Judul : Serial
Pingkan 2; Seperti Daisy di Musim Semi
Pengarang : Muthmainnah
Penerbit : Gizone
Books
Cetakan : Pertama,
Juli 2011
Tebal : 280
halaman
ISBN : 978-602-8277-42-6
Serial Pingkan 2; Seperti
Daisy di Musim Semi merupakan kelanjutan dari Pingkan; Sehangat Mentari Musim
Semi yang dulu diterbitkan Asy Syaamil Bandung dan sekarang estafet
penerbitannya dilanjutkan oleh Gizone Books Surakarta. Sama seperti edisi
pendahulunya, edisi yang sekarang pun sebelum diterbitkan dalam bentuk buku,
sempat dipublikasikan di majalah, secara berseri. Bila serial pertamanya dulu
dimuat di majalah Annida (era tahun 1993), edisi lanjutannya dimuat di majalah Girlie
Zone (kisaran tahun 2009-2011). Setelah pemuatannya tandas habis, barulah
seluruh bagian cerita dikumpulkan dan diterbitkan utuh sebagai buku.
Isinya sendiri memaparkan
kelanjutan kisah Pingkan Rahma, gadis Padang yang merantau ke Australia, guna
menuntut ilmu di Murdoch University, Perth, jurusan Fisika. Sepeninggal
Nenek—ialah perempuan mualaf Australia yang tak bertalian darah dengan Pingkan,
namun setelah meninggal justru meninggalkan warisan harta yang demikian banyak
bagi gadis yang terampil karate itu, Pingkan bersama Reni—sahabatnya—tinggal di
rumah megah warisan Nenek. Saking megahnya, Pingkan memanfaatkan rumah tersebut
sebagai kantor International Muslim Student Association (IMSA). Lantai bawah
rumah yang terdiri dari dapur, dua ruang duduk, ruang makan, dan perpustakaan
dipakai untuk kegiatan IMSA. Setengah lantai dua dipakai untuk menyimpan barang
pribadi Nenek—kamar Pingkan dan Reni ada di bagian ini. Sedangkan bagian kanan
lantai dua, ada tiga kamar, dipakai sebagai asrama sisters yang membutuhkan
shelter. (halaman 8).
Dengan peninggalan
kekayaan tersebut, jelas perkara keuangan atau kebendaan bukan jadi soal bagi
Pingkan, karena lewat uang warisan Nenek, Pingkan di antaranya bisa membantu
saudara muslim di Palestina dam ikut membiayai kegiatan IMSA. Pendek kata,
warisan dari Nenek sangat cukup bagi Pingkan untuk “bisa merasakan hidup
nyaman; bergelimang harta”. Namun tentu saja ada hal-hal tertentu yang tidak
dapat diselesaikan dengan uang. Hal-hal inilah yang kemudian menjadi semacam
rantai ujian bagi Pingkan. Mulai dari soal Sister Khalda—saudara seiman asal
Afganistan—yang kemudian memisahkan diri dari komunitas muslim Australia, malah
memilih tinggal serumah dengan Frank—lelaki nonmuslim yang sering
menggodanya—dan menanggalkan busana identitas muslimah (episode Cerita Sister
Khalda dan Teka-Teki); koneksi internet di rumah yang digunakan oleh orang
tertentu untuk mengakses website-website porno, sehingga setiap kali komputer
dinyalakan selalu muncul pop-up iklan pornografi yang terhubung dengan website
porno tadi (Balada Komputer Rumah dan Teka-Teki); Reni—kawan serumah
Pingkan—yang melakukan cara-cara di luar nalar guna menurunkan berat badan (Ayo
Lari, Menjadi yang Terbaik); kegiatan IMSA yang diintai mata-mata dari Mossad
Israel (Intel Itu…); dan soal pergaulan bebas mahasiswa-mahasiswa Indonesia
yang kebanyakan kali berbuntut kasus aborsi (Lani).
Sebetulnya, kasus-kasus
itu berpusar di luar di Pingkan. Namun Pingkan tidak berwatak cuek bebek,
masabodoh dengan lingkungan sekitar. Ia peduli, turut merasakan,
memikirkan-mencari solusi, dan tak segan-segan mengurunkan tenaga maupun uang.
Dengan watak yang ideal itu, tidak berarti Pingkan lepas dari kekurangan atau
kealpaan diri. Bagaimana pun Pingkan adalah gadis yang tengah beranjak menuju
dewasa. Tentu ada perubahan-perubahan dalam diri yang mau atau tidak—baik yang
berasal dari dirinya sendiri maupun dipengaruhi orang luar—membuat Pingkan
harus menghadapinya. Persoalannya, kepribadian Pingkan belumlah mengendap,
masih dalam upaya memantapkan, sehingga persoalan-persoalan pribadi—termasuk
juga persoalan sosial—masih ditanggapi dengan cara emosional.
Seperti soal Rizal;
lelaki beraut muka rupawan, aktivis dakwah yang rutin mengisi pengajian
mahasiswa. Lelaki ini selalu muncul di sekitar Pingkan, seolah-olah
menguntitnya. Tidak cukup sampai di situ, dia juga kerap menyengat Pingkan
dengan kalimat-kalimat yang sebetulnya tidak menyakitkan hati, tapi bagi
Pingkan amatlah merunyamkan. Yang terang, Rizal tertarik pada Pingkan dan ingin
menjalin hubungan yang bukan main-main dengan gadis mantan model itu. Rizal
sendiri sudah mengantongi izin juga restu dari keluarga Pingkan di Padang sana;
dan barangkali oleh sebab itulah Rizal kerap “berkeliaran” di sekitar Pingkan,
seakan-akan laron yang sedang mendekati lampu; hendak merasakan cahaya dan
panas kebakarannya.
Yang menjengkelkan
Pingkan dan pembaca, meskipun disebut sebagai orang yang mengerti agama, tapi
kelakuan Rizal terhadap Pingkan tergolong melanggar batas pergaulan yang
diperkenankan Islam bagi lelaki-perempuan yang bukan mahram. Rizal tidak
segan-segan mendekati-mengajak ngobrol Pingkan dalam kondisi hanya berduaan
(lihat episode Wahai Hati: 71-75, Ayo Lari: 83-90, Hadoh, Ngedet! 100-107, Di
Tepi Pantai: 231-232; 234-237, dan sebagainya lagi). Rizal juga “berkenan”
menjamah atau menyentuh Pingkan (periksa Biking yang Confusing: 154-158, Di
Tepi Pantai: 236-237). Celakanya, dalam satu kunjungan terpaksa ke rumah
kontrakan Rizal, Pingkan menemukan pigura foto dirinya saat masih menjadi
model, tanpa kerudung atau busana yang menutup aurat sebagaimana pantasnya
(Lani: 214).
Kejengkelan Pingkan dan
pembaca terhadap kelakuan Rizal terjawab di episode Kusut Mengurai. Di sinilah
dengan lihai Muthmainnah—sang pengarang—menguakkan alasan ketidakengganan Rizal
berdua-duaan dengan Pingkan, termasuk menyentuh bagian tubuh Pingkan dan
menyimpan foto gadis itu saat belum mengenakan kerudung. Alasan yang dikuakkan
di episode tersebut tidak kurang menjengkelkan, namun juga melegakan, sehingga
pembaca pun dapat berkesimpulan, “Oo… ternyata Rizal tidaklah semunafik itu.
Justru dia sudah berlaku-berbuat di jalur yang tepat.”
Meski pada akhirnya
Pingkan mengetahui alasan yang mendasari perbuatan Rizal, ia tetap merasa diri
tidak siap menjadi seorang istri, yang dikatakannya syereeem. Lebih jelasnya
Pingkan mengatakan, “Satu yang membuat saya nggak suka pernikahan adalah
kesewanangan suami melarang-larang. Lalu memakai ayat ayat Qur’an untuk
membenarkan sikap itu. Ukuran baik buruk perempuan kemudian tergantung subjektivitas
lelaki yang menjadi suaminya.” (Menapak Babak Baru, yang Mana? 273).
Muthmainnah menutup buku
setebal 280 ini dengan keakhiran yang terbuka (open ending). Satu keakhiran
yang demokratis, karena menyilakan pembaca melanjutkan sendiri bagaimana yang seharusnya
terjadi, sekaligus membuka peluang barangkali buku ini akan dibuatkan sekuel
berikutnya.
Sejujurnya, saat membaca
buku ini pada bagian-bagian awal, terasa agak menjengkelkan dan “menyesakkan
napas” terutama bagi pembaca yang biasa mengunyah bacaan-bacaan sastrawi dengan
sajian kalimat yang lengkap. Pasalnya, gaya bahasa yang digunakan Muthmainnah
dalam buku ini cenderung pendek-pendek, melompat-melompat, dan gaul abis. Namun
di bagian tengah buku, barulah terasa keasyikan dan greget dari kisah ini.
Rupa-rupanya, meskipun tiap bab dapat dikatakan berdiri sendiri dan mempunyai
cerita yang juga berdiri sendiri, ada seutas benang penghubung antarbab yang
tidak tampak, tapi bisa dirasakan kehadiran dan manfaatnya oleh pembaca di
ujung buku.
Kesimpulannya, isi buku
ini menggambarkan kehidupan seorang mahasiswa Indonesia di tanah rantau, dengan
segenap konflik yang tumbuh dari tanah perantauannya maupun yang berasal dari
tanah asalnya. Muthmainnah menggambarkan Pingkan sebagai tokoh utama secara
sangat manusiawi, komplet dengan lebih-kurang watak dan kelakuannya. Kualitas
yang paling mencolok dari buku ini adalah: Pertama, penggambaran suasana
lingkungan dan kebiasaan masyarakat Australia terasa hidup sekali. Saya tidak
tahu, apakah Muthmainnah pernah tinggal di Benua Kanguru ini atau tidak? Yang
pasti Muthmainnah tidak gagap melukiskan kehidupan di lingkungan Australia.
Deskripsi suasana terasa lancar dan wajar. Kedua, Pingkan Rahma merupakan
penggambaran ideal remaja muslim yang tidak hanya sibuk mengurusi perkara
remeh-temeh yang berkaitan dengan dirinya saja, melainkan
peduli-mengerti-memahami-mencari solusi bagi persoalan di luar lingkaran
dirinya sendiri.
Akhirul kalam, meskipun
tergolong bacaan populer, isi buku ini menyajikan kualitas yang mencerahkan dan
bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar