Jumat, 24 Januari 2020

Persepsiku Soal Pernikahan: Dulu dan Sekarang

Momok Itu Bernama Rumah Tangga
Pengalaman hidup entah bagaimana mempertemukanku dengan berbagai perempuan yang tidak menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Entah itu karena suaminya suka menyeleweng, ringan tangan, gemar berjudi, dan sebagainya.
Sebagai contoh, pada usia SD aku kerap mendengarkan keluhan soal rumah tangga dari perempuan-perempuan yang curhat pada ibuku. Waktu itu, para perempuan dewasa itu tanpa tedheng aling-aling mendudah kerumpilan rumah tangga mereka di depan Ibu, dengan aku di sampingnya. Mereka tidak sungkan dengan kehadiran diriku di dekat mereka. Mungkin karena aku dianggap anak kecil yang tidak tahu-menahu soal yang tengah dibicarakan.
Pada usia SMA, aku sempat dicurhati perempuan tua yang baru kukenal tentang persoalan dalam rumah tangganya. Perempuan itu kukenal saat aku mengikuti Jumbara PMR Tingkat Kabupaten. Dia curhat padaku karena menurutnya aku sopan dan mau mendengarkan orang tua seperti dirinya.
Kejadian yang tidak kalah pentingnya adalah sewaktu adik ibuku bercerai dari suaminya. Jauh sebelum perceraian itu, konflik rumah tangga adik ibuku dengan suami dan ibu mertuanya sudah aku dengar, bahkan saat aku masih TK!
Aku pun pernah menyaksikan perselingkuhan seorang teman.  Istrinya yang berteman denganku di Facebook tidak jarang menulis status curhat tentang kelakuan pasangan hidupnya. Pada akhirnya rumah tangga temanku itu berakhir di pengadilan. Sayangnya, isu yang beredar di lingkunganku justru menyebutkan perceraian itu terjadi karena si istri tidak patuh pada suami. Dalam hal ini, si istri mendapat rugi setidaknya dua kali. Pertama, diselingkuhi dan dicerai. Kedua, namanya tercemar.
Sementara di lingkungan rumah, ada seorang tetangga yang diceraikan suaminya lantaran suami mau menikah lagi. Suami lebih memilih perempuan muda yang segar daripada istri yang sudah memberinya empat anak dan telah melalui hari-hari bersama yang tidak selalu mudah.
Kejadian-kejadian itu sangat membekas di benakku. Aku memikirkannya betul-betul. Apalagi aku sering bertanya pada Ibu soal kenakalan ulah suami-suami di lingkungan kami. Bagaimana pendapat Ibu soal hal itu? Sebagai seorang perempuan, cara pandang ibuku pasti berlainan dengan lelaki dan aku mempercayai pendapat ibuku sebagai suara kejujuran. Pada akhirnya, aku mempunyai persepsi tersendiri dalam memandang rumah tangga atau pernikahan. Pikirku, buat apa menikah kalau pada akhirnya justru menyakiti, tidak cuma fisik tapi juga batin? Buat apa menikah kalau malah menyeleweng? Apakah kebahagiaan hidup hanya diperoleh dari pernikahan, sehingga orang yang belum juga menikah kerap dirundung takut dilabeli bujang lapuk atau gadis tua?
Lelaki Es Batu
Sewaktu kuliah, aku sempat dianggap takut terhadap perempuan. Sebabnya karena aku tidak mau duduk berdekatan maupun memboncengkan lawan jenis yang bukan keluarga. Juga karena aku tidak mau bersalaman dengan perempuan yang bukan lingkunganku.
Teman-teman menganggap aneh kebiasaanku itu dan lontaran pertanyaan seperti, “Kamu kenapa sih nggak mau deketan sama perempuan?” tidak jarang terdengar.
Kutanggapi saja, “Nggak papa. Cuma kurang nyaman aja.”
Kenyataannya memang begitu. Aku risih kalau berdekatan dengan lawan jenis. Kebiasaan inilah yang kemudian menimbulkan omongan miring soal diriku.
Kubiarkan saja suara-suara sumbang tentang diriku. Yang utama, aku tetap bersikap sopan kepada perempuan. Aku tetap bisa diajak ngobrol dengan baik. Tapi terus terang, aku tidak mau menjalin hubungan lebih dari pertemanan dengan perempuan. Aku tidak mau hidupku rumit atau bahkan melukai orang lain, karena bukankah dalam suatu hubungan, pihak lelakilah yang lebih kerap menyakiti? Pikirku, ini karena sifat dasar lelaki adalah arogan dan selalu ingin menang segala-galanya. Aku tidak ingin menjadi lelaki arogan yang maunya menang sendiri. Menurutku, sifat dasar lelaki tersebut tidak akan muncul atau dapat dikendalikan jika aku tidak menjalin hubungan serius dengan lawan jenis.
Kebiasaanku yang dianggap aneh itu sempat membuatku dijadikan taruhan: apakah aku dapat ditaklukkan?
Untuk itu, ada teman-teman perempuan yang suka menggodaku lewat kata-kata yang “menjurus” atau bahasa tubuh yang mungkin dimaksudkan sensual. Misalnya sambil mengelus tanganku, mereka bertanya, “Malam Minggu nanti, kamu mau ke mana? Aku kosong, lho.” Pertanyaan itu dilontarkan dengan bibir mengulum senyum dan pandang mata nakal.
Aku hanya tersenyum sumir lalu pergi menyingkir.
Mungkin karena gregetan, teman-teman perempuan lalu berbuat lebih agresif. Ada yang merangkulku dari belakang sambil menekankan dadanya ke punggungku. Katanya, “Kencan yuk, sama aku.” Itu dilakukan berkali-kali.
Terus terang aku “tersengat” mendapat perlakuan begitu. Tapi aku memilih bergeming, pergi menyingkir sambil berujar, “Jangan seperti itulah. Aku risih dibegitukan.
Dua teman perempuan lain ada yang “sedikit” lebih nekat. Mereka bertanya, “Bagaimana caranya biar aku jadi istrimu? Apa yang harus aku lakukan biar kamu suka sama aku?”
Setelah berkali-kali ditanya begitu, aku yang bosan setengah mati menjawab, “Aku nggak berpikir ke arah sana. Jadi jangan tanya soal begituan padaku.”
Dalam hati aku berjanji tidak mau berbicara lagi dengan perempuan-perempuan semacam itu. Sikapnya yang cenderung murahan sungguh tidak aku sukai.
“Konsultan” Pernikahan
Pada saat KKL ke Yogya, aku dapat jatah kursi bersebelahan dengan seorang teman perempuan. Risih memang. Tapi apa boleh buat.
Mulanya kami ngobrol biasa, sekadar mengisi waktu luang. Kemudian entah bagaimana mulanya, temanku bercerita soal rumah tangganya.
Katanya, anaknya sedang sakit. Dia tidak tenang meninggalkan anak di rumah dengan bapaknya. Sebab, dia sedang tidak cocok dengan suaminya itu. Ketidakcocokan itu dipicu tekanan dari ibu kandung temanku yang terus mempengaruhinya untuk menggugat cerai suami, semata karena sang ibu tidak menyukai menantu. Menurut temanku, sebetulnya tidak ada cela akhlak maupun agama pada diri suami. Tapi akhir-akhir itu suaminya ngambek karena tekanan dari ibu mertua. Dia jadi malas bekerja, enggan shalat, enggan baca Quran, bahkan tidak mau mengurusi anaknya.
Dalam hati, sebetulnya aku heran dengan keleluasaan temanku itu yang “suka-rela” mendudah isi rumah tangganya pada diriku yang jelas-jelas lawan jenis dan bukan teman akrab.
Puncaknya, sebulan kemudian, temanku itu SMS, “Rumah tanggaku hancur. Suami minta cerai. Telepon aku sekarang sebelum aku bunuh diri.”
Aku pun meneleponnya karena khawatir akan terjadi hal buruk dengannya. Di telepon, sambil sesenggukan dia cerita. Katanya dia bersama anak dan suami datang mengunjungi orang tuanya. Konon, ibunya sakit. Sesampai di sana, dia disuruh masuk kamar lalu pintu dikunci dari luar. Sementara anak dan suaminya diusir pulang.
Kata ibunya, “Kalau kamu sayang Ibu, cepat minta cerai dari suamimu!”
Temanku menuturkan kalau kondisi suaminya sudah mulai stabil, sudah mau rajin shalat berjamaah di masjid. Sekarang malah datang ujian seperti ini!
“Apa yang harus aku perbuat, Tok? Aku ingin berbakti pada ibuku. Di sisi lain, aku tidak mau durhaka pada suami dan menelantarkan anak.”
Terus terang aku gemetaran dan ikut menitikkan airmata. Dalam suasana kalut seperti itu, mulutku cuma bisa membentuk kalimat, “Aku bingung, Na.”
“Ayolah, Tok. Beri aku saran. Aku percaya, kamu punya solusi yang baik buatku. Kamu kan pintar,” desaknya.
Takut salah menasihati, takut dia salah jalan karena mengikuti nasihatku, aku cuma menyarankannya untuk shalat istikharah dan perbanyak doa. Dua saran klise tapi paling rasional untuk kondisi kalut seperti itu.
“Aku bantu doa. Cuma itu yang aku bisa, Na,” kataku mengakhiri sambungan telepon setelah meyakinkannya untuk tidak mengambil jalan pintas guna mengakhiri masalah: bunuh diri.
Setelah kejadian itu aku berpikir lagi. Kerumpilan hidup berumah tangga tidak selalu berasal dari kenakalan sikap suami. Ada pula suami yang baik tapi berubah menjadi “tidak baik” karena tekanan dari luar atau himpitan situasi, seperti suami temanku itu. Kejadian itu sedikit mengubah persepsiku soal pernikahan.
Beberapa bulan kemudian, temanku mengabari kalau dia sudah resmi bercerai dari suami. Satu keakhiran yang pasti tidak mudah. Tapi semoga dia, anak, dan mantan suaminya dapat jalan hidup yang lebih mudah.
Titik Balik
Kira-kira setahun setelah bekerja, aku mendapat amanah dari kantor untuk memimpin satu acara berskala besar yang menjadi kegiatan rutin tahunan. Acara tersebut biasanya menghabiskan dana dua puluhan juta. Berkaca dari pengalaman di tahun sebelumnya, aku menemukan celah agar penyelenggaraan acara itu dapat menghemat dana belasan juta tanpa mengesampingkan kualitas.
Pada saat hari H, aku berusaha segala sesuatunya berjalan sesuai rencana dan tepat waktu, karena persiapannya nyaris tiga bulan. Nyatanya, acara malah molor sampai satu jam karena alat-alat yang diperlukan guna kelangsungan acara itu justru hilang!
Setelah ditelusuri, ternyata alat-alat itu “tersimpan” di tempat yang tidak seharusnya. Usut punya usut ternyata ada segelintir teman panitia yang menggunting dalam lipatan. Mereka sengaja menyembunyikannya karena alasan iri dengki yang tidak sepantasnya. Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan menyebarkan gosip tentang hal-hal yang tidak aku lakukan. Hal ini menyebabkanku dipergunjingkan teman-teman di kantor.
Waktu itu, aku sempat mengalami krisis percaya diri. Tanpa bermaksud menyombongkan diri atau bertujuan menjilat, aku sudah berusaha bekerja optimal agar acara yang kupimpin bisa berlangsung baik. Ternyata aku malah disudutkan bahkan ditikam dari belakang. Barangkali aku dapat “tersungkur tanpa daya” seandainya aku tidak ingat akan Allah yang senantiasa siap sedia mendengarkan doa-doa dan memberikan solusi terbaik.
Entahlah, mungkin ini “ilham” dari Allah. Yang jelas pada waktu itulah mendadak sebuah pemikiran menyelusup, amat mengganggu benak. Aku terus berpikir tentang teman kepercayaan yang dapat diajak tukar pendapat dan mau membantuku menyelesaikan masalah tanpa dia menjadi ember bocor. Teman yang tidak cuma menolong di waktu-waktu susah, tapi juga dapat diajak bersenang-senang secara leluasa. Teman yang bukan saudara atau orang tua, karena bagaimana pun saudara maupun orang tua tidak patut mengurusiku seterusnya. Juga bukan teman platonik, melainkan teman yang lebih intim.
Waktu itulah, aku berpikir soal pendamping hidup.
Pendamping Hidup
Sewaktu kuliah, seorang dosen yang tidak setuju tentang konsep pacaran, pernah menyarankan: pilihlah pendamping hidup dari kalangan teman kuliah. Alasannya karena kita akan relatif lebih mudah mengenali kepribadian dan kualitas isi kepalanya. Keduanya dikenali lewat upaya buka mata buka telinga selama masa perkuliahan.
“Teropong masing-masing teman lelaki atau perempuanmu. Cari kelebihan dan kekurangannya. Tentukan kira-kira mana yang cocok denganmu. Setelah waktunya tepat, ajak dia menikah,” begitu kata dosen itu.
Jauh hari sebelum lontaran saran dari dosen itu, seorang teman yang sempat heran dengan keanehanku yang tidak mau berdekatan dengan lawan jenis, pernah bertanya, “Besok kalau mau menikah kamu mau pakai cara ta’aruf, ya? Ta’aruf  sama teman ngaji atau orang yang dikenalkan ustadz-mu.”
Aku tersenyum geli mendengar pertanyaan itu. Entah di mana lucunya. “Nggak kok. Aku mau nikahnya sama teman kuliah,” jawabku, asal. Dalam hati aku menambahkan, kalau memang kelak aku punya keinginan menikah, aku tidak mau menikah dengan perempuan boneka. Sekadar cantik tapi isi kepalanya kosong.
Pada waktu itulah, dua kejadian sederhana itu terngiang kembali dalam benak. Dan sampai pada kata teman kuliah yang menjadi penghubung dua kejadian beda masa tersebut, aku tidak bisa melepaskan diri dari pikiran tentang dia; seorang teman KKN. Dia mengendarai motor gede, pandai menggergaji dan memaku kayu, tidak segan-segan mencangkuli tanah, dan pandai mengatur lalu lintas. Katanya, dulu dia adalah polisi sekolah. Selama KKN, dialah yang menyeberangkan anak-anak sekolah di desa tempat kami KKN. Mungkin terkesan pemberani atau sebaliknya tidak tahu malu, karena setiap pagi dan siang dia berdiri di tengah jalan di depan sebuah SD dengan bibir mengepit peluit untuk memberhentikan atau mengatur kendaraan yang lalu lalang semata agar anak-anak SD bisa menyeberang dengan leluasa. Pikirannya praktis, tidak berbelit-belit. Yang menyenangkan, dia tidak suka bergosip. Sebaliknya, amat suka bersangka baik, bahkan untuk hal-hal yang tidak baik pun.
Sikapnya yang cenderung perkasa, amat mengesankanku. Aku memang kerap kagum dengan perempuan yang tidak perempuan banget, melainkan sedikit maskulin.
Hubungan kami biasa, sekadar teman platonik. Akhir-akhir itulah, aku terus berpikir tentang dia. Bayangan sikap teman KKN-ku itu sukar tanggal dari pikiran. Aku lawan dengan doa dan menyibukkan diri. Tetapi justru urutan kejadian waktu KKN kembali terbayang di pelupuk mata. Aku jadi sukar tidur karenanya. Hatiku murung entah kenapa. Gemetaran, rasa kehilangan, sepi, dan entah apalagi namanya terus membebat hari-hariku.
Ini sangat merepotkanku, karena aku tidak pernah mengalami hal demikian. Ini bukan gue banget, kataku seorang diri.
Sambil melewati hari-hari mriang tanpa penyakit, aku sempatkan untuk datang ke rumahnya. Bukan untuk bertemu dia, melainkan hendak menengok bapaknya yang habis operasi usus. Waktu aku datang, alhamdulillah, dia tidak di rumah, karena aku memang tidak mau bertemu dia. Aku hanya ingin mengobrol dengan bapaknya saja. Ajaibnya, obrolan kami lebih menitikberatkan soal pernikahan, padahal aku tidak membuka percakapan ke arah itu. Bapak temanku banyak bertanya soal diriku, juga bercerita tentang anaknya.
Pulang dari menengok, aku malah semakin mriang. Daripada mriang-ku tambah parah, tiba-tiba satu hal “gila” menyelusup dalam benak. Aku nekat mengiriminya SMS, “Akhir-akhir ini kamu sungguh mengganggu pikiranku. Kamu wajib menolongku. Akan ke manakah “hubungan” kita? Aku memberimu dua pilihan: sekadar teman platonik atau hubungan yang lebih serius, seperti pernikahan misalnya?”
Beberapa waktu kemudian, dia membalas. “Bismillah, aku pilih jawaban kedua.”
Semakin gemetarlah diriku. Tetapi aku nekat. Kecamuk perasaan ini harus segera dituntaskan. Aku tidak mau berlarut-larut sakit karenanya.
Aku pun mengutarakan kehendak untuk menikah pada ibuku. Satu hal yang cukup mengagetkan Ibu, karena beberapa waktu lalu aku pernah berkata padanya, kalau aku tidak mau menikah.
Begitulah. Hari-hari berikutnya berlangsung cepat, amat cepat menurut pikiranku. Tapi tidak kurang mengguratkan kesan mendalam.
Ditemani Ibu, aku datang ke rumah temanku, melamarnya. Kami merundingkan soal tanggal pernikahan. Segala sesuatunya berlangsung dengan mudah, tanpa bertele-tele menanyakan weton dan hari baik menurut hitungan orang Jawa.
Sayangnya, dua pekan setelah anaknya dilamar, calon bapak mertuaku dipanggil ke hadirat Yang Mahakuasa. Padahal tanggal pernikahan sudah dipercepat, dengan pertimbangan kekhawatiran calon orang tuaku itu tidak akan bertahan sampai hari H tiba jika rentang jarak lamaran dengan pernikahan terlalu jauh. Pada saat yang sama seorang teman mempengaruhiku untuk membatalkan pernikahan dengan banyak alasan yang mengada-ada tapi tidak kurang menggundahkanku. Tetapi Ibu meyakinkanku. Katanya, “Ini adalah gangguan dari setan. Pernikahan itu hal baik dan setan tidak suka dengan pelaksanaan niat baik.”
Satu setengah bulan kemudian, kami menikah. Menjelang prosesi ijab kabul, aku berkata seorang diri: ini adalah jalan yang aku pilih dengan kesadaran penuh, atas kehendakku sendiri, dan tanpa pengaruh atau paksaan dari orang lain. Tentu saja aku tidak lupa dengan konsep pernikahan yang dulu kupandang sebelah mata dengan kecenderungan yang paranoid. Aku tidak mengkhianati persepsiku terdahulu, aku hanya mengoreksi persepsi yang keliru dan menyesuaikannya dengan kebutuhan diriku. Aku menikah bukan karena takut dicap bujang lapuk atau apalah nama lainnya. Aku menikah semata demi keseimbangan mental dan pikiranku sendiri, karena ternyata setelah menggeluti hidup dengan segala kebahagiaan dan kerumpilannya, aku berkesimpulan: aku tidak dapat hidup seorang diri. Terlalu banyak kebahagiaan yang sayang jika kukecap seorang diri. Juga tidak kurang ada kerumitan yang tidak sanggup jika kutanggung sendirian saja.

Saat tulisan ini dibuat, usia pernikahanku baru mencapai bilangan lima bulan. Masih sangat muda memang. Tapi bukan soal muda atau tua. Yang utama adalah bagaimana cara menggapai bahagia bersama pasangan, tanpa menampik kerumitan hidup yang pasti datang menghampiri. Dan untuk meniti dua hal tersebut, ada satu pesan dari Ibu yang kugenggam erat, “Jangan kecewakan dia.” Satu pesan singkat, namun padat. Setelah menyaksikan pergulatan rumah tangga banyak pasangan, aku memahami betul apa yang Ibu maksudkan.

Bancar, November-Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar