Sabtu, 25 Januari 2020

Kisah Puteri Keraton yang Diasingkan ke Belanda



Judul          :    De Liefde
Pengarang :    Afifah Afra
Penerbit     :    Afra Publishing
Cetakan     :    Pertama, Januari 2010
Tebal          :    256 halaman
ISBN          :    978-602-8277-16-

Selama ini, puteri keraton dari abad silam selalu digambarkan sebagai sosok perempuan yang menjunjung tinggi kehalusan budi pekerti dan tutur bahasa. Ia adalah pribadi yang santun, manut, serta anggun.  Namun tidak demikian dengan sosok Bendara Raden Ajeng Sekar Prembayun Suryanegara—atau yang biasa dipanggil Sekar Prembayun. Sebagai cucu Pakubuwana X—raja Surakarta Hadiningrat—memang sejak kecil Sekar tinggal dalam lingkungan istana dan dididik dengan tata nilai hidup kejawen yang serba mementingkan kehalusan budi. Tapi berbeda dengan puteri keraton lainnya, Sekar mendapat latihan kanuragan dari penjaga istana, selain pendidikan modern di bangku sekolah sampai tingkat AMS—kira-kira setara SMA saat ini.
Pergaulan dengan guru-guru dan teman-teman bangsa Belanda, membuat Sekar menyadari betapa rendah kedudukan dan harga diri kaum pribumi di mata kaum penjajah berkulit pucat itu (halaman 50). Selain itu, pengamatan akan serbaneka peraturan keraton yang demikian merepotkan, membuat gadis muda itu tumbuh menjadi pemberontak tata nilai yang sudah digariskan leluhurnya sejak beratus tahun silam. Ia enggan mengenakan pakaian sebagaimana kaum bangsawan putri pada umumnya. Ia juga menolak sungkem dan laku dhodhok saat menghadap orang yang dituakan. Sebaliknya, ia memilih selalu memakai blouse dan menggeraikan rambut, dengan alasan kepraktisan. Tidak jarang Sekar kabur dari istana dengan menyamar sebagai laki-laki.
Di luar tembok istana, Sekar aktif menjadi guru bagi anak-anak dari kalangan rakyat jelata miskin. Ia juga menceburkan diri dalam aktivitas politik dengan menjadi anggota Partai Rakyat dan kerap menulis kritikan bagi pemerintah Hindia-Belanda dengan nama samaran Elizabeth Fenton. Terakhir, ia menulis artikel yang mengkritik pembubaran Partai Rakyat dan penangkapan para aktivisnya. Buntut dari penulisan artikel itu, Sekar ditangkap politiewezen dengan tuduhan melawan kebijakan Sri Ratu Belanda. Ia dijatuhi hukuman externering ke negeri Belanda dengan jangka waktu tak terbatas (periksa juga novel De Winst; sekuel sebelum De Liefde).
Sekar sampai di Belanda pada akhir tahun 1931, saat negeri itu sedang disergap musim dingin. Tentu tidak mudah bagi bagi gadis yang selama 22 tahun hidup di daerah tropis untuk menyesuaikan diri di tengah lingkungan yang dingin. Belum lagi status narapidana yang membuat ruang lingkupnya demikian terbatas. Meski ia tidak dimasukkan ke dalam penjara—melainkan “dititipkan” di sebuah puri milik bangsawan Jawa yang menetap di Leiden, tetap saja ada politiewezen yang senantiasa menguntit dan mengawasi gerak-geriknya (halaman 14-16).
Tapi bukan Sekar namanya jika tidak mbalelo. Satu kesempatan ketika politiewezen dan induk semangnya lengah, ia manfaatkan untuk kabur. Ia pun dapat leluasa menjelajahi seantero sudut Leiden dengan mengayuh sepeda . Bahasa bukan jadi kendala, karena sebagai lulusan AMS dan penulis lepas di surat kabar berbahasa Belanda—saat masih di Surakarta—Sekar bisa fasih berbicara menggunakan bahasa kaum penjajah negerinya itu. Sampai kemudian ia berhasil menyusup ke Universiteit Leiden dan menjumpai Profesor Johan van de Vondell—salah satu ilmuwan pendukung politik etis yang dicetuskan Meneervan Deventer. Ilmuwan itu pula yang menjadi dosen Rangga Puruhita; sepupu Sekar yang pernah kuliah di Leiden (halaman 60-64; periksa juga novel De Winst).
Sekar berniat ngangsu kawruh atau setidak-tidaknya berdiskusi dengan profesor  bercambang-bauk itu. Malangnya, aksinya itu diketahui politiewezen, sehingga ia lalu dikurung di puri milik bangsawan Jawa yang menjadi induk semangnya. Tetapi selang waktu kemudian, Sekar kembali kabur. Kali berikutnya untuk mengikuti pertemuan tokoh-tokoh Indonesische Vereeniging, Sarekat Islam, dan Communistische Partij Holland. Namun setelah Sekar mengikuti pertemuan tokoh organisasi yang disebut paling terakhir, ia didatangi mahasiswa Indonesia yang mengingatkan betapa bahayanya organisasi komunis itu.
“’Jangan kira mereka memiliki nasionalisme, Nona!’ ujar Ahmad Baradja, mahasiswa dari Solo. Ayahnya memiliki perusahaan batik yang cukup besar di Laweyan. ‘Setelah Revolusi Bolshevik pecah di Rusia, mereka lebih setia kepada komintern, komunis internasional, dibanding kepada negerinya sendiri.’” (halaman 65).
Kelakuan Sekar yang berkali-kali kabur dan malah ikut serta dalam pertemuan organisasi berhaluan pergerakan pembebasan Hindia, membuat politiewezen berang. Sekar pun “dikirim” ke Den Haag, daerah yang dianggap lebih “aman”. Ia kembali “dititipkan”. Kali ini di sebuah puri bernama Paleis de Liefde; milik Joseph Reynierse, seorang anggota parlemen Belanda.
Di tempat pengasingannya yang baru, Sekar berkenalan dan bergaul akrab dengan Sophie; putri Meener Reynierse, yang bekerja sebagai juru warta The Woman Tribune—surat kabar kaum feminis. Pergaulan dengan Sophie mengantarkan Sekar pada petualangan menelusuri kasus yang menimpa Rusmini van de Brand; perempuan muda asal Jawa yang dijual ayahnya di rumah pelacuran dan kemudian terbukti menjalani affair dengan Meener Reynierse; ayah Sophie (halaman 144).
Keadaan makin runyam manakala Rusmini—yang dijuluki Burung Hindia—diculik; hendak dienyahkan. Sementara Sekar yang berusaha menolong Rusmini, justru dikejar tentara kerajaan yang mengira ia mata-mata Jerman (halaman 371-372).  Tahap selanjutnya, Sekar malah diculik pasukan Schutzstaffel—pasukan rahasia Nazi (halaman 435).
Novel karya Sekjen Forum Lingkar Pena Pusat ini menyuguhkan sisi keberandalan dan maskulinitas seorang puteri keraton yang selama ini selalu digambarkan berperangai lemah lembut. Karakter dominan tokoh Sekar Prembayun adalah keras kepala, grasa-grusu, kadang kurang berpikir panjang—ini menjadi ciri khas tokoh perempuan dalam novel Afifah Afra lainnya.
Menariknya, meskipun cenderung berandal, serta memiliki sejumlah teman yang berafiliasi dengan partai komunis, Sekar tetap mengukuhi pemahaman dasar agama Islam—agama yang dianutnya, seperti tidak mau meneguk minuman beralkohol (halaman 141), menjalankan sembahyang wajib (halaman 257), meyakini kemahakuasaan Allah (halaman 200), serta enggan murtad (halaman 175).
Sekelumit kekurangan dalam novel ini antara lain; Pertama: kekeliruan pemahaman bahwa suku bangsa Jawa sama dengan Melayu (halaman 8, 280), meski kemudian Afifah sedikit meralatnya di halaman 111. Kedua: sejumlah diksi yang terlalu modern untuk ukuran tahun 1930-an, seperti “acuh tak acuh”, “teater”, “litotes”, dan “sublim”. Jika membaca karya sastrawan Indonesia tempo doeloe, akan dapat ditemukan padanan kata yang lebih sesuai dan cocok digunakan daripada daftar kata bertanda petik dua tersebut. Misalnya kata “masabodoh” lebih sesuai digunakan daripada “acuh tak acuh” (periksa buku Gema Tanah Air karya H.B. Jassin yang antara lain menghimpun karangan-karangan bertitimangsa saat pendudukan Belanda, baca juga buku-buku Nh. Dini yang ber-setting sebelum Indonesia merdeka).
Atau “tonil” yang lebih cocok dipakai daripada “teater”—karena menurut catatan Nh. Dini (baca seri cerita kenangan Kuncup Berseri, halaman 68), sebutan “teater” muncul sekitar tahun 1955, dipopulerkan Asrul Sani. Sementara roman Tenggelamnya Kapal van der Wijckkarya Buya Hamka yang ber-setting tahun 1930-an menggunakan kata “tonil” untuk menyebut “teater”.
Ketiga: diceritakan bahwa saat masih mengenyam pendidikan AMS, artinya sekitar tahun 1920-an, Sekar sempat mengunjungi Ya’ik di kota Semarang (halaman 257). Menurut catatan Nh. Dini—yang lahir dan besar di Semarang, Ya’ik justru muncul setelah selesai Perang Revolusi Kemerdekaan, di akhir tahun 1940-an (Kuncup Berseri, halaman 52-53).
Keempat: dalam novel ini halaman 440, tertera titimangsa 1 Februari 2009, saat menandai terjadinya pemberontakan di kapal de Zeven Provincien. Rasanya ini adalah kesalahan ketik, karena seluruh isi novel menceritakan kejadian dalam rentang tahun 1910-1930-an.
Kelima: dalam sekuel sebelumnya—De Winst—disebutkan bahwa gelar kebangsawanan Sekar Prembayun adalah Raden Rara (halaman 80). Sedang dalam De Liefde, gelar kebangsawanan Sekar menjadi Raden Ajeng (halaman 36). Jadi, mana yang lebih tepat?
Keenam: penggunaan ejaan yang kurang konsisten—kerap kali menggunakan ejaan van Ophuijsen seperti oe untuk utj untuk cj untuk y, dan dj untuk j, tapi juga memakai ejaan yang disempurnakan (EYD) yang menghilangkan aturan van Ophuijsen tersebut.
Rasanya sayang sekali jika novel sebagus ini memiliki kekeliruan-kekeliruan yang barangkali tampak remeh-temeh tapi potensial menggerogoti bangunan cerita dan ujungnya jadi kurang meyakinkan pembaca. Ini menandakan Bunda Syaki—sang editor—kurang bermata dewa saat menyunting isi novel ini. Mudah-mudahan bila kelak novel ini mengalami cetak ulang, sekelumit kekeliruan tersebut dapat diperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar