“Kamu tidak punya anak, bagaimana tahu jiwa seorang anak!”
Begitu kutipan SMS seorang ibu kepadaku. Waktu itu, seperti
yang sudah-sudah, dia mengirimiku SMS panjang-lebar. Sama seperti yang
sudah-sudah juga, isinya marah-marah. Kali itu, dia tidak terima, karena
anaknya tidak diikutsertakan suatu kegiatan kepanduan.
Aku yang sesungguhnya tidak terlibat dalam pemilihan nama-nama
yang bakal diikutkan kegiatan, terheran-heran dan tentu saja, mangkel. Sore-sore, panas, baru pulang
kerja, capek, eh ... kena semprot.
Tetapi, penjelasanku tidak ada gunanya. ‘Ainus sukhti atau pandang kebencian memang
selalu menutupi segala kebaikan, tanpa terkecuali.
“Selalu ada alasan untuk membenarkan diri sendiri,” begitu tulisnya,
lagi, membalas SMS-ku.
Menghadapi manusia macam ini, sikapku adalah, “Jika ada
yang merasa berhak bicara apa saja, maka kita pun berhak mengabaikannya.”
Mengabaikan dalam arti; tidak menanggapi lagi, meski bukan berarti melupakan.
Kejadian ini, tidak kemudian membuatku mengabaikan anak si
ibu. Dia tetap kuperlakukan seperti yang lain-lain. Jika ada materi pelajaran
yang tidak dipahami, aku tetap menolongnya, sebab, dia adalah klien. Gajiku turut
ditopang orang tuanya. Pikiran ini selalu berdengung di kepala tiap berhadapan
dengan anak si ibu. Namun, hubungan batiniah sudah lenyap sama sekali. Simpati,
bahkan empati terhadap anak ini, jelas tidak ada.
Bukan melulu
karena perilaku ibunya. Tetapi karena si anak juga menunjukkan perilaku berbeda
ketika berhadapan denganku dan berhadapan dengan ibunya. Di depanku, bilang A. Setelah
ada ibunya, berubah B. Kata-kataku dipelintir jadi C, dan seterusnya ...
Di lain waktu, seorang bapak berkali-kali menghunjamkan
tuduhan kepada tempat kerjaku. Dia hasut orang tua siswa lain untuk percaya,
ada guru (bukan aku) yang jarang mengajar. Justru lebih banyak menghabiskan
waktu di ruang tata usaha, mengerjakan administrasi keuangan sekolah.
Kali lain, dia membuat surat pengaduan kepada pihak
berwenang. Isinya, tempat kerjaku menyelewengkan dana bantuan operasional
sekolah (BOS), dan seterusnya, masih banyak lagi.
Tuduhan-tuduhan itu tidak dialamatkan kepadaku. Tapi, aku
yang—waktu itu—menjadi bagian dari manajemen sekolah, tahu betul duduk
perkaranya. Semua tuduhan tadi, bohong belaka.
Hanya saja, menghadapi manusia jenis ini, sikapku tidak
mengabaikan seperti kepada si ibu sebelumnya. Si bapak menggalang massa, menyebarkan dusta kepada siapa saja,
menyeret-nyeret persoalan—yang sebetulnya—remeh ke ranah hukum.
Aku pilih melawannya.
Manusia seperti ini, sangat jumawa. Menghadapinya, kita
harus berkali lipat lebih jumawa. Tentu, bukan kesombongan kosong. Harus dengan
bukti-bukti telak yang membungkam mulut besarnya.
Setelah urusan-urusan ribet dengan si bapak kelar, sikapku terhadap
anaknya, tetap sama; mengajari sebaik-baiknya. Ketika dia ikut lomba, aku
mendampinginya semaksimal mungkin. Saat dia minta bantuanku untuk menulis puisi
di majalah sekolah, aku pun menolongnya. Namun, sekali lagi, perasaan mendalam,
betapa anak didik ini adalah juga anak rohaniku, tidak ada sama sekali.
Bukan cuma karena tingkah polah bapaknya. Tetapi, karena si
anak doyan tantrum. Darahnya gampang mendidih. Tangan-kakinya ringan memukul
dan menendang. Anak-anak dan barang-barang di kelas, tidak pernah kelewatan
jadi sasaran.
Sungguh benar kata peribahasa, “Air cucuran atap, jatuhnya
ke pelimbahan juga.” Kelakuan anak, tidak beranjak jauh dari orang tua yang
membesarkannya.
Sebuah
catatan dari masa lalu,
rampung ditulis di Bancar Badhog
Centre, 30 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar