Momok
Itu Bernama Rumah Tangga
Pengalaman hidup
entah bagaimana mempertemukanku dengan berbagai perempuan yang tidak menemukan
kebahagiaan dalam rumah tangganya. Entah itu karena suaminya suka menyeleweng,
ringan tangan, gemar berjudi, dan sebagainya.
Sebagai contoh,
pada usia SD aku kerap mendengarkan keluhan soal rumah tangga dari
perempuan-perempuan yang curhat pada ibuku. Waktu itu, para perempuan dewasa
itu tanpa tedheng aling-aling
mendudah kerumpilan rumah tangga mereka di depan Ibu, dengan aku di sampingnya.
Mereka tidak sungkan dengan kehadiran diriku di dekat mereka. Mungkin karena
aku dianggap anak kecil yang tidak tahu-menahu soal yang tengah dibicarakan.
Pada usia SMA, aku
sempat dicurhati perempuan tua yang baru kukenal tentang persoalan dalam rumah
tangganya. Perempuan itu kukenal saat aku mengikuti Jumbara PMR Tingkat
Kabupaten. Dia curhat padaku karena menurutnya aku sopan dan mau mendengarkan
orang tua seperti dirinya.
Kejadian yang
tidak kalah pentingnya adalah sewaktu adik ibuku bercerai dari suaminya. Jauh
sebelum perceraian itu, konflik rumah tangga adik ibuku dengan suami dan ibu
mertuanya sudah aku dengar, bahkan saat aku masih TK!
Aku pun pernah
menyaksikan perselingkuhan seorang teman.
Istrinya yang berteman denganku di Facebook
tidak jarang menulis status curhat tentang kelakuan pasangan hidupnya. Pada
akhirnya rumah tangga temanku itu berakhir di pengadilan. Sayangnya, isu yang
beredar di lingkunganku justru menyebutkan perceraian itu terjadi karena si
istri tidak patuh pada suami. Dalam hal ini, si istri mendapat rugi setidaknya
dua kali. Pertama, diselingkuhi dan dicerai. Kedua, namanya tercemar.
Sementara di
lingkungan rumah, ada seorang tetangga yang diceraikan suaminya lantaran suami
mau menikah lagi. Suami lebih memilih perempuan muda yang segar daripada istri
yang sudah memberinya empat anak dan telah melalui hari-hari bersama yang tidak
selalu mudah.
Kejadian-kejadian
itu sangat membekas di benakku. Aku memikirkannya betul-betul. Apalagi aku
sering bertanya pada Ibu soal kenakalan ulah suami-suami di lingkungan kami.
Bagaimana pendapat Ibu soal hal itu? Sebagai seorang perempuan, cara pandang
ibuku pasti berlainan dengan lelaki dan aku mempercayai pendapat ibuku sebagai
suara kejujuran. Pada akhirnya, aku mempunyai persepsi tersendiri dalam
memandang rumah tangga atau pernikahan. Pikirku, buat apa menikah kalau pada
akhirnya justru menyakiti, tidak cuma fisik tapi juga batin? Buat apa menikah
kalau malah menyeleweng? Apakah kebahagiaan hidup hanya diperoleh dari
pernikahan, sehingga orang yang belum juga menikah kerap dirundung takut
dilabeli bujang lapuk atau gadis tua?
Lelaki
Es Batu
Sewaktu kuliah,
aku sempat dianggap takut terhadap perempuan. Sebabnya karena aku tidak mau
duduk berdekatan maupun memboncengkan lawan jenis yang bukan keluarga. Juga
karena aku tidak mau bersalaman dengan perempuan yang bukan lingkunganku.
Teman-teman
menganggap aneh kebiasaanku itu dan lontaran pertanyaan seperti, “Kamu kenapa sih nggak mau deketan sama perempuan?” tidak jarang terdengar.
Kutanggapi saja, “Nggak papa. Cuma kurang nyaman aja.”
Kenyataannya
memang begitu. Aku risih kalau berdekatan dengan lawan jenis. Kebiasaan inilah
yang kemudian menimbulkan omongan miring soal diriku.
Kubiarkan saja
suara-suara sumbang tentang diriku. Yang utama, aku tetap bersikap sopan kepada
perempuan. Aku tetap bisa diajak ngobrol
dengan baik. Tapi terus terang, aku tidak mau menjalin hubungan lebih dari
pertemanan dengan perempuan. Aku tidak mau hidupku rumit atau bahkan melukai
orang lain, karena bukankah dalam suatu hubungan, pihak lelakilah yang lebih
kerap menyakiti? Pikirku, ini karena sifat dasar lelaki adalah arogan dan
selalu ingin menang segala-galanya. Aku tidak ingin menjadi lelaki arogan yang maunya
menang sendiri. Menurutku, sifat dasar lelaki tersebut tidak akan muncul atau
dapat dikendalikan jika aku tidak menjalin hubungan serius dengan lawan jenis.
Kebiasaanku yang
dianggap aneh itu sempat membuatku dijadikan taruhan: apakah aku dapat
ditaklukkan?
Untuk itu, ada
teman-teman perempuan yang suka menggodaku lewat kata-kata yang “menjurus” atau
bahasa tubuh yang mungkin dimaksudkan sensual. Misalnya sambil mengelus
tanganku, mereka bertanya, “Malam Minggu nanti, kamu mau ke mana? Aku kosong,
lho.” Pertanyaan itu dilontarkan dengan bibir mengulum senyum dan pandang mata
nakal.
Aku hanya
tersenyum sumir lalu pergi menyingkir.
Mungkin karena
gregetan, teman-teman perempuan lalu berbuat lebih agresif. Ada yang
merangkulku dari belakang sambil menekankan dadanya ke punggungku. Katanya,
“Kencan yuk, sama aku.” Itu dilakukan berkali-kali.
Terus terang aku
“tersengat” mendapat perlakuan begitu. Tapi aku memilih bergeming, pergi
menyingkir sambil berujar, “Jangan seperti itulah. Aku risih dibegitukan.”
Dua teman
perempuan lain ada yang “sedikit” lebih nekat. Mereka bertanya, “Bagaimana
caranya biar aku jadi istrimu? Apa yang harus aku lakukan biar kamu suka sama aku?”
Setelah
berkali-kali ditanya begitu, aku yang bosan setengah mati menjawab, “Aku nggak berpikir ke arah sana. Jadi jangan
tanya soal begituan padaku.”
Dalam hati aku
berjanji tidak mau berbicara lagi dengan perempuan-perempuan semacam itu.
Sikapnya yang cenderung murahan sungguh tidak aku sukai.
“Konsultan”
Pernikahan
Pada saat KKL ke
Yogya, aku dapat jatah kursi bersebelahan dengan seorang teman perempuan. Risih
memang. Tapi apa boleh buat.
Mulanya kami ngobrol biasa, sekadar mengisi waktu
luang. Kemudian entah bagaimana mulanya, temanku bercerita soal rumah
tangganya.
Katanya, anaknya
sedang sakit. Dia tidak tenang meninggalkan anak di rumah dengan bapaknya.
Sebab, dia sedang tidak cocok dengan suaminya itu. Ketidakcocokan itu dipicu
tekanan dari ibu kandung temanku yang terus mempengaruhinya untuk menggugat
cerai suami, semata karena sang ibu tidak menyukai menantu. Menurut temanku,
sebetulnya tidak ada cela akhlak maupun agama pada diri suami. Tapi akhir-akhir
itu suaminya ngambek karena tekanan
dari ibu mertua. Dia jadi malas bekerja, enggan shalat, enggan baca Quran, bahkan tidak mau mengurusi anaknya.
Dalam hati,
sebetulnya aku heran dengan keleluasaan temanku itu yang “suka-rela” mendudah
isi rumah tangganya pada diriku yang jelas-jelas lawan jenis dan bukan teman
akrab.
Puncaknya, sebulan
kemudian, temanku itu SMS, “Rumah tanggaku hancur. Suami minta cerai. Telepon
aku sekarang sebelum aku bunuh diri.”
Aku pun
meneleponnya karena khawatir akan terjadi hal buruk dengannya. Di telepon,
sambil sesenggukan dia cerita. Katanya dia bersama anak dan suami datang
mengunjungi orang tuanya. Konon, ibunya sakit. Sesampai di sana, dia disuruh
masuk kamar lalu pintu dikunci dari luar. Sementara anak dan suaminya diusir
pulang.
Kata ibunya,
“Kalau kamu sayang Ibu, cepat minta cerai dari suamimu!”
Temanku menuturkan
kalau kondisi suaminya sudah mulai stabil, sudah mau rajin shalat berjamaah di masjid. Sekarang malah datang ujian seperti
ini!
“Apa yang harus
aku perbuat, Tok? Aku ingin berbakti pada ibuku. Di sisi lain, aku tidak mau
durhaka pada suami dan menelantarkan anak.”
Terus terang aku
gemetaran dan ikut menitikkan airmata. Dalam suasana kalut seperti itu, mulutku
cuma bisa membentuk kalimat, “Aku bingung, Na.”
“Ayolah, Tok. Beri
aku saran. Aku percaya, kamu punya solusi yang baik buatku. Kamu kan pintar,”
desaknya.
Takut salah
menasihati, takut dia salah jalan karena mengikuti nasihatku, aku cuma
menyarankannya untuk shalat istikharah
dan perbanyak doa. Dua saran klise tapi paling rasional untuk kondisi kalut
seperti itu.
“Aku bantu doa.
Cuma itu yang aku bisa, Na,” kataku mengakhiri sambungan telepon setelah
meyakinkannya untuk tidak mengambil jalan pintas guna mengakhiri masalah: bunuh
diri.
Setelah kejadian
itu aku berpikir lagi. Kerumpilan hidup berumah tangga tidak selalu berasal
dari kenakalan sikap suami. Ada pula suami yang baik tapi berubah menjadi
“tidak baik” karena tekanan dari luar atau himpitan situasi, seperti suami
temanku itu. Kejadian itu sedikit mengubah persepsiku soal pernikahan.
Beberapa bulan
kemudian, temanku mengabari kalau dia sudah resmi bercerai dari suami. Satu
keakhiran yang pasti tidak mudah. Tapi semoga dia, anak, dan mantan suaminya
dapat jalan hidup yang lebih mudah.
Titik
Balik
Kira-kira setahun
setelah bekerja, aku mendapat amanah dari kantor untuk memimpin satu acara
berskala besar yang menjadi kegiatan rutin tahunan. Acara tersebut biasanya
menghabiskan dana dua puluhan juta. Berkaca dari pengalaman di tahun
sebelumnya, aku menemukan celah agar penyelenggaraan acara itu dapat menghemat
dana belasan juta tanpa mengesampingkan kualitas.
Pada saat hari H,
aku berusaha segala sesuatunya berjalan sesuai rencana dan tepat waktu, karena
persiapannya nyaris tiga bulan. Nyatanya, acara malah molor sampai satu jam karena alat-alat yang diperlukan guna
kelangsungan acara itu justru hilang!
Setelah
ditelusuri, ternyata alat-alat itu “tersimpan” di tempat yang tidak seharusnya.
Usut punya usut ternyata ada segelintir teman panitia yang menggunting dalam
lipatan. Mereka sengaja menyembunyikannya karena alasan iri dengki yang tidak
sepantasnya. Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan menyebarkan gosip
tentang hal-hal yang tidak aku lakukan. Hal ini menyebabkanku dipergunjingkan
teman-teman di kantor.
Waktu itu, aku
sempat mengalami krisis percaya diri. Tanpa bermaksud menyombongkan diri atau
bertujuan menjilat, aku sudah berusaha bekerja optimal agar acara yang kupimpin
bisa berlangsung baik. Ternyata aku malah disudutkan bahkan ditikam dari belakang.
Barangkali aku dapat “tersungkur tanpa daya” seandainya aku tidak ingat akan
Allah yang senantiasa siap sedia mendengarkan doa-doa dan memberikan solusi
terbaik.
Entahlah, mungkin
ini “ilham” dari Allah. Yang jelas pada waktu itulah mendadak sebuah pemikiran
menyelusup, amat mengganggu benak. Aku terus berpikir tentang teman kepercayaan
yang dapat diajak tukar pendapat dan mau membantuku menyelesaikan masalah tanpa
dia menjadi ember bocor. Teman yang tidak cuma menolong di waktu-waktu susah,
tapi juga dapat diajak bersenang-senang secara leluasa. Teman yang bukan
saudara atau orang tua, karena bagaimana pun saudara maupun orang tua tidak
patut mengurusiku seterusnya. Juga bukan teman platonik, melainkan teman yang
lebih intim.
Waktu itulah, aku
berpikir soal pendamping hidup.
Pendamping
Hidup
Sewaktu kuliah,
seorang dosen yang tidak setuju tentang konsep pacaran, pernah menyarankan:
pilihlah pendamping hidup dari kalangan teman kuliah. Alasannya karena kita
akan relatif lebih mudah mengenali kepribadian dan kualitas isi kepalanya.
Keduanya dikenali lewat upaya buka mata buka telinga selama masa perkuliahan.
“Teropong
masing-masing teman lelaki atau perempuanmu. Cari kelebihan dan kekurangannya.
Tentukan kira-kira mana yang cocok denganmu. Setelah waktunya tepat, ajak dia
menikah,” begitu kata dosen itu.
Jauh hari sebelum
lontaran saran dari dosen itu, seorang teman yang sempat heran dengan
keanehanku yang tidak mau berdekatan dengan lawan jenis, pernah bertanya,
“Besok kalau mau menikah kamu mau pakai cara ta’aruf, ya? Ta’aruf sama teman ngaji
atau orang yang dikenalkan ustadz-mu.”
Aku tersenyum geli
mendengar pertanyaan itu. Entah di mana lucunya. “Nggak kok. Aku mau nikahnya sama teman kuliah,” jawabku, asal.
Dalam hati aku menambahkan, kalau memang kelak aku punya keinginan menikah, aku
tidak mau menikah dengan perempuan boneka. Sekadar cantik tapi isi kepalanya
kosong.
Pada waktu itulah,
dua kejadian sederhana itu terngiang kembali dalam benak. Dan sampai pada kata teman kuliah yang menjadi penghubung dua
kejadian beda masa tersebut, aku tidak bisa melepaskan diri dari pikiran
tentang dia; seorang teman KKN. Dia
mengendarai motor gede, pandai
menggergaji dan memaku kayu, tidak segan-segan mencangkuli tanah, dan pandai
mengatur lalu lintas. Katanya, dulu dia adalah polisi sekolah. Selama KKN,
dialah yang menyeberangkan anak-anak sekolah di desa tempat kami KKN. Mungkin
terkesan pemberani atau sebaliknya tidak tahu malu, karena setiap pagi dan
siang dia berdiri di tengah jalan di depan sebuah SD dengan bibir mengepit
peluit untuk memberhentikan atau mengatur kendaraan yang lalu lalang semata
agar anak-anak SD bisa menyeberang dengan leluasa. Pikirannya praktis, tidak
berbelit-belit. Yang menyenangkan, dia tidak suka bergosip. Sebaliknya, amat
suka bersangka baik, bahkan untuk hal-hal yang tidak baik pun.
Sikapnya yang
cenderung perkasa, amat mengesankanku. Aku memang kerap kagum dengan perempuan
yang tidak perempuan banget,
melainkan sedikit maskulin.
Hubungan kami
biasa, sekadar teman platonik. Akhir-akhir itulah, aku terus berpikir tentang
dia. Bayangan sikap teman KKN-ku itu sukar tanggal dari pikiran. Aku lawan
dengan doa dan menyibukkan diri. Tetapi justru urutan kejadian waktu KKN
kembali terbayang di pelupuk mata. Aku jadi sukar tidur karenanya. Hatiku
murung entah kenapa. Gemetaran, rasa kehilangan, sepi, dan entah apalagi
namanya terus membebat hari-hariku.
Ini sangat
merepotkanku, karena aku tidak pernah mengalami hal demikian. Ini bukan gue banget, kataku seorang diri.
Sambil melewati
hari-hari mriang tanpa penyakit, aku
sempatkan untuk datang ke rumahnya. Bukan untuk bertemu dia, melainkan hendak
menengok bapaknya yang habis operasi usus. Waktu aku datang, alhamdulillah, dia
tidak di rumah, karena aku memang tidak mau bertemu dia. Aku hanya ingin
mengobrol dengan bapaknya saja. Ajaibnya, obrolan kami lebih menitikberatkan
soal pernikahan, padahal aku tidak membuka percakapan ke arah itu. Bapak
temanku banyak bertanya soal diriku, juga bercerita tentang anaknya.
Pulang dari
menengok, aku malah semakin mriang.
Daripada mriang-ku tambah parah,
tiba-tiba satu hal “gila” menyelusup dalam benak. Aku nekat mengiriminya SMS,
“Akhir-akhir ini kamu sungguh mengganggu pikiranku. Kamu wajib menolongku. Akan
ke manakah “hubungan” kita? Aku memberimu dua pilihan: sekadar teman platonik
atau hubungan yang lebih serius, seperti pernikahan misalnya?”
Beberapa waktu
kemudian, dia membalas. “Bismillah, aku pilih jawaban kedua.”
Semakin gemetarlah
diriku. Tetapi aku nekat. Kecamuk perasaan ini harus segera dituntaskan. Aku
tidak mau berlarut-larut sakit karenanya.
Aku pun mengutarakan
kehendak untuk menikah pada ibuku. Satu hal yang cukup mengagetkan Ibu, karena
beberapa waktu lalu aku pernah berkata padanya, kalau aku tidak mau menikah.
Begitulah.
Hari-hari berikutnya berlangsung cepat, amat cepat menurut pikiranku. Tapi
tidak kurang mengguratkan kesan mendalam.
Ditemani Ibu, aku
datang ke rumah temanku, melamarnya. Kami merundingkan soal tanggal pernikahan.
Segala sesuatunya berlangsung dengan mudah, tanpa bertele-tele menanyakan weton dan hari baik menurut hitungan
orang Jawa.
Sayangnya, dua
pekan setelah anaknya dilamar, calon bapak mertuaku dipanggil ke hadirat Yang
Mahakuasa. Padahal tanggal pernikahan sudah dipercepat, dengan pertimbangan
kekhawatiran calon orang tuaku itu tidak akan bertahan sampai hari H tiba jika
rentang jarak lamaran dengan pernikahan terlalu jauh. Pada saat yang sama
seorang teman mempengaruhiku untuk membatalkan pernikahan dengan banyak alasan
yang mengada-ada tapi tidak kurang menggundahkanku. Tetapi Ibu meyakinkanku.
Katanya, “Ini adalah gangguan dari setan. Pernikahan itu hal baik dan setan
tidak suka dengan pelaksanaan niat baik.”
Satu setengah
bulan kemudian, kami menikah. Menjelang prosesi ijab kabul, aku berkata seorang
diri: ini adalah jalan yang aku pilih dengan kesadaran penuh, atas kehendakku
sendiri, dan tanpa pengaruh atau paksaan dari orang lain. Tentu saja aku tidak
lupa dengan konsep pernikahan yang dulu kupandang sebelah mata dengan kecenderungan
yang paranoid. Aku tidak mengkhianati persepsiku terdahulu, aku hanya
mengoreksi persepsi yang keliru dan menyesuaikannya dengan kebutuhan diriku.
Aku menikah bukan karena takut dicap bujang lapuk atau apalah nama lainnya. Aku
menikah semata demi keseimbangan mental dan pikiranku sendiri, karena ternyata
setelah menggeluti hidup dengan segala kebahagiaan dan kerumpilannya, aku
berkesimpulan: aku tidak dapat hidup seorang diri. Terlalu banyak kebahagiaan
yang sayang jika kukecap seorang diri. Juga tidak kurang ada kerumitan yang
tidak sanggup jika kutanggung sendirian saja.
Saat tulisan ini
dibuat, usia pernikahanku baru mencapai bilangan lima bulan. Masih sangat muda
memang. Tapi bukan soal muda atau tua. Yang utama adalah bagaimana cara
menggapai bahagia bersama pasangan, tanpa menampik kerumitan hidup yang pasti
datang menghampiri. Dan untuk meniti dua hal tersebut, ada satu pesan dari Ibu
yang kugenggam erat, “Jangan kecewakan dia.” Satu pesan singkat, namun padat.
Setelah menyaksikan pergulatan rumah tangga banyak pasangan, aku memahami betul
apa yang Ibu maksudkan.
Bancar, November-Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar