16 Juli 2015, saya kirim
naskah novelet ke sebuah penerbit.
21 Juli 2015, redaktur
membalas pesan dengan hanya meminta saya mengirim sinopsis back cover dan kata
pengantar. Saya pun mengerjakan permintaan itu.
28 September 2015, saya tanya
bagaimana kelanjutan naskah? Apakah di-ACC untuk diterbitkan? Jawabnya, masih
dipelajari.
Satu tahun berlalu. Tidak ada
kejelasan nasib naskah saya itu. Tapi, dari pengalaman yang sudah-sudah, naskah
yang sudah lebih dari tiga bulan tidak ada kabar, berarti ditolak untuk
diterbitkan.
24 September 2016, naskah itu,
saya kirim ke penerbit lain. Tentu, isinya nggak sama persis. Sudah ada
perubahan dan penambahan. Isi naskahnya lebih tebal dari sebelumnya.
Akhir tahun 2016, saya dapat
kabar kalau naskah disetujui untuk diterbitkan, tapi harus sabar menunggu
antrean. Alhamdulillah. Betapa senang hati saya.
4 Januari 2017, saya dapat
kiriman surat perjanjian penerbitan guna legalitas kerjasama penerbitan naskah
buku. Surat itu pun saya isi dan lengkapi administrasinya, kemudian dikirim ke
penerbit.
Akhir Januari 2017, naskah
terbit.
Juli 2017, saya sudah dapat
laporan penjualan dan transferan royalti. Alhamdulillah.
Jelang Subuh pada akhir
November 2017, saya dapat kiriman e-mail dari penerbit yang saya kirimi naskah
dua setengah tahun lalu. Isinya, saya diminta memilih satu dari enam alternatif
cover buku dari naskah yang saya kira sudah ditolak.
Herannya, dalam cover yang
dikirim, sudah tertera International Standard Book Number (ISBN). Artinya,
naskah itu sudah didaftarkan ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia!
Jangan-jangan, naskahnya juga sudah disunting dan di-setting!
Saya pun bergegas menghubungi
redakturnya. Bertubi-tubi saya telepon, tidak kunjung diangkat. Bakda Asar, akhirnya
panggilan saya dijawab.
Saya jelaskan duduk perkaranya
dengan bahasa sesopan mungkin. Jujur, saya merasa tidak enak, karena untuk
mengurus ISBN, editing, setting, dll penerbit pasti sudah mengeluarkan biaya.
Sayangnya, itikad baik saya
justru ditanggapi sebaliknya. Pihak penerbit justru marah-marah.
“Kalau memang sudah
diterbitkan, kenapa mau ngirimi kata pengantar dan sinopsis yang saya minta?!”
kata dia dengan jengkel.
“Saya ngirim kata pengantar
dan sinopsis itu kapan? Lebih dari dua tahun lalu. Bukan dalam waktu dekat. Dan
selama waktu itu pula nggak ada kejelasan kalau naskah saya di-ACC. Kalau
memang belum ada surat perjanjian penerbitan, minimal ada pemberitahuan tentang
nasib naskah saya itu. Coba cek riwayat e-mail ke saya.”
“Kalau begitu, kenapa Anda menyetujui
naskahnya diterbitkan?”
“Saya nggak sekali pun
menyetujui naskah diterbitkan. Wong dari penerbit aja nggak ada pernyataan
mengenai di-ACC-nya naskah saya, bagaimana mungkin ada pernyataan persetujuan
dari saya? Saya siap menunjukkan semua screen
shot komunikasi sebelumnya yang kita lakukan lewat e-mail.”
Dia makin marah. Nada
bicaranya tambah naik.
Saya yang semula menelepon
dengan maksud baik, jadi kian tidak respek dengan keteledoran yang dia lakukan.
Tentu saja sudah terang
benderang, kalau ada prosedur yang dia lompati.
Dan dia berargumen tidak bisa
segera menghubungi saya karena sedang sangat sibuk. Harusnya, saya memahami,
kata dia!
Anehnya, dia menyuruh saya
mencabut perjanjian dengan penerbit yang sudah menerbitkan naskah itu, agar
bisa mengedarkan buku saya.
Tentu saja saya tidak
mau.
Akhirnya, saya tidak mau
terlalu berlarut-larut bicara. Sudah jelas, penerbit tidak mau disalahkan,
walaupun sebenarnya salah. Terserah sajalah! Yang penting, saya harus tahu,
bagaimana kelanjutan persoalan ini?
“Ya udah, kami nggak akan
mengedarkan buku Anda,” ujarnya. “Tapi, Anda pilih dulu cover yang kami
kirimkan, biar nanti bisa dicetak terbatas buat dikirim ke Perpusnas, untuk
bukti terbit. Kirim aja jawaban lewat e-mail. Nggak usah telepen-telepon lagi.”
“Saya sih udah biasa ditipu
kayak gini!” pungkasnya sebelum buru-buru memutus sambungan telepon dan tidak
menjawab salam saya!
Tidak menunggu lama, saya
menelepon penerbit buku saya. Saya jelaskan gamblang kronologinya. Lagi-lagi,
semata karena itikad baik dan saya tidak mau di belakang hari ada kejadian yang
justru merugikan hubungan baik yang sudah terjalin. Siapa tahu, misalnya,
penerbit teledor itu memasarkan buku saya, sementara judul yang sama masih
beredar di bawah bendera penerbit berbeda!
Akhirnya, saya memutuskan
tidak memilih satu dari enam alternatif cover yang dikirimkan. Tapi saya akan
mengirim surat pencabutan naskah dan kesepakatan untuk tidak mengedarkan buku
tersebut.
Saya berjanji, insyaallah, ke
depan, setiap ada naskah yang lebih dari tiga bulan tidak ada kabar dan mau dikirim
ke penerbit lain, saya terlebih dulu melayangkan surat penarikan naskah.
Mudah-mudahan kejadian
semena-mena terhadap penulis—seperti yang saya alami, tidak berulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar