Judul
: Da Conspiraḉẫo; Sebuah Konspirasi
Pengarang: Afifah Afra
Penerbit : Afra
Novela
Cetakan :
Pertama, November 2012
Tebal
: 632 halaman
ISBN
: 978-602-8277-66-2
Sinopsis
Da
Conspiraḉẫo merupakan novel ketiga dari caturlogi De
Winst. Isinya mengemukakan fragmen kehidupan Rangga Puruhita, cucu
Pakubuwono X, saat menjalani masa pembuangan di Flores, beserta pergumulannya
dengan tokoh-tokoh lain. Pembuangan itu sendiri terjadi karena Rangga dianggap
terlibat dalam gerakan melawan pemerintah Hindia-Belanda dengan mendirikan
pabrik batik dan bersekongkol dengan pegiat pro-kemerdekaan di Surakarta
(baca: De Winst).
Sebagai
orang buangan, tawanan pemerintah Hindia-Belanda, Rangga diasingkan di sebuah
rumah reot beratap sirap. Dia dikawal Herman Zondag, bintara KNIL berdarah
campuran: Jawa-Belanda. Tentara blasteran itu menjalankan tugas mengawasi
gerak-gerik Rangga lebih dari ketat, sehingga Rangga merasa tidak leluasa,
karena semua yang dilakukan Rangga serba salah di mata Zondag. Termasuk
perkenalan Rangga dengan Maria van Persie, gadis asli Flores; calon biarawati
dan Tan Sun Nio, gadis Tionghoa; pedagang candu.
Meski tampak
garang dan tidak kenal kompromi, Herman Zondag sesungguhnya adalah tentara
berpangkat rendah yang sangat berdedikasi. Dia demikian memuja dan berbakti
pada Sri Ratu Wilhemina, ratu Belanda (halaman 64, 113, 590, dsb.). Dia menolak
suap dan tidak menenggak alkohol saat bertugas. Di samping itu, dia menguntit
Rangga ke mana pun ningrat Jawa itu pergi, seolah-olah anjing pengintai. Tapi
Zondag-lah yang menolong Rangga dari jebakan Tan Sun Nio yang sengaja
mengumpankan kecantikannya untuk menjerat lelaki (halaman 256-257).
Tan Sun Nio
sendiri tidak hanya seorang gadis Tionghoa yang molek, tapi juga rakus dan
berkepala batu. Dia mewarisi usaha dagang candu dari Tan Seng Hun, kakaknya
yang mati dibunuh bajak laut (halaman 104-105). Memang pada waktu itu,
pemerintah Hindia-Belanda tidak melarang perdagangan candu, opium, dan
sejenisnya karena pemasukan utama kas negara justru berasal dari penjualan
barang-barang itu (halaman 145, 280, 331). Maskapai dagang Tan Sun Nio—yang
diberi nama Pek Liong—berjalan sangat lancar, terutama karena
dibantu Bevy de Aguia Leste, kawanan bajak laut paling bengis di kawasan Hindia
Timur.
Perkongsiannya
dengan kawanan bajak laut itu kemudian justru menguakkan kenyataan bahwa
merekalah yang membunuh Tan Seng Hun, kakaknya (halaman 332). Kawanan bajak laut
itu ternyata mengincar harta warisan Tan Seng Hun senilai lebih dari tiga juta
gulden, guna membiayai pendirian Republik Flores Raya (halaman 453).
Dalam usaha
pendirian Republik Flores Raya itu, tanpa sengaja Rangga Puruhita juga turut
terlibat lewat perantaraan Maria van Persie. Sebagai sarjana ekonomi
lulusan Rijksuniversiteit Leiden, dia ditawari posisi menjadi
menteri perekonomian dan diajak mengikuti rapat perumusan Republik Flores Raya
(halaman 418). Rapat itu berlangsung alot dan malah merembet ke perdebatan
sengit, karena salah satu peserta rapat bernama Abdullah Arubusman menolak
konsep Flores Raya. Tokoh Islam paling terkemuka di Flores itu lebih setuju
pada konsep Indonesia Raya yang sudah disepakati para cerdik cendekia pada 28
Oktober 1928. Rapat tanpa kesepakatan ini akhirnya berujung penembakan mati
Abdullah Arubusman oleh Djanggo da Silva, ketua Bevy de Aguia Leste (halaman
423).
Kejadian
penembakan itu, meluas ke konflik yang lebih pelik: Rangga diculik, kemudian
disekap di sebuah rumah loji milik Bevy de Aguia Leste (halaman 459). Sementara
Tan Sun Nio diburu kawanan bajak laut itu yang mengincar spaarbankboekje miliknya
yang bernilai lebih dari tiga juta gulden (halaman 582). Di tengah pusaran
konflik itu, muncul tokoh-tokoh oportunis seperti Ramos Fernandes,
Indo-Portugis yang menjadi kaki tangan Tan Sun Nio sekaligus Djanggo da Silva,
dan Mari Nusa, keturunan mosalaki Flores yang ternyata
bertalian darah dengan Maria van Persie. Di sisi lain ada pula Johannes van
Persie, misionaris sahabat Abdullah Arubusman yang berpura-pura sakit untuk
melawan kawanan Bevy de Aguia Leste secara diam-diam. Namun tokoh paling heroik
dalam pusaran konflik ini adalah Herman Zondag, tentara bengis yang selalu
menguntit Rangga Puruhita. Dialah yang banyak kali meloloskan Rangga, Tan Sun
Nio, dan tokoh lainnya dari terkaman mata jahat.
Keunggulan
Novel ber-setting tahun
1920-an ini memiliki liukan konflik yang demikian rumit. Tokoh-tokohnya banyak
dan masing-masing mempunyai permasalahan yang berbeda-beda, namun semuanya
berujung pada muara yang sama. Hal ini menyebabkan tiap bab novel ini
menyajikan ketegangan tersendiri yang dapat menggerogoti rasa penasaran pembaca
untuk menuntaskan bacaan sampai halaman akhir.
Novel ini
juga menyajikan informasi sejarah yang menarik seperti pernyataan Sri Ratu
Wilhemina bahwa pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum
pribumi di Hindia-Belanda. Sebab Belanda memiliki utang budi yang sangat banyak
terhadap kaum yang disebut inlander itu (halaman 115). Hal
inilah yang mendorong Sri Ratu Wilhemina mengomandoi pelaksanaan politik etis.
Juga kenyataan bahwa pemerintah Hindia-Belanda turut menjadi pemain utama
perniagaan candu untuk menambal kas negara yang nyaris bangkrut karena perang
berkepanjangan melawan pemberontak (halaman 145). Ditambah diskusi menarik soal
sistem ekonomi kapitalis dan komunis (halaman 317-324).
Di samping
itu, novel ini juga memaparkan pola keberagamaan orang Indonesia tempo dulu,
era sebelum merdeka. Cukup banyak orang Flores yang mengaku beragama Islam tapi
tidak menjalankan sembahyang lima kali sehari, karena tidak bisa dan tidak tahu
tata caranya (halaman 157, 160). Meski begitu mereka mau belajar sembahyang
lewat bantuan Rangga Puruhita. Dikemukakan pula soal gencarnya usaha yang
dilancarkan para misionaris untuk mengkristenkan kaum pribumi. Menariknya,
tokoh misionaris yang diwakili Johannes van Persie hanya mengkristenkan pribumi
yang tidak memiliki agama. Dia tidak memaksa orang yang menolak dibaptis
(halaman 159). Selain dua agama itu, penduduk Flores yang terdiri dari berbagai
latar bangsa—Jawa, Flores, Cina, Belanda, Portugis, Siam—juga menganut
kepercayaan beragam seperti animisme, dinamisme, dan agnostik. Semua dapat
hidup berdampingan tanpa sengketa SARA seperti yang kerap meletus era sekarang
ini. Bahkan mereka dapat saling bekerja sama tanpa mengusik agama
masing-masing. Misalnya kerjasama Johannes van Persie (Katolik) dengan Abdullan
Arubusman (Islam), juga Maria van Persie (Katolik) dengan Rangga Puruhita
dan Ine Nurkasih (Islam). Mereka bahu-membahu menghidupi
Perguruan Bunga Bangsa yang memberikan pengajaran pada anak-anak pribumi yang
miskin lagi bodoh (halaman 182-183, 226-229).
Sebagai
pengarang yang berafiliasi dengan FLP—organisasi penulis Muslim yang kerap
dikabarkan kolot soal pemahaman agama—Afifah Afra menggelarkan
realitas keberagaman agama masyarakat Flores tanpa mengunggulkan satu agama dan
merendahkan agama lainnya. Meski tampak sekali keberpihakan pengarang pada
Rangga Puruhita (wakil Islam), pengarang tidak memaparkan perbedaan antar agama
secara hitam-putih seperti novelnya yang terdahulu (baca: Bulan Mati di
Javasche Orange).
Kelemahan
Dalam
buku How To Be A Smart Writer karya Afifah Afra, dikemukakan
bahwa pengarang sebaiknya tidak ikut intervensi dalam masalah antar tokoh
cerita fiksi, sehingga para tokoh itu tidak menjadi jelmaan pengarang yang
membelah jadi beberapa bagian. Atau kalau ingin mengintervensi, pengarang dapat
menjadikan salah satu tokoh sebagai gambaran kepribadian atau corong gagasannya
(halaman 154).
Apabila
saran tersebut ditujukan bagi novel Da Conspiraḉẫo ini, justru
tampak sekali betapa kepribadian, suara hati, dan gagasan Afifah Afra mewujud
dalam bentuk banyak tokoh. Seperti tokoh Rangga Puruhita dan Tan Sun Nio yang
menjadi narator secara bergantian di tiap bab berbeda. Bila mencermati gaya
bertutur, pola pikir, dan tata sikap kedua tokoh itu, dapat disimpulkan betapa
mirip kepribadian keduanya. Keduanya sama-sama suka bertutur memakai
bunga-bunga bahasa dan cenderung lebay. Keduanya suka sekali
menggunakan kata “nan”.
Di samping
itu, keduanya gampang menyimpulkan isi atau jeroan tokoh lain
hanya lewat pandangan lahiriah—penampilan, cara bicara, binar mata. Mereka
mudah terpesona dan segera saja memutuskan lawan bicaranya sebagai “orang
cerdas” meski baru kali pertama bertemu atau sekadar lewat cerita orang lain.
Contoh: pertemuan antar-keduanya atau pertemuan masing-masing dengan Daniel
Liem, Djanggo da Silva, Ramos Fernandes, Mari Nusa, Maria van Persie, Hendrik
Reynst, dsb.
Hal yang
agak aneh adalah tokoh Tan Sun Nio yang dikatakan pengarang sebagai sosok
cerdas, keras kepala, dan tidak mudah percaya orang lain, justru langsung
percaya begitu saja omongan budak bernama Marwah (halaman 327-332) dan morfinis bernama
Va Long (halaman 348)—terlepas bahwa perkataan kedua tokoh itu benar adanya.
Padahal mereka baru bertemu dan pertemuan itu singkat saja! Juga sifat percaya
diri Tan Sun Nio yang berulang kali diyakinkan pengarang lewat narasi, justru
tampak kebalikannya, ialah penggamang dan “lugu”, antara lain saat berunding
dengan Hendrik Reynst soal penjualan sepuluh hektar ladang opium di Laos
(halaman 286, 289, 305-306, 310-311, 326).
Lewat
serangkaian peristiwa dan dialog antar tokoh, sosok Tan Sun Nio yang tergambar
di benak pembaca justru adalah seorang gadis gegabah, grasa-grusu,
dan kurang berpikir panjang.
Hal lain
yang cukup mengganggu adalah penggunaan sudut pandang penceritaan yang kurang
konsisten. Di satu sisi, Rangga Puruhita dan Tan Sun Nio menjadi narator secara
bergantian, tapi di sisi lain malah muncul kata “nya” dan “dia” dalam paparan
narasi. Padahal kedua tokoh sedang menceritakan dirinya sendiri.
Wallahu
a’lam.