Kamis, 30 Januari 2020

Demikian Orang Tua, Demikian Pula Anaknya


“Kamu tidak punya anak, bagaimana tahu jiwa seorang anak!”
Begitu kutipan SMS seorang ibu kepadaku. Waktu itu, seperti yang sudah-sudah, dia mengirimiku SMS panjang-lebar. Sama seperti yang sudah-sudah juga, isinya marah-marah. Kali itu, dia tidak terima, karena anaknya tidak diikutsertakan suatu kegiatan kepanduan.
Aku yang sesungguhnya tidak terlibat dalam pemilihan nama-nama yang bakal diikutkan kegiatan, terheran-heran dan tentu saja, mangkel. Sore-sore, panas, baru pulang kerja, capek, eh ... kena semprot.
Tetapi, penjelasanku tidak ada gunanya. ‘Ainus sukhti atau pandang kebencian memang selalu menutupi segala kebaikan, tanpa terkecuali.
“Selalu ada alasan untuk membenarkan diri sendiri,” begitu tulisnya, lagi, membalas SMS-ku.
Menghadapi manusia macam ini, sikapku adalah, “Jika ada yang merasa berhak bicara apa saja, maka kita pun berhak mengabaikannya.” Mengabaikan dalam arti; tidak menanggapi lagi, meski bukan berarti melupakan.
Kejadian ini, tidak kemudian membuatku mengabaikan anak si ibu. Dia tetap kuperlakukan seperti yang lain-lain. Jika ada materi pelajaran yang tidak dipahami, aku tetap menolongnya, sebab, dia adalah klien. Gajiku turut ditopang orang tuanya. Pikiran ini selalu berdengung di kepala tiap berhadapan dengan anak si ibu. Namun, hubungan batiniah sudah lenyap sama sekali. Simpati, bahkan empati terhadap anak ini, jelas tidak ada.
Bukan melulu karena perilaku ibunya. Tetapi karena si anak juga menunjukkan perilaku berbeda ketika berhadapan denganku dan berhadapan dengan ibunya. Di depanku, bilang A. Setelah ada ibunya, berubah B. Kata-kataku dipelintir jadi C, dan seterusnya ...
Di lain waktu, seorang bapak berkali-kali menghunjamkan tuduhan kepada tempat kerjaku. Dia hasut orang tua siswa lain untuk percaya, ada guru (bukan aku) yang jarang mengajar. Justru lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tata usaha, mengerjakan administrasi keuangan sekolah.
Kali lain, dia membuat surat pengaduan kepada pihak berwenang. Isinya, tempat kerjaku menyelewengkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), dan seterusnya, masih banyak lagi.
Tuduhan-tuduhan itu tidak dialamatkan kepadaku. Tapi, aku yang—waktu itu—menjadi bagian dari manajemen sekolah, tahu betul duduk perkaranya. Semua tuduhan tadi, bohong belaka.
Hanya saja, menghadapi manusia jenis ini, sikapku tidak mengabaikan seperti kepada si ibu sebelumnya. Si bapak menggalang massa,  menyebarkan dusta kepada siapa saja, menyeret-nyeret persoalan—yang sebetulnya—remeh ke ranah hukum.
Aku pilih melawannya.
Manusia seperti ini, sangat jumawa. Menghadapinya, kita harus berkali lipat lebih jumawa. Tentu, bukan kesombongan kosong. Harus dengan bukti-bukti telak yang membungkam mulut besarnya.
Setelah urusan-urusan ribet dengan si bapak kelar, sikapku terhadap anaknya, tetap sama; mengajari sebaik-baiknya. Ketika dia ikut lomba, aku mendampinginya semaksimal mungkin. Saat dia minta bantuanku untuk menulis puisi di majalah sekolah, aku pun menolongnya. Namun, sekali lagi, perasaan mendalam, betapa anak didik ini adalah juga anak rohaniku, tidak ada sama sekali.
Bukan cuma karena tingkah polah bapaknya. Tetapi, karena si anak doyan tantrum. Darahnya gampang mendidih. Tangan-kakinya ringan memukul dan menendang. Anak-anak dan barang-barang di kelas, tidak pernah kelewatan jadi sasaran.
Sungguh benar kata peribahasa, “Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga.” Kelakuan anak, tidak beranjak jauh dari orang tua yang membesarkannya.

Sebuah catatan dari masa lalu,
rampung ditulis di Bancar Badhog Centre, 30 Januari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar