Judul : De
Liefde
Pengarang : Afifah
Afra
Penerbit : Afra
Publishing
Cetakan : Pertama,
Januari 2010
Tebal : 256
halaman
ISBN : 978-602-8277-16-
Selama ini, puteri keraton dari abad silam selalu digambarkan sebagai sosok
perempuan yang menjunjung tinggi kehalusan budi pekerti dan tutur bahasa. Ia
adalah pribadi yang santun, manut, serta anggun. Namun
tidak demikian dengan sosok Bendara Raden Ajeng Sekar Prembayun
Suryanegara—atau yang biasa dipanggil Sekar Prembayun. Sebagai cucu Pakubuwana
X—raja Surakarta Hadiningrat—memang sejak kecil Sekar tinggal dalam lingkungan
istana dan dididik dengan tata nilai hidup kejawen yang serba
mementingkan kehalusan budi. Tapi berbeda dengan puteri keraton lainnya, Sekar
mendapat latihan kanuragan dari penjaga istana, selain
pendidikan modern di bangku sekolah sampai tingkat AMS—kira-kira
setara SMA saat ini.
Pergaulan dengan guru-guru dan teman-teman bangsa Belanda, membuat Sekar
menyadari betapa rendah kedudukan dan harga diri kaum pribumi di mata kaum
penjajah berkulit pucat itu (halaman 50). Selain itu, pengamatan akan serbaneka
peraturan keraton yang demikian merepotkan, membuat gadis muda itu tumbuh
menjadi pemberontak tata nilai yang sudah digariskan leluhurnya sejak beratus
tahun silam. Ia enggan mengenakan pakaian sebagaimana kaum bangsawan putri pada
umumnya. Ia juga menolak sungkem dan laku dhodhok saat
menghadap orang yang dituakan. Sebaliknya, ia memilih selalu memakai blouse dan
menggeraikan rambut, dengan alasan kepraktisan. Tidak jarang Sekar kabur dari
istana dengan menyamar sebagai laki-laki.
Di luar tembok istana, Sekar aktif menjadi guru bagi anak-anak dari
kalangan rakyat jelata miskin. Ia juga menceburkan diri dalam aktivitas politik
dengan menjadi anggota Partai Rakyat dan kerap menulis kritikan bagi pemerintah
Hindia-Belanda dengan nama samaran Elizabeth Fenton. Terakhir, ia
menulis artikel yang mengkritik pembubaran Partai Rakyat dan penangkapan para
aktivisnya. Buntut dari penulisan artikel itu, Sekar
ditangkap politiewezen dengan tuduhan melawan kebijakan Sri
Ratu Belanda. Ia dijatuhi hukuman externering ke negeri
Belanda dengan jangka waktu tak terbatas (periksa juga novel De Winst;
sekuel sebelum De Liefde).
Sekar sampai di Belanda pada akhir tahun 1931, saat negeri itu sedang
disergap musim dingin. Tentu tidak mudah bagi bagi gadis yang selama 22 tahun
hidup di daerah tropis untuk menyesuaikan diri di tengah lingkungan yang
dingin. Belum lagi status narapidana yang membuat ruang lingkupnya demikian
terbatas. Meski ia tidak dimasukkan ke dalam penjara—melainkan “dititipkan” di
sebuah puri milik bangsawan Jawa yang menetap di Leiden, tetap saja ada politiewezen yang
senantiasa menguntit dan mengawasi gerak-geriknya (halaman 14-16).
Tapi bukan Sekar namanya jika tidak mbalelo. Satu kesempatan
ketika politiewezen dan induk semangnya lengah, ia manfaatkan
untuk kabur. Ia pun dapat leluasa menjelajahi seantero sudut Leiden dengan
mengayuh sepeda . Bahasa bukan jadi kendala, karena sebagai lulusan AMS dan
penulis lepas di surat kabar berbahasa Belanda—saat masih di Surakarta—Sekar
bisa fasih berbicara menggunakan bahasa kaum penjajah negerinya itu. Sampai
kemudian ia berhasil menyusup ke Universiteit Leiden dan
menjumpai Profesor Johan van de Vondell—salah satu ilmuwan pendukung politik
etis yang dicetuskan Meneervan Deventer. Ilmuwan itu pula yang
menjadi dosen Rangga Puruhita; sepupu Sekar yang pernah kuliah di Leiden
(halaman 60-64; periksa juga novel De Winst).
Sekar berniat ngangsu kawruh atau setidak-tidaknya
berdiskusi dengan profesor bercambang-bauk itu. Malangnya, aksinya
itu diketahui politiewezen, sehingga ia lalu dikurung di puri milik
bangsawan Jawa yang menjadi induk semangnya. Tetapi selang waktu kemudian,
Sekar kembali kabur. Kali berikutnya untuk mengikuti pertemuan
tokoh-tokoh Indonesische Vereeniging, Sarekat Islam, dan Communistische
Partij Holland. Namun setelah Sekar mengikuti pertemuan tokoh organisasi
yang disebut paling terakhir, ia didatangi mahasiswa Indonesia yang
mengingatkan betapa bahayanya organisasi komunis itu.
“’Jangan kira mereka memiliki nasionalisme, Nona!’ ujar Ahmad Baradja,
mahasiswa dari Solo. Ayahnya memiliki perusahaan batik yang cukup besar di
Laweyan. ‘Setelah Revolusi Bolshevik pecah di Rusia, mereka lebih setia
kepada komintern, komunis internasional, dibanding kepada negerinya
sendiri.’” (halaman 65).
Kelakuan Sekar yang berkali-kali kabur dan malah ikut serta dalam pertemuan
organisasi berhaluan pergerakan pembebasan Hindia, membuat politiewezen berang.
Sekar pun “dikirim” ke Den Haag, daerah yang dianggap lebih “aman”. Ia kembali
“dititipkan”. Kali ini di sebuah puri bernama Paleis de Liefde;
milik Joseph Reynierse, seorang anggota parlemen Belanda.
Di tempat pengasingannya yang baru, Sekar berkenalan dan bergaul akrab
dengan Sophie; putri Meener Reynierse, yang bekerja sebagai
juru warta The Woman Tribune—surat kabar kaum feminis. Pergaulan
dengan Sophie mengantarkan Sekar pada petualangan menelusuri kasus yang menimpa
Rusmini van de Brand; perempuan muda asal Jawa yang dijual ayahnya di rumah
pelacuran dan kemudian terbukti menjalani affair dengan Meener Reynierse;
ayah Sophie (halaman 144).
Keadaan makin runyam manakala Rusmini—yang dijuluki Burung Hindia—diculik;
hendak dienyahkan. Sementara Sekar yang berusaha menolong Rusmini, justru
dikejar tentara kerajaan yang mengira ia mata-mata Jerman (halaman
371-372). Tahap selanjutnya, Sekar malah diculik pasukan Schutzstaffel—pasukan
rahasia Nazi (halaman 435).
Novel karya Sekjen Forum Lingkar Pena Pusat ini menyuguhkan sisi
keberandalan dan maskulinitas seorang puteri keraton yang selama ini selalu
digambarkan berperangai lemah lembut. Karakter dominan tokoh Sekar Prembayun
adalah keras kepala, grasa-grusu, kadang kurang berpikir
panjang—ini menjadi ciri khas tokoh perempuan dalam novel Afifah Afra lainnya.
Menariknya, meskipun cenderung berandal, serta memiliki sejumlah teman yang
berafiliasi dengan partai komunis, Sekar tetap mengukuhi pemahaman dasar agama
Islam—agama yang dianutnya, seperti tidak mau meneguk minuman beralkohol
(halaman 141), menjalankan sembahyang wajib (halaman 257), meyakini
kemahakuasaan Allah (halaman 200), serta enggan murtad (halaman 175).
Sekelumit kekurangan dalam novel ini antara lain; Pertama:
kekeliruan pemahaman bahwa suku bangsa Jawa sama dengan Melayu (halaman 8,
280), meski kemudian Afifah sedikit meralatnya di halaman 111. Kedua:
sejumlah diksi yang terlalu modern untuk ukuran tahun 1930-an, seperti “acuh
tak acuh”, “teater”, “litotes”, dan “sublim”. Jika membaca karya sastrawan
Indonesia tempo doeloe, akan dapat ditemukan padanan kata yang
lebih sesuai dan cocok digunakan daripada daftar kata bertanda petik dua
tersebut. Misalnya kata “masabodoh” lebih sesuai digunakan daripada “acuh tak
acuh” (periksa buku Gema Tanah Air karya H.B. Jassin yang
antara lain menghimpun karangan-karangan bertitimangsa saat pendudukan Belanda,
baca juga buku-buku Nh. Dini yang ber-setting sebelum Indonesia
merdeka).
Atau “tonil” yang lebih cocok dipakai daripada “teater”—karena menurut
catatan Nh. Dini (baca seri cerita kenangan Kuncup Berseri, halaman
68), sebutan “teater” muncul sekitar tahun 1955, dipopulerkan Asrul Sani.
Sementara roman Tenggelamnya Kapal van der Wijckkarya Buya Hamka
yang ber-setting tahun 1930-an menggunakan kata “tonil” untuk
menyebut “teater”.
Ketiga: diceritakan bahwa saat masih mengenyam
pendidikan AMS, artinya sekitar tahun 1920-an, Sekar sempat
mengunjungi Ya’ik di kota Semarang (halaman 257). Menurut
catatan Nh. Dini—yang lahir dan besar di Semarang, Ya’ik justru
muncul setelah selesai Perang Revolusi Kemerdekaan, di akhir tahun 1940-an (Kuncup
Berseri, halaman 52-53).
Keempat: dalam novel ini halaman 440, tertera
titimangsa 1 Februari 2009, saat menandai terjadinya pemberontakan di
kapal de Zeven Provincien. Rasanya ini adalah kesalahan ketik,
karena seluruh isi novel menceritakan kejadian dalam rentang tahun
1910-1930-an.
Kelima: dalam sekuel sebelumnya—De Winst—disebutkan
bahwa gelar kebangsawanan Sekar Prembayun adalah Raden Rara (halaman
80). Sedang dalam De Liefde, gelar kebangsawanan Sekar
menjadi Raden Ajeng (halaman 36). Jadi, mana yang lebih tepat?
Keenam: penggunaan ejaan yang kurang konsisten—kerap kali
menggunakan ejaan van Ophuijsen seperti oe untuk u, tj untuk c, j untuk y,
dan dj untuk j, tapi juga memakai ejaan yang
disempurnakan (EYD) yang menghilangkan aturan van Ophuijsen tersebut.
Rasanya sayang sekali jika novel sebagus ini memiliki kekeliruan-kekeliruan
yang barangkali tampak remeh-temeh tapi potensial menggerogoti bangunan cerita
dan ujungnya jadi kurang meyakinkan pembaca. Ini menandakan Bunda Syaki—sang
editor—kurang bermata dewa saat menyunting isi novel ini. Mudah-mudahan bila
kelak novel ini mengalami cetak ulang, sekelumit kekeliruan tersebut dapat
diperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar