti yang kerap meletus era sekarang ini. Bahkan mereka dapat saling bekerja sama tanpa mengusik agama masing-masing. Misalnya kerjasama Johannes van Persie (Katolik) dengan Abdullan Arubusman (Islam), juga Maria van Persie (Katolik) dengan Rangga Puruhita dan Ine Nurkasih (Islam). Mereka bahu-membahu menghidupi Perguruan Bunga Bangsa yang memberikan pengajaran pada anak-anak pribumi yang miskin lagi bodoh (halaman 182-183, 226-229).
Sebagai pengarang yang berafiliasi dengan FLP—organisasi penulis Muslim yang kerap dikabarkan kolot soal pemahaman agama—Afifah Afra menggelarkan realitas keberagaman agama masyarakat Flores tanpa mengunggulkan satu agama dan merendahkan agama lainnya. Meski tampak sekali keberpihakan pengarang pada Rangga Puruhita (wakil Islam), pengarang tidak memaparkan perbedaan antar agama secara hitam-putih seperti novelnya yang terdahulu (baca: Bulan Mati di Javasche Orange).
Kelemahan
Dalam buku How To Be A Smart Writer karya Afifah Afra, dikemukakan bahwa pengarang sebaiknya tidak ikut intervensi dalam masalah antar tokoh cerita fiksi, sehingga para tokoh itu tidak menjadi jelmaan pengarang yang membelah jadi beberapa bagian. Atau kalau ingin mengintervensi, pengarang dapat menjadikan salah satu tokoh sebagai gambaran kepribadian atau corong gagasannya (halaman 154).
Apabila saran tersebut ditujukan bagi novel Da Conspiraḉẫo ini, justru tampak sekali betapa kepribadian, suara hati, dan gagasan Afifah Afra mewujud dalam bentuk banyak tokoh. Seperti tokoh Rangga Puruhita dan Tan Sun Nio yang menjadi narator secara bergantian di tiap bab berbeda. Bila mencermati gaya bertutur, pola pikir, dan tata sikap kedua tokoh itu, dapat disimpulkan betapa mirip kepribadian keduanya. Keduanya sama-sama suka bertutur memakai bunga-bunga bahasa dan cenderung lebay. Keduanya suka sekali menggunakan kata “nan”.
Di samping itu, keduanya gampang menyimpulkan isi atau jeroan tokoh lain hanya lewat pandangan lahiriah—penampilan, cara bicara, binar mata. Mereka mudah terpesona dan segera saja memutuskan lawan bicaranya sebagai “orang cerdas” meski baru kali pertama bertemu atau sekadar lewat cerita orang lain. Contoh: pertemuan antar-keduanya atau pertemuan masing-masing dengan Daniel Liem, Djanggo da Silva, Ramos Fernandes, Mari Nusa, Maria van Persie, Hendrik Reynst, dsb.
Hal yang agak aneh adalah tokoh Tan Sun Nio yang dikatakan pengarang sebagai sosok cerdas, keras kepala, dan tidak mudah percaya orang lain, justru langsung percaya begitu saja omongan budak bernama Marwah (halaman 327-332) dan morfinis bernama Va Long (halaman 348)—terlepas bahwa perkataan kedua tokoh itu benar adanya. Padahal mereka baru bertemu dan pertemuan itu singkat saja! Juga sifat percaya diri Tan Sun Nio yang berulang kali diyakinkan pengarang lewat narasi, justru tampak kebalikannya, ialah penggamang dan “lugu”, antara lain saat berunding dengan Hendrik Reynst soal penjualan sepuluh hektar ladang opium di Laos (halaman 286, 289, 305-306, 310-311, 326).
Lewat serangkaian peristiwa dan dialog antar tokoh, sosok Tan Sun Nio yang tergambar di benak pembaca justru adalah seorang gadis gegabah, grasa-grusu, dan kurang berpikir panjang.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah penggunaan sudut pandang penceritaan yang kurang konsisten. Di satu sisi, Rangga Puruhita dan Tan Sun Nio menjadi narator secara bergantian, tapi di sisi lain malah muncul kata “nya” dan “dia” dalam paparan narasi. Padahal kedua tokoh sedang menceritakan dirinya sendiri.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar