Jumat, 24 Januari 2020

Filsafat Kematian dalam Serial Novel Otobiografis Nh. Dini


Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 10 Maret 2019

Nh. Dini (1936-2018) adalah salah seorang penulis terkemuka Indonesia sejak 1950-an. Karyanya memukau tidak hanya dari segi jumlah, tetapi juga lantaran mutunya yang tidak dapat diabaikan. Tidak kurang 30 buku telah Dini hasilkan, terdiri dari 15 novel otobiografis, 9 roman, 5 kumpulan cerpen, 2 biografi, 3 roman terjemahan, dan 3 buku kumpulan dongeng.
Kematian Dini pada 4 Desember tahun kemarin akibat kecelakaan lalu lintas, kemudian dijadikan momentum oleh sejumlah kalangan untuk menggelar acara peringatan serta pembicaraan mengenai karya-karyanya. Dalam acara-acara tersebut, bagian yang paling sering disorot dari karya-karya Dini adalah tentang feminisme, serta teknik pengisahan yang deskriptif dan lambat. Padahal, jika ditilik lebih lanjut, ada topik lain dari karya-karya Dini yang juga menarik untuk dibahas, yakni perihal kematian.
Dalam serial novel otobiografis, misalnya, Dini kerap memaparkan kematian yang dialami saudara-saudara maupun sahabat-sahabatnya, dibubuhi filsafat yang dia anut mengenai hal ini.
Sebagai penghayat Kejawen yang juga pernah menerima pengajaran agama Islam (lihat Pondok Baca dan Gunung Ungaran), Dini percaya kehidupan manusia sangat rapuh. Tuhan bisa saja secara mendadak memindahkan seseorang ke alam baka. Namun, dia yakin datangnya kematian selalu diawali hadirnya tanda-tanda tertentu bagi orang-orang terdekat. Saat mengisahkan kematian bapaknya dalam Sekayu, Dini beranggapan kedatangan lembu jantan yang tiba-tiba menerobos masuk rumah dan kejadian dirinya kejatuhan cicak saat menjenguk Bapak sebagai tanda tersebut. Buktinya, dalam hitungan jam, orang tua Dini meninggal.
Dalam salah satu fragmen Gunung Ungaran, dikisahkan Dini bermimpi melihat sahabatnya sedang mandi dan minta tolong diambilkan handuk. Usai memberikan handuk, Dini terbangun. Saat itu, waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Dini yakin bermimpi pada waktu tersebut, melambangkan kejadian sensitif. Tidak lama berselang, sahabatnya tersebut meninggal karena sakit.
Dini mengaku, kematian orang-orang terdekat, sering mengganggu pikirannya dalam waktu lama. Dia selalu bertanya-tanya, ke mana perginya atma atau jiwa mereka? Dan dunia seperti apa yang menunggu di sana? Karena tidak pernah menemukan jawaban, akhirnya dia terpaksa menerima pendapat ada masanya IQ dan EQ tidak bisa mencapai SQ (lihat Dari Ngalian ke Sendowo).
Kendati demikian, Dini termasuk pribadi yang mempercayai adanya reinkarnasi. Ini terungkap di antaranya dalam Pondok Baca halaman 234, “Sesuatu yang ada sekarang, tentulah berasal dari kehadirannya yang dulu. Bila ada akibat, pasti ada sebabnya. Sapa sing nandur, mesthi bakal ngundhuh.”
Kebanyakan orang berpandangan, kematian yang terbaik adalah di tempat tidur. Kematian akibat kecelakaan, sering dihubung-hubungkan dengan perbuatan buruk di masa hidup. Dini menolak pandangan tersebut. Dia berpendapat, bagaimana pun cara matinya seseorang, seharusnya itu dianggap sebagai jalan yang ditakdirkan Tuhan (lihat Kemayoran dan Gunung Ungaran). Sebab itulah, komentar penyair Toeti Heraty pada acara Sastra dan Peradaban tanggal 20 Februari 2019 di Institut Francais d’Indonese yang menyayangkan jalan kematian Dini karena kecelakaan lalu lintas, sebagai ketidakadilan, padahal Dini orang baik dan relijius, tidak seharusnya muncul seandainya Toeti mengetahui pendapat tersebut.
Dalam Gunung Ungaran—yang porsi pembahasan tentang kematian lebih banyak dan pekat dari novel otobiografis lainnya—Dini menuturkan filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Secara sederhana, sangkan berarti asal muasal, paran adalah tujuan, sementara dumadi artinya yang menjadikan atau pencipta. Dengan demikian Sangkan Paraning Dumadi adalah pengetahuan tentang dari mana manusia berasal dan akan ke mana dia kembali?
Di bagian lain, ialah halaman-halaman akhir novel yang sama, Dini menulis, “Kematian adalah bagian dari kehidupan. Itu bukan akhir dari segalanya. Seluruhnya merupakan proses yang membulat, berputar, lama atau kualitasnya merupakan sebab dan akibat, tergantung bagaimana manusia menjalani kehidupannya. Di situlah hukum karma terjadi.” (halaman 389).
Sekarang, Dini memang telah tiada. Namun sesuai filosofi Sangkan Paraning Dumadi, karya ciptanya tetap ada, membekas serta terus berdenyut dalam benak dan hati pembaca.



Referensi
Dini, Nh. 2009. Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2018. Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya. Yogyakarta: Media Pressindo.
—. 2005. Dari Fontenay ke Magallianes. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2015. Dari Ngalian ke Sendowo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2005. Dari Parangakik ke Kampuchea. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2012. Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2001. Jepun Negerinya Hiroko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2009. Kemayoran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2009. Kuncup Berseri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2007. La Grande Borne. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2009. Langit dan Bumi Sahabat Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. Padang Ilalang di Belakang Rumah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2011. Pondok Baca: Kembali ke Semarang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2009. Sebuah Lorong di Kotaku. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 1991. Sekayu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar