Jumat, 24 Januari 2020

Kisah Penerbit yang Teledor


16 Juli 2015, saya kirim naskah novelet ke sebuah penerbit.
21 Juli 2015, redaktur membalas pesan dengan hanya meminta saya mengirim sinopsis back cover dan kata pengantar. Saya pun mengerjakan permintaan itu.
28 September 2015, saya tanya bagaimana kelanjutan naskah? Apakah di-ACC untuk diterbitkan? Jawabnya, masih dipelajari.
Satu tahun berlalu. Tidak ada kejelasan nasib naskah saya itu. Tapi, dari pengalaman yang sudah-sudah, naskah yang sudah lebih dari tiga bulan tidak ada kabar, berarti ditolak untuk diterbitkan.
24 September 2016, naskah itu, saya kirim ke penerbit lain. Tentu, isinya nggak sama persis. Sudah ada perubahan dan penambahan. Isi naskahnya lebih tebal dari sebelumnya.
Akhir tahun 2016, saya dapat kabar kalau naskah disetujui untuk diterbitkan, tapi harus sabar menunggu antrean. Alhamdulillah. Betapa senang hati saya.
4 Januari 2017, saya dapat kiriman surat perjanjian penerbitan guna legalitas kerjasama penerbitan naskah buku. Surat itu pun saya isi dan lengkapi administrasinya, kemudian dikirim ke penerbit.
Akhir Januari 2017, naskah terbit.
Juli 2017, saya sudah dapat laporan penjualan dan transferan royalti. Alhamdulillah.
Jelang Subuh pada akhir November 2017, saya dapat kiriman e-mail dari penerbit yang saya kirimi naskah dua setengah tahun lalu. Isinya, saya diminta memilih satu dari enam alternatif cover buku dari naskah yang saya kira sudah ditolak.
Herannya, dalam cover yang dikirim, sudah tertera International Standard Book Number (ISBN). Artinya, naskah itu sudah didaftarkan ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia! Jangan-jangan, naskahnya juga sudah disunting dan di-setting!
Saya pun bergegas menghubungi redakturnya. Bertubi-tubi saya telepon, tidak kunjung diangkat. Bakda Asar, akhirnya panggilan saya dijawab.
Saya jelaskan duduk perkaranya dengan bahasa sesopan mungkin. Jujur, saya merasa tidak enak, karena untuk mengurus ISBN, editing, setting, dll penerbit pasti sudah mengeluarkan biaya.
Sayangnya, itikad baik saya justru ditanggapi sebaliknya. Pihak penerbit justru marah-marah.
“Kalau memang sudah diterbitkan, kenapa mau ngirimi kata pengantar dan sinopsis yang saya minta?!” kata dia dengan jengkel.
“Saya ngirim kata pengantar dan sinopsis itu kapan? Lebih dari dua tahun lalu. Bukan dalam waktu dekat. Dan selama waktu itu pula nggak ada kejelasan kalau naskah saya di-ACC. Kalau memang belum ada surat perjanjian penerbitan, minimal ada pemberitahuan tentang nasib naskah saya itu. Coba cek riwayat e-mail ke saya.”
“Kalau begitu, kenapa Anda menyetujui naskahnya diterbitkan?”
“Saya nggak sekali pun menyetujui naskah diterbitkan. Wong dari penerbit aja nggak ada pernyataan mengenai di-ACC-nya naskah saya, bagaimana mungkin ada pernyataan persetujuan dari saya? Saya siap menunjukkan semua screen shot komunikasi sebelumnya yang kita lakukan lewat e-mail.”
Dia makin marah. Nada bicaranya tambah naik.
Saya yang semula menelepon dengan maksud baik, jadi kian tidak respek dengan keteledoran yang dia lakukan.
Tentu saja sudah terang benderang, kalau ada prosedur yang dia lompati.
Dan dia berargumen tidak bisa segera menghubungi saya karena sedang sangat sibuk. Harusnya, saya memahami, kata dia!
Anehnya, dia menyuruh saya mencabut perjanjian dengan penerbit yang sudah menerbitkan naskah itu, agar bisa mengedarkan buku saya.
Tentu saja saya tidak mau. 
Akhirnya, saya tidak mau terlalu berlarut-larut bicara. Sudah jelas, penerbit tidak mau disalahkan, walaupun sebenarnya salah. Terserah sajalah! Yang penting, saya harus tahu, bagaimana kelanjutan persoalan ini?
“Ya udah, kami nggak akan mengedarkan buku Anda,” ujarnya. “Tapi, Anda pilih dulu cover yang kami kirimkan, biar nanti bisa dicetak terbatas buat dikirim ke Perpusnas, untuk bukti terbit. Kirim aja jawaban lewat e-mail. Nggak usah telepen-telepon lagi.”
“Saya sih udah biasa ditipu kayak gini!” pungkasnya sebelum buru-buru memutus sambungan telepon dan tidak menjawab salam saya!
Tidak menunggu lama, saya menelepon penerbit buku saya. Saya jelaskan gamblang kronologinya. Lagi-lagi, semata karena itikad baik dan saya tidak mau di belakang hari ada kejadian yang justru merugikan hubungan baik yang sudah terjalin. Siapa tahu, misalnya, penerbit teledor itu memasarkan buku saya, sementara judul yang sama masih beredar di bawah bendera penerbit berbeda!
Akhirnya, saya memutuskan tidak memilih satu dari enam alternatif cover yang dikirimkan. Tapi saya akan mengirim surat pencabutan naskah dan kesepakatan untuk tidak mengedarkan buku tersebut.
Saya berjanji, insyaallah, ke depan, setiap ada naskah yang lebih dari tiga bulan tidak ada kabar dan mau dikirim ke penerbit lain, saya terlebih dulu melayangkan surat penarikan naskah.
Mudah-mudahan kejadian semena-mena terhadap penulis—seperti yang saya alami, tidak berulang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar