Dimuat di Radar Banyumas Minggu, 10 Maret 2019
Nh.
Dini (1936-2018) adalah salah seorang penulis terkemuka Indonesia sejak
1950-an. Karyanya memukau tidak hanya dari segi jumlah, tetapi juga lantaran
mutunya yang tidak dapat diabaikan. Tidak kurang 30 buku telah Dini hasilkan,
terdiri dari 15 novel otobiografis, 9 roman, 5 kumpulan cerpen, 2 biografi, 3
roman terjemahan, dan 3 buku kumpulan dongeng.
Kematian
Dini pada 4 Desember tahun kemarin akibat kecelakaan lalu lintas, kemudian
dijadikan momentum oleh sejumlah kalangan untuk menggelar acara peringatan
serta pembicaraan mengenai karya-karyanya. Dalam acara-acara tersebut, bagian
yang paling sering disorot dari karya-karya Dini adalah tentang feminisme, serta
teknik pengisahan yang deskriptif dan lambat. Padahal, jika ditilik lebih
lanjut, ada topik lain dari karya-karya Dini yang juga menarik untuk dibahas,
yakni perihal kematian.
Dalam
serial novel otobiografis, misalnya, Dini kerap memaparkan kematian yang
dialami saudara-saudara maupun sahabat-sahabatnya, dibubuhi filsafat yang dia
anut mengenai hal ini.
Sebagai
penghayat Kejawen yang juga pernah menerima pengajaran agama Islam (lihat Pondok Baca dan Gunung Ungaran), Dini percaya kehidupan manusia sangat rapuh. Tuhan
bisa saja secara mendadak memindahkan seseorang ke alam baka. Namun, dia yakin datangnya
kematian selalu diawali hadirnya tanda-tanda tertentu bagi orang-orang
terdekat. Saat mengisahkan kematian bapaknya dalam Sekayu, Dini beranggapan kedatangan lembu jantan yang tiba-tiba
menerobos masuk rumah dan kejadian dirinya kejatuhan cicak saat menjenguk Bapak
sebagai tanda tersebut. Buktinya, dalam hitungan jam, orang tua Dini meninggal.
Dalam
salah satu fragmen Gunung Ungaran,
dikisahkan Dini bermimpi melihat sahabatnya sedang mandi dan minta tolong
diambilkan handuk. Usai memberikan handuk, Dini terbangun. Saat itu, waktu
menunjukkan pukul tiga pagi. Dini yakin bermimpi pada waktu tersebut,
melambangkan kejadian sensitif. Tidak lama berselang, sahabatnya tersebut
meninggal karena sakit.
Dini
mengaku, kematian orang-orang terdekat, sering mengganggu pikirannya dalam
waktu lama. Dia selalu bertanya-tanya, ke mana perginya atma atau jiwa mereka? Dan dunia seperti apa yang menunggu di sana?
Karena tidak pernah menemukan jawaban, akhirnya dia terpaksa menerima pendapat
ada masanya IQ dan EQ tidak bisa mencapai SQ (lihat Dari Ngalian ke Sendowo).
Kendati
demikian, Dini termasuk pribadi yang mempercayai adanya reinkarnasi. Ini
terungkap di antaranya dalam Pondok Baca halaman
234, “Sesuatu yang ada sekarang, tentulah berasal dari kehadirannya yang dulu.
Bila ada akibat, pasti ada sebabnya. Sapa
sing nandur, mesthi bakal ngundhuh.”
Kebanyakan
orang berpandangan, kematian yang terbaik adalah di tempat tidur. Kematian akibat
kecelakaan, sering dihubung-hubungkan dengan perbuatan buruk di masa hidup.
Dini menolak pandangan tersebut. Dia berpendapat, bagaimana pun cara matinya
seseorang, seharusnya itu dianggap sebagai jalan yang ditakdirkan Tuhan (lihat Kemayoran dan Gunung Ungaran). Sebab itulah, komentar penyair Toeti Heraty pada acara
Sastra dan Peradaban tanggal 20 Februari 2019 di Institut Francais d’Indonese yang
menyayangkan jalan kematian Dini karena kecelakaan lalu lintas, sebagai
ketidakadilan, padahal Dini orang baik dan relijius, tidak seharusnya muncul
seandainya Toeti mengetahui pendapat tersebut.
Dalam
Gunung Ungaran—yang porsi pembahasan
tentang kematian lebih banyak dan pekat dari novel otobiografis lainnya—Dini menuturkan
filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Secara
sederhana, sangkan berarti asal
muasal, paran adalah tujuan,
sementara dumadi artinya yang
menjadikan atau pencipta. Dengan demikian Sangkan
Paraning Dumadi adalah pengetahuan tentang dari mana manusia berasal dan akan ke mana dia kembali?
Di
bagian lain, ialah halaman-halaman akhir novel yang sama, Dini menulis,
“Kematian adalah bagian dari kehidupan. Itu bukan akhir dari segalanya.
Seluruhnya merupakan proses yang membulat, berputar, lama atau kualitasnya
merupakan sebab dan akibat, tergantung bagaimana manusia menjalani
kehidupannya. Di situlah hukum karma terjadi.” (halaman 389).
Sekarang,
Dini memang telah tiada. Namun sesuai filosofi Sangkan Paraning Dumadi, karya ciptanya tetap ada, membekas serta
terus berdenyut dalam benak dan hati pembaca.
Referensi
Dini, Nh. 2009. Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2018. Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya.
Yogyakarta: Media Pressindo.
—. 2005. Dari Fontenay ke Magallianes. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2015. Dari Ngalian ke Sendowo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2005. Dari Parangakik ke Kampuchea. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2012. Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
—. 2001. Jepun Negerinya Hiroko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2009. Kemayoran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2009. Kuncup Berseri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2007. La Grande Borne. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2009. Langit dan Bumi Sahabat Kami.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. Padang Ilalang di Belakang Rumah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2011. Pondok Baca: Kembali ke Semarang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
—. 2009. Sebuah Lorong di Kotaku. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
—. 1991. Sekayu. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar